Monday, September 10, 2007

Esofagus Ditambal atau Bilang Saja Pencernaan Dilaminating

September 10, 2007
Esofagus Ditambal atau Bilang Saja Pencernaan Dilaminating
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (16)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

KETIKA kartu suara pemilihan wali kota Surabaya dihitung, dokter RS Darmo Surabaya juga mulai melihat dari mana asal darah yang saya muntahkan. Saya dibius. Tenggorokan saya dimasuki alat yang ujungnya berkamera superkecil. Tindakan ini dalam istilah kedokteran disebut dengan endoskopi. Yang mengendoskopi saya ketika di RS Darmo Surabaya saat itu adalah dr Pangestu Adi SpPD-KGEH, yang sudah sangat ahli dan senior di bidang itu.

Dari tenggorokan, alat itu masuk sampai ke lambung saya, melalui pipa esofagus (yang menghubungkan mulut dengan lambung).

Dari gambar yang dipantulkan alat itu terlihat, betapa banyak gelembung darah yang siap pecah di sepanjang esofagus saya. Ada yang kecil, banyak juga yang besar. Gelembung-gelembung itu sebenarnya adalah pembuluh darah esofagus yang karena tekanannya terlalu besar lantas menggelembung. Dalam istilah medis, pembuluh darah esofagus yang menggelembung dinamakan varises esofagus. Disebut varises karena memang mirip varises di betis.

Hanya, karena dinding pembuluh darah esofagus lebih tipis, varises di bagian itu lebih gampang meletus, pecah. Jika itu terjadi, pasien akan mengalami pendarahan hebat yang sulit dikendalikan. Akibatnya bisa sangat fatal. Yakni, pasien meninggal karena kehabisan darah.

Varises esofagus terjadi karena pembuluh darah utama yang masuk ke liver menyempit akibat adanya sirosis. Karena pintu masuknya menyempit, tekanan di pembuluh darah utama itu pun jadi meningkat. Karena tak segera diturunkan, tekanan itu pun merembet sampai ke pembuluh darah esofagus dan limpa. Itu sebabnya mengapa limpa saya juga ikut membesar sampai hampir tiga kali lipat.

Kata banyak dokter di Surabaya ketika itu, saya termasuk orang yang beruntung. Karena tidak kolaps ketika beberapa gelembung varises di esofagus saya pecah dan menyebabkan saya muntah darah dua hari sebelum endoskopi dilakukan.

“Sebaiknya Pak Dahlan segera ke Singapura. Dalam kesempatan pertama,” ujar Prof Dr dr Boediwarsono SpPD-KHOM yang merawat saya ketika itu. “Lebih baik dilakukan di sana,” tambahnya.

Sampai saat itu, saya masih belum memahami sepenuhnya bahaya yang saya hadapi. Maklum, rasa badan saya baik-baik saja. Baru dua minggu kemudian, ketika ada acara di Singapura, saya mampir ke seorang ahli penyakit dalam yang terkenal di RS Mount Elizabeth. Saya diperiksa di situ untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya dan tindakan apa yang harus dilakukan. Seminggu kemudian saya diminta datang lagi untuk operasinya. Hari itu dia sudah telanjur banyak janji dengan pasien lain. Padahal, operasinya perlu waktu dua jam sendiri.

Agar kedatangan saya ke Singapura minggu depannya lebih efektif, saya bikin janji dengan investor Singapura yang bersama perusahaan daerah Jatim akan membangun shore base di Lamongan. Sebelum operasi, saya punya waktu membicarakan kelanjutan rencana proyek Rp 250 miliar itu. Dengan cara ini perusahaan daerah tidak perlu keluar uang perjalanan dinas dan biaya-biaya lain. Saya memang biasa begitu. Urusan perusahaan daerah selalu saya gabung dengan urusan saya pribadi. Sehingga selama lima tahun sebagai Dirut perusahaan daerah, saya tidak pernah menggunakan uang perusahaan.

Minggu depannya, selesai rapat, saya ke rumah sakit. Langsung dibius dan dioperasi. Sekali lagi, tenggorokan saya dimasuki alat yang bisa masuk sampai pencernaan. Seperti pada endoskopi, ujung alat itu pun dilengkapi kamera.

Dengan bantuan kamera itu, tim dokter di Mount Elizabeth lantas mereparasi esofagus saya. Antara lain dengan menuangkan semacam lem berwarna putih ke gelembung-gelembung varises di esofagus saya. Tujuannya untuk menambal bagian yang sudah meletus, sekaligus melapisi yang sudah siap meletus. Dengan begitu, ketika meletus, darahnya tidak semburat ke luar lagi.

Teknis penambalan esofagus sebenarnya tidak sesederhana penjelasan saya itu. Saya hanya menyederhanakannya. Bahkan, kepada keluarga saya, saya menggunakan istilah yang lebih sederhana lagi: Saluran pencernaan saya “dilaminating”.

Karena jumlah gelembung yang harus ditambal begitu banyak, proses “laminating”-nya tak bisa hanya sekali. Dan, hari itu dokter hanya punya waktu untuk mengatasi gelembung yang besar-besar, yang sudah meletus dan benar-benar siap meletus. Selain itu, kalau yang “dilaminating” kebanyakan, beban bagi tubuh saya akan terlalu berat.

Dengan hanya “melaminating” yang besar-besar, dokter berharap gelembung yang kecil-kecil akan mengecil dengan sendirinya. Untuk memastikan itu, saya diminta kembali dua bulan kemudian.

Sesuai jadwal, dua bulan kemudian saya balik ke Singapura. Rapat lagi sambil meneruskan proses “laminating” berikutnya. Meski yang kecil-kecil tidak membesar, dokter memilih yang aman. Gelembung-gelembung kecil yang tersisa “dilaminating” semua. Hari itu, persoalan mendesak yang mengancam hidup saya teratasi. Tepatnya, teratasi sementara.

Kenapa sementara? Ini karena penyebab terjadinya gelembung-gelembung itu sendiri masih njegog di badan saya: sirosis. Kelak saluran pencernaan saya akan tertekan lagi, bengkak lagi, dan menjadi gelembung-gelembung darah lagi. Berarti setahun kemudian saya masih terancam muntah darah lagi. Tapi, dengan “laminating” ini, setidaknya saya bisa mengulur waktu.

Bulan berikutnya, ketika direksi perusahaan daerah sudah selesai merundingkan draf perjanjian dengan pihak Singapura, saya putuskan untuk menandatangi perjanjian setebal bantal itu. Saya juga sudah minta tolong agar teman saya, Robert Lai, lawyer lulusan Inggris yang sudah biasa bikin perjanjian dalam bahasa Inggris, untuk melihat, mencermati, dan memberikan koreksi mana-mana yang akan membuat posisi perusahaan daerah lemah. Dia memberikan banyak sekali koreksi. Lalu menyerahkan koreksi itu ke direksi perusahaan daerah untuk dipikirkan lebih lanjut. Dia melakukannya secara gratis. Sudah beberapa kali Robert membantu perusahaan daerah secara sukarela seperti itu.

Menjelang tanda tangan perjanjian itulah saya berkonsultasi dengan dokter mengenai problem kesehatan saya yang berikutnya.

Misalnya, bagaimana mengatasi sirosis saya. Bagaimana agar tidak terancam muntah darah lagi. Bagaimana agar kaki saya tidak bengkak lagi.

Lalu saya tunjukkan kaki saya yang mengembung dan membesar itu kepada dokter yang merawat saya. “Bagaimana mengatasinya?” tanya saya.

Jawaban dokter itu sungguh di luar dugaan saya. “Beli saja sepatu yang lebih besar,” katanya ketus.
“Kalau sesak lagi?” tanya saya lagi.

“Ya, beli lagi yang lebih besar lagi!” jawabnya, enteng.

Jawaban itu memang seperti keluar dari mulut Asmuni-Srimulat. Tapi, saya merenungkannya. Getir jawaban itu, tapi saya kunyah lama-lama. Semakin dikunyah, memang semakin pahit rasanya. Seperti pahitnya butrawali, buah yang dijadikan ukuran terpahit di Jawa. Lalu saya telan sedikit-sedikit lewat tenggorokan saya yang sakit: beli sepatu yang lebih besar. Dan beli lagi yang lebih besar lagi.

Begitu pahitnya kalimat dokter itu, membuat pencernaan seperti mulas dan mau muntah. Lalu saya muntahkan sekalian kalimat dokter itu: Dalam wujud muntah seperti darah. Merah rupanya, merah rasanya. Di atas muntahan itu seperti terbaca peringatan keras: tidak ada obatnya, Dahlan, tidak ada obatnya!

***
Saya masih minta butrawali satu lagi: Bagaimana dengan sirosis saya? Maksud saya apakah sudah ada obat untuk memperbaiki sirosis? Atau, dalam bahasa orang awam, apakah ada jalan keluar untuk membuat liver yang sudah mengeras di sana-sini itu kembali lunak? Dan jalan darah yang sudah banyak yang buntu itu membuka lagi?

Dokter rupanya tidak punya banyak waktu. Juga tidak mau bertele-tele. Dia seperti menganggap manusia ini benda yang tidak punya perasaan. Dokter melemparkan jawaban pendek, langsung, tajam. Terasa seperti lemparan pisau yang langsung mengarah ke liver saya. Menghunjam dalam sekali. Lalu menyayat-nyayatnya. Berdarah-darah. Pedih. “Anda lakukan transplantasi saja. Mungkin hidup Anda bisa lebih panjang lima tahun lagi,” katanya. “Sekarang Anda berumur 55 tahun. Tambah lima tahun menjadi 60. Cukuplah,” katanya.

OK. Lima tahun lagi, Dahlan, kau bisa dapat tambahan umur lima tahun lagi. Tidak boleh lebih. Bisa sampai umur 60 cukuplah. OK.

Tapi, “Kenapa setelah transplantasi hanya bisa hidup lima tahun?” tanya dokter itu pada saya. Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu. Saya sudah oke. Tambah lima tahun sudah oke. Saya tidak mau dia memberi saya sekarung butrawali. Tapi, dia jawab sendiri pertanyaan itu: karena liver barunya nanti kemungkinan juga terkena hepatitis lagi, dan akan jadi sirosis lagi. Apalagi kalau saat itu sudah ada kankernya, bisa jadi bibit kanker itu juga masuk lagi ke liver baru.

Berarti juga tidak ada jalan keluar untuk sirosis. Padahal, sirosis itu yang menyebabkan saluran pencernaan bengkak dan membuat gelembung-gelembung darah. Berarti juga, dua-duanya tidak ada jalan keluar. Tidak ada obatnya. Tidak ada alternatifnya. Tidak ada pula keajaiban yang bisa diharapkan.

***
Dokter itu tidak kenal saya. Dia hanya tahu saya orang Surabaya. Dia tahu itu karena hampir semua pasiennya mengatakan kenal saya. Dia lantas mengira saya kerja di perusahaan periklanan. Satu perkiraan yang tidak terlalu salah. Ruang praktiknya memang penuh dengan pasien dan sebagian besar orang Indonesia. Mungkin karena itu, di dinding pendek dekat meja resepsionis terdapat banyak guntingan koran Indonesia yang memuat tentang ceramah dan wawancara dengan dokter itu. Salah satunya adalah koran dari Grup Jawa Pos.

Saya sama sekali tidak menyangka akan berhubungan dengan kata transplantasi. Saya masih menganggap kata-kata transplan dari dokter tersebut tidak terlalu meyakinkan. Saya tidak terlalu memikirkannya. Apalagi, ancaman kematian tiba-tiba sementara sudah teratasi.

Karena badan normal-normal saja, saya juga hidup normal lagi. Artinya sibuk lagi, terbang-terbang lagi. Hanya saya lebih care dibanding dulu. Saya terus memonitor darah saya di laboratorium. Dua minggu sekali, setiap akan membuka hasil lab, perasaan saya seperti anak sekolah yang sedang menerima rapor. Kadang saya membuka hasil lab itu seperti membuka kartu remi yang tertutup di atas meja. Pelan-pelan, sedikit-sedikit, takut angka-angka merahnya terlihat sekaligus. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment