Banyak Faktor Keberhasilan, tapi Jangan Buru-Buru Merasa Sehat
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (30)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
MENGAPA operasi transplantasi liver saya berhasil? Setidaknya sampai hari ini? Faktor apa saja yang memengaruhinya?
Jawabnya dua macam: mau yang pendek atau yang panjang.
Mau yang religius atau yang ilmiah. Kalau mau pendek dan tampak
religius, jawabnya ini: semua itu berkat tangan Tuhan. Selesai. Tidak
perlu lagi tambahan apa-apa. Siapa yang bisa membantahnya? Siapa yang
berani mempersoalkannya? SMS yang masuk ke saya pun hampir semuanya
bernada begitu. Mereka mengatakan semua ini karena Allah. Hanya satu-dua
yang mengatakan, “Semua ini karena Allah dan kepintaran para
dokternya.”
Tapi, kalau jawabnya itu, saya tidak perlu lagi menulis. Tapi, saya
ingin menulis. Terutama ingin menulis sesuatu agar para dokter tidak
kehilangan semangat karena tidak dipuji sama sekali. Saya ingin
memujinya.
Saya tidak ingin para dokter menjadi ngambek seperti humor
ngambek-nya seorang istri yang sudah terkenal itu: Suatu saat sebuah
keluarga ingin mengundang makan malam seorang suci. Sang istri sehari
penuh sibuk menyiapkan makanan yang lezat-lezat. Waktu mau makan, sang
suami meminta sang suci membacakan doa. “Terima kasih, Tuhan, Engkau
telah menyediakan makanan yang lezat-lezat ini.” Ucap sang suci
mengakhiri doanya. Selama makan sang istri merengut saja. Setelah sang
suci pulang, si istri menggugat suaminya: Tidakkah tadi kau laporkan
kepada sang suci bahwa sayalah yang sehari penuh menyiapkan makanan ini?
Saya tidak ingin para dokter njegol seperti si istri itu.
Sudah tentu tidak hanya faktor keahlian dokter yang menjadi satu-satunya kunci sukses. Saya mencoba merincinya sebagai berikut:
- Keahlian dan pengalaman dokternya.
- Kecanggihan peralatannya.
- Kemajuan obat-obatannya.
- Kemampuan manajemen rumah sakit dan tim operasinya.
- Keberadaan donor yang sangat prima.
- Kondisi badan saya yang masih baik.
Faktor mana yang terpenting, rasanya sulit menentukan. Tapi, kalau
ada waktu membahasnya lebih dalam, pasti juga akan diketahui
ranking-nya.
Soal keahlian dokter, di Indonesia pun tidak akan kalah. Saya pernah
menerima keluhan dokter ahli bedah jantung seperti Prof Dr dr Paul
Tahalele. Keahliannya pasti tidak kalah dengan dokter Singapura. Tapi,
kesempatan untuk memperoleh pengalaman yang banyak sangatlah minim. Baik
karena langkanya donor maupun minimnya peralatan. Bagaimana bisa punya
pengalaman transplantasi liver 150 kali setahun kalau di negeri itu
orang tidak bisa mendonorkan organnya?
Mengenai kecanggihan peralatan, rumah sakit ini tergolong yang
terbaik di dunia. Bahkan, ada satu alat yang hanya empat di dunia: di
AS, Korea, Jepang, dan di rumah sakit ini. Saya tidak diberi tahu alat
yang mana. Tersedianya peralatan yang canggih ini sangat terkait dengan
kemampuan dana dan keinginan pemimpinnya. Untuk Indonesia, dua-duanya
belum bisa banyak dinanti. Begitulah nasib dokter kita meski itu juga
dialami bidang yang lain.
Di bidang kemajuan obat-obatan harus diakui bahwa kemajuan penemuan
obat baru bukan main cepatnya. Kalau saja kemajuan obat-obatan tidak
seperti sekarang, mungkin juga banyak halangannya. Untuk kegagalan
transplantasi liver karena rejection, sekarang jumlahnya hampir nol.
Obat sinkronisasi liver baru dengan organ lain sudah amat sempurna.
Bahkan, obat antiinfeksi juga sudah membuat kegagalan karena infeksi
amat minim. Kegagalan yang terbanyak kini karena tekanan darah tinggi
dan gula darah. Sebab, obat-obatan yang harus dimakan setelah transplan
menimbulkan efek samping di dua sektor itu. Kebetulan, saya tidak
memiliki bakat darah tinggi maupun gula darah.
Kondisi pasien yang prima memegang peran penting karena banyaknya
komplikasi juga akan menyulitkan. Salah satu pasien yang saya kenal
kelihatan gembira sekali di hari pertama dan kedua setelah keluar dari
ICU. Tapi mulai lemas di hari-hari berikutnya. Ini karena jantungnya
memburuk.
Itulah sebabnya, saya membuat keputusan justru harus melakukan
transplantasi ketika saya masih sehat. Maksud saya ketika organ-organ
lain saya masih baik. Kalau saja terlambat mengambil keputusan, akan
lain hasilnya.
Mendapatkan donor yang prima pun, antara lain, juga ditentukan oleh
kondisi pasien. Misalnya, kalau saja saya tidak sabar menunggu. Mungkin
akan mendapat juga donor, tapi kualitasnya belum tentu sebaik yang ada
di dalam badan saya sekarang. Atau, kalau saya sabar, tapi kondisi badan
saya sudah tidak bisa lagi menunggu lebih lama, tentunya donor seperti
apa pun akan diterima. Toh semua donor sudah diperiksa kualitasnya.
Bahwa ada kualitas I atau II, itu tentu ada kelas-kelasnya.
Kalau sejak sebelum operasi saya optimistis bahwa transplantasi ini
akan berhasil, antara lain, saya sudah menghitung semua faktor di atas.
Tentu, semua itu tidak saya informasikan kepada keluarga atau
teman-teman. Hanya saya dan tim saya yang tahu.
Teman-teman, juga para pemegang saham, mungkin banyak yang
pesimistis. Terutama kalau mereka melihat tanda-tanda fisik saya: mulai
dari sudah muntah darah, sudah bengkak, dan wajah sudah menghitam.
Mereka juga melihat tanda-tanda nonfisik yang saya lakukan. Misalnya,
saya tiba-tiba mengundang teman-teman yang ketika bekerja di Jawa Pos
dulu pernah saya marahi. Kadang saya sadari bahwa ternyata tidak
seharusnya saya marah karena ternyata dia tidak salah. Tapi kalau sudah
telanjur marah, masak bisa diralat? Yah, saya sering juga kemudian minta
maaf, tapi saya yakin sudah telanjur melukai hati mereka.
Kepada mereka (baik yang sudah pensiun maupun yang belum), saya
berikan uang. Ada yang cuma Rp 5 juta, ada yang sampai Rp 100 juta.
Tergantung perasaan saya seberapa saya merasa bersalah. Rupanya,
bagi-bagi uang ini terdengar juga oleh pensiunan karyawan yang lain.
Lantas, dia menghubungi saya lewat SMS: saya menyesal mengapa dulu tidak
pernah dimarahi. “Boleh nggak sekarang saja dimarahi. Asal kemudian
ikut diundang,” katanya.
Saya juga sering mengadakan khataman Alquran yang diikuti para hafiz
(orang yang hafal Quran). Mereka aktif berpindah-pindah di Surabaya dan
tiga bulan sekali di rumah saya.
“Apakah Pak Dahlan sudah mau mati? Mau khusnul khotimah?” komentar
seorang teman secara diam-diam tapi sampai juga ke telinga saya. Apalagi
saya juga menyelenggarakan zikir-pidak dan ikut mendengungkan kalimat
syahadat yang sudah di-compress menjadi kata pendek hu itu ribuan kali.
Para pemegang saham juga sangat khawatir ketika saya minta bertemu
dan menyampaikan sesuatu yang amat sangat pentingnya. “Apakah yang Anda
lakukan ini ada hubungannya dengan sakit Anda?” tanya seorang pemegang
saham.
Sambil menunggu saatnya transplantasi pun, buku yang saya baca adalah
buku kisah artis terkemuka Tiongkok yang meninggal muda setelah
transplantasi liver. Sampai-sampai tim saya bilang, “Mbok jangan baca
buku yang begituan.” Maksudnya jangan membaca yang seperti memberikan
isyarat-isyarat bahwa saya akan gagal dan meninggal.
Mereka tidak tahu bahwa saya ingin belajar dari buku itu. Terutama:
mengapa gagal? Apa yang tidak boleh saya tiru agar saya tidak gagal?
Juga ada maksud saya yang lain lagi: belajar membaca huruf Mandarin.
Pelajaran penting yang saya peroleh dari buku itu adalah ini: jangan
terlambat ambil keputusan transplantasi. Ini menambah kuat tekad saya
untuk melakukan transplan ketika kondisi badan saya masih kuat.
Artis itu sudah amat terlambat melakukannya. Transplantasi pertama
dilakukan di Beijing. Berhasil. Belum dua bulan sudah sibuk menghadiri
berbagai acara, termasuk talk show dan jumpa fans di kota-kota yang
jauh. Padahal, dia melakukan transplantasi dalam keadaan sudah amat
terlambat. Kankernya sudah telanjur menyebar ke bagian tubuhnya yang
lain.
Akhirnya, dia harus transplantasi lagi di kota ini. Juga berhasil.
Tapi, kanker sudah lebih menyebar lagi. Akhirnya meninggal dunia.
Pelajaran lain yang saya dapat adalah: Jangan buru-buru merasa sehat
dulu. Karena itu, sepulang dari Tiongkok nanti, saya akan mampir dulu di
Singapura beberapa hari. Kebetulan, istri perdana menteri Singapura
yang juga CEO Temasek Group, Madame Ho Ching, juga minta agar saya
menjalani review di negaranya. Itu bisa dilakukan dalam rangkaian
perjalanan saya pulang kelak. Singapura memang punya reputasi yang baik
untuk perawatan pascaoperasi. Bahkan, untuk transplantasi “separo hati”,
Singapura sudah amat berpengalaman. “Saya yang akan atur,” tulis Madame
Ho Ching dalam email-nya kepada saya. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment