Sering Kaget Disapa Wanita Modis dan Ceria dalam Lift
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (29)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
DI masa menanti waktu pulang ini, saya kehilangan dua teman wanita
yang paling saya akrabi. Keduanya tinggal di lantai yang sama. Satu dari
Jepang, satunya lagi dari Harbin, Tiongkok. Saya sering sekali
mengunjungi kamar masing-masing dan ngobrol berlama-lama. Terutama kalau
istri saya pergi belanja. Apalagi mereka senasib: juga hepatitis,
sirosis, dan kanker hati. Kami biasa saling curhat.
Yang wanita Jepang amat modis. Bajunya bagus-bagus dan mahal-mahal.
Rambutnya disasak tinggi. Sepatunya seperti Cinderella. Dia sendirian.
Tidak satu pun keluarganya mendampingi. Dia juga tidak bisa berbahasa
Mandarin sehingga hanya saya pasien yang bisa dia ajak ngobrol dalam
bahasa Inggris.
Dua wanita itu juga amat mengesankan. Bicaranya, guraunya, dan
intelektualnya bisa nyambung dengan saya. Dua-duanya juga amat cantik
-terutama kalau penilaian ini saya berikan 35 tahun yang lalu, saat
keduanya masih kira-kira berumur 30 tahun.
“Saya nanti tidak sesukses kamu,” kata wanita yang dari Jepang itu
suatu saat kepada saya. Dia ngiri melihat badan saya yang sehat dan agak
gemuk. Saya memang tidak menceritakan bahwa gemuk saya waktu itu karena
bengkak. “Umur saya sudah 72 tahun,” tambahnya.
Wanita yang dari Harbin lebih mengeluh lagi. Bukan saja mengenai
umurnya, tapi juga kondisi badannya. “Perut saya sudah berisi air,”
katanya. Kalau saja dia masih muda, tentu orang akan mengira dia hamil.
“Umur saya juga sudah 69 tahun,” tambahnya. Lebih dari itu dia juga
mengidap sakit gula.
Saya memahami keadaannya. Saya tahu bahwa sakit gula akan menjadi
salah satu faktor yang memengaruhi sukses tidaknya transplantasi. Tapi,
saya tidak menceritakan bagian ini padanya. Saya ceritakan kenyataan
bahwa ada pasien lain yang juga punya sakit gula toh berhasil dengan
baik juga.
Di lain waktu wanita Harbin tadi curhat yang lain lagi. “Saya nanti
pulangnya mungkin paling belakangan,” katanya. “Kalian sudah pulang
semua, saya akan masih di sini. Sendirian,” katanya. Saya menjawab: Saya
juga tidak akan buru-buru pulang. Saya juga berjanji kepadanya untuk
terus memberinya semangat. Saya cepat akrab dengan wanita Harbin ini,
antara lain, karena saya pernah lama di sana: Belajar bahasa Mandarin
dengan cara home stay. Juga sudah tak terhitung lagi berapa kali saya ke
Harbin sesudah itu.
Benar saja, si Cinderella sangat berhasil operasinya. Pasti semakin
modis dia nanti. Juga benar bahwa seminggu setelah operasi dia sudah
menentukan tanggal pulang. “Dokter saya di Jepang yang minta saya segera
pulang. Menjalani perawatan di sana,” katanya seperti minta pengertian.
Tentu kami tetap menampakkan kegembiraan kami bahwa dia begitu sukses
dengan transplantasinya.
Yang wanita Harbin juga sudah menjalani transplantasi. Juga sukses.
“Perut saya yang mulai buncit dulu itu, sudah hilang,” katanya dengan
meraba-raba perutnya. Benar, saya lihat perutnya “sudah hilang”. Meski
memang lebih lambat mulai bisa turun dari tempat tidur, bicaranya sudah
keras dan tegas. Juga sudah bisa tertawa, meski kalau tertawa lantas
kian terlihat umurnya yang sebenarnya.
Saya sendiri akhirnya mendapat gelar ’yuan lao’ di rumah sakit ini.
Penghuni lama. Pasien yang kerasan di rumah sakit. Tidak buru-buru
pulang. Karena ’yuan lao’, saya sangat hafal pada perawat, pegawai, dan
dokter di rumah sakit ini. Mereka juga hafal pada saya.
Meski begitu hafal, saya masih sering kecele kalau suatu saat disapa
wanita yang sangat modis dan ceria di dalam lift atau di lobi. Terutama
pada jam-jam pulang atau berangkat kerja. “Siapa ya wanita cantik ini,”
sering saya bertanya dalam hati. Eh, baru sadar bahwa mereka adalah
perawat atau pesuruh yang tadi melayani saya.
Rupanya mereka biasa ganti-ganti baju. Begitu selesai bertugas, para
perawat itu ganti pakaian seperti model. Bajunya, tatanan rambutnya,
cara membawa tasnya, sama sekali tidak menyangka kalau dia tadi yang
pakai baju perawat dengan topi putih. Dia sering menyapa, tapi saya
seperti tidak kenal lagi siapa dia.
Perawat di sini memang disediakan kamar mandi dan ganti baju. Setiap
masuk kerja mereka mandi dulu dan baru ganti baju perawat. Demikian juga
ketika pulang kerja. Ini agar kuman yang terbawa perawat saat berangkat
kerja tidak terbawa ke pasien.
Yang seperti itu tidak hanya perawat. Pesuruh dan tukang pel lantai
pun idem ditto. Sewaktu bertugas mengepel kamar saya, pakaiannya
baju-kerja penyapu lantai. Sepatunya sepatu kungfu yang murahan. Tapi,
begitu pulang, sungguh membelalakkan mata. Bajunya you can see,
celananya hot pants (maklum, musim panas) dan rambutnya dimain-mainkan
seperti artis Korea. Mereka sama sekali tidak punya rasa rendah diri
meski pekerjaannya tukang pel lantai. Sebaliknya, meski berangkat kerja
dengan amat modis, ketika kerja tidak ogah-ogahan.
Saya ingat direktur saya Zainal Muttaqien. Kami sering diskusi soal
kemiskinan di Indonesia dan Tiongkok. Mengapa orang di Tiongkok yang
juga banyak sekali yang lebih miskin dari orang miskin Indonesia, harga
dirinya lebih baik. Bukan saja jarang lihat pengemis, juga kalau bertemu
orang seperti tidak punya rasa rendah diri. Dan ini menjadi salah satu
sumber kemajuan Tiongkok. Ini yang disebut social-capital -modal sosial.
Bank Dunia menyebutkan social-capital ini menjadi faktor penting
kemajuan Tiongkok di samping modal finansial.
Muncullah istilah dari Zainal yang akan selalu saya ingat dan yang
akan kami perjuangkan sebagai inti dimulainya pembangunan harga diri
ini. Yakni, satu moto: “Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat”. Saya dan
Zainal, dan banyak lagi yang lain, akan bisa jadi model perjuangan itu.
Bagaimana ketika miskin dulu tidak jatuh sampai menjual harga diri dan
jabatan. Dan, ketika sudah kaya (duille!) tidak sewenang-wenang.
Saya ingat, meski waktu itu sudah menyandang gelar wartawan majalah
TEMPO yang begitu ternama, saya belum punya sepeda, apalagi sepeda
motor. Rumah pun masih menyewa di satu gang sempit di belakang pasar
Kertajaya, Surabaya. Rumah separo tembok separo kayu. Yang kamar
mandinya dipakai bersama beberapa rumah tangga. Yang airnya dari sumur
yang harus ditimba sendiri. Yang kasur tipisnya harus dihampar di
lantai.
Waktu harus wawancara ke daerah industri di Tandes Margomulyo, saya
hanya punya uang Rp 75 di saku. Hanya cukup untuk naik bemo
berangkatnya. Dari Kertajaya ke Jembatan Merah Rp 25, lalu dari Jembatan
Merah ke Tandes Rp 50. Selesai wawancara, saya diberi amplop. Saya tahu
isinya pasti uang. Saya menolaknya meski di saku tidak ada lagi uang
sepeser pun. Meski Tandes-Kertajaya begitu jauhnya. Saya pulang dengan
jalan kaki. Hampir dua jam. Karena beberapa kali harus berhenti untuk
menghindar dari panasnya Surabaya.
Waktu harus pulang ke Kaltim, tentu banyak orang yang akan memberi
saya tiket. Tapi, saya pilih naik kapal kayu ke Banjarmasin dulu, agar
murah. Lalu naik kendaraan umum berupa jip terbuka yang penuh sesak
dengan penumpang. Belum ada bus waktu itu. Saya khawatir dengan istri
saya. Maka, saya bilang kepada sopir agar boleh naik di kursi dekat
sopir. “Istri saya hamil muda,” kata saya.
“Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat” akan membuat bangsa ini tidak
gampang jatuh ke derajat bangsa-pengemis. Atau, bangsa yang kalau
melihat orang kaya yang muncul kecemburuannya. Bangsa yang mudah disogok
dan dipermainkan. Yang juga mudah dibayar untuk, misalnya, sekadar
berdemo.
Dari penampilan para perawat dan tukang pel di rumah sakit ini, saya
belajar bagaimana menjalani pekerjaan rendahan dengan jiwa yang kuat.
Saya kepingin sekali meniru ini di Graha Pena. Petugas cleaning service
tidak harus merasa rendah diri. Saya sudah minta manajemen Graha Pena
untuk menghitung konsekuensi biayanya. Kalau upaya meniru ini berhasil,
penampilan Graha Pena juga akan lebih “keren”. Dan harga diri pegawai
yang di situ sama tingginya.
Lalu muncul ide gila yang tidak masuk akal. Untuk membuat kota-kota
di Indonesia cantik, para wanita yang lalu lalang di kota itu harus juga
terlihat cantik. Betapapun bersihnya sebuah kota, kalau yang
lalu-lalang di dalamnya kumuh-kumuh, nggak menarik jadinya. Maka, pemda
yang menginginkan kotanya cantik dan menarik harus memberikan
penduduknya yang wanita barang-barang ini secara gratis: Baju, lipstik,
eye shadow, sepatu, dan biaya ke salon.
Ide itu tentu tidak mungkin dilakukan. Kalaupun dilakukan, belum
tentu lipstiknya digunakan. Bisa-bisa dijual. Sebab, filsafat “Kaya
Bermanfaat, Miskin Bermartabat” belum menjadi budaya.
Tentu semua biaya seperti itu, kalau di rumah sakit ini, ditanggung
sendiri. Tapi, di Graha Pena kami akan mencoba memberikannya secara
cuma-cuma kepada pegawai bagian cleaning service-nya. Tentu tidak harus
sampai pada hot pants, tapi berjilbab pun akan dicarikan jilbab yang
modis.
Salah satu kesimpulan saya, membangun kepercayaan diri begitu
pentingnya. Jarang saya lihat orang Tiongkok yang merasa rendah diri.
Mereka bisa membedakan ’rendah diri’ dan ’rendah hati’. Sedangkan kita,
kalau tidak mau dibilang kurang ajar, sering terbelit filsafat
’unggah-ungguh’, ’sopan-santun’, ’tawaduk’, yang sebenarnya tetap bisa
kita lakukan tanpa harus jatuh ke derajat ’rendah diri’.
Kembali ke dua wanita tadi (eh, kok ingat dia lagi sih?), ternyata
ada baiknya juga dia pulang lebih dulu. Kalau tidak, tulisan ini tidak
akan bisa selesai tepat waktunya. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment