Dokter Menegur Iba, Ingat Nasib Ayahnya yang Redaktur
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (18)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
BUKAN. Bukan bodoh. Semua penjelasan Prof Shao mengenai bahayanya
penyakit saya, saya mengerti sepenuhnya. Terang-benderang penjelasannya.
Saya pasti tidak bodoh. Hanya saya sadari, saya agak ndablek. Dan dia
tahu perilaku saya itu. Dia tahu keras kepala saya, sembrono saya.
Suatu saat, ketika saya kembali menemuinya setelah setengah bulan
menghilang, dia lama memandang saya. “Ke mana saja Anda? Kami di sini
prihatin sekali. Takut terjadi sesuatu pada Anda,” katanya dengan nada
khawatir. Mungkin juga jengkel.
“Saya baru datang dari Indonesia,” jawab saya. Dia setengah tidak
percaya, setengah gondok. “Lho, setelah dari sini dulu itu, Anda pulang
ke Indonesia? Kenapa? Apa kata saya tentang kebakaran rumah tetangga?”
ujarnya. Dia lantas menarik napas panjang sekali.
“Dahlan, Anda ini sudah gawat. Saya tidak mau kehilangan Anda,”
katanya. Berkata begitu, dia seperti setengah menegur setengah mengiba.
Dia kembali menarik napas panjang sekali. Matanya kelihatan berlinang.
Dia keluarkan tisu di sakunya. Dia usap air matanya.
Beberapa hari kemudian, dia bercerita kepada saya mengapa sampai
hampir menangis ketika menasihati saya. Ternyata, dia ingat bapaknya.
Bapaknya seorang redaktur surat kabar. Ibunya seorang hakim terkemuka.
Bapaknya terus menulis buku sepanjang malam. Lalu meninggal. Ternyata
karena sakit liver. Dia tidak tahu itu dan tidak memperhatikan itu.
Padahal, dia dokter ahli liver. Waktu itu, katanya, dia juga sedang
belajar ekstrakeras selain kerja keras. Sebab, dia akan segera dapat
beasiswa untuk sekolah lagi di luar negeri. Tapi, semuanya gagal.
Beasiswa tidak jadi. Ayahnya pun pergi. Dia menangis lagi saat
menceritakan itu.
Dia lantas ingin merawat saya semaksimal mungkin agar tidak seperti
bapaknya. Saya sendiri juga kepingin agar tidak seperti ibu saya. Dia
akan sangat kecewa kalau saya sendiri tidak peduli dengan badan saya.
Apalagi dari hasil pemeriksaan total, dia lihat masih ada sedikit
peluang. Hasil “laminating” yang dilakukan di Singapura terhadap saluran
pencernakan saya yang sudah penuh varises sangat baik. Cukup untuk
mengulur waktu beberapa bulan. “Laminating” itu kurang lebih bisa
bertahan setahun. Kalau toh ada tanda-tanda bengkak lagi, masih bisa
“dilaminating” sekali lagi.
Prof Shao lebih prihatin pada kadar platelet atau trombosit saya yang tinggal 60. Angka minimal untuk kadar trombosit seharusnya 150 (ini angka dalam standar laboratorium di Tiongkok). Di negara lain, termasuk Indonesia, digunakan standar minimal 150.000. Normalnya 150.000 sampai 400.000 per milimeter kubik darah.
Melihat rendahnya kadar platelet saya, Prof Shao lantas berpikir
keras mencari jalan untuk menaikkan kadar platelet saya. Tapi, caranya
tidak lewat injeksi karena hal itu hanya bisa bertahan dua-tiga hari.
Setelah itu, platelet akan turun lagi.
“Mungkin saya akan mengecilkan limpa Anda,” katanya. Limpa saya harus
dipotong? “Boleh dibilang begitu. Namanya diembolisasi,” ujarnya.
Dipotong seberapa banyak? “Sekarang, limpa Anda sudah membesar tiga
kali ukuran normal. Mungkin dikurangi sepertiganya dulu,” katanya.
“Limpa dipotong?” kata saya dalam hati. Saya minta waktu berpikir untuk memutuskannya.
Mengapa limpa harus dikecilkan?
Limpa adalah organ kecil -yang dalam keadaan normal hanya seukuran
genggaman kita- di bawah iga kiri. Tugasnya melawan infeksi, memproduksi
sel darah merah dan darah putih tipe tertentu, serta menyingkirkan
sampah-sampah di pembuluh darah. Yang disebut sampah di pembuluh darah,
antara lain, adalah sel-sel darah yang rusak.
Seperti yang pernah saya sebutkan di tulisan terdahulu, aliran darah
ke liver saya (baca: penderita sirosis) tidak bisa lancar. Akibatnya,
darah mengalir balik ke limpa. Untuk menampung limpahan itu, limpa
lantas “membesarkan diri”. Makin banyak darah yang harus ditampung,
semakin besar pula ukuran limpa.
Karena jumlahnya di luar batas normal, limpa pun memperlakukan
sel-sel darah yang numpuk itu sebagai sampah yang harus disingkirkan.
Itu berarti sel-sel darah yang “sehat” pun ikut disingkirkan.
Bagi limpa, luberan sel darah yang berlimpah itu memang menyulitkan.
Sebab, jika tidak dihancurkan, sel-sel sehat dan rusak itu akan mengerak
dan mengganggu fungsinya. Tapi, jika dihancurkan semua, darah akan
kekurangan sel darah merah, darah putih, dan platelet yang “sehat”.
Padahal, orang yang kekurangan sel darah merah akan mengalami anemia (kekurangan darah). Kalau kekurangan darah putih, orang akan gampang terkena infeksi dan yang kekurangan platelet akan mudah mengalami pendarahan. Tiga-tiganya bisa mengakibatkan kematian.
Padahal, orang yang kekurangan sel darah merah akan mengalami anemia (kekurangan darah). Kalau kekurangan darah putih, orang akan gampang terkena infeksi dan yang kekurangan platelet akan mudah mengalami pendarahan. Tiga-tiganya bisa mengakibatkan kematian.
Oh, ya saya lupa menjelaskan bahwa sebenarnya, bukan hanya kadar
platelet saya yang turun. Tapi juga sel darah putih dan sel darah merah
saya. Untuk menormalkan kadar sel-sel darah saya itulah, Prof Shao
memutuskan perlunya mengecilkan limpa saya.
Ini memang bukan langkah permanen. Sebab, selama liver saya sirosis,
darah yang tidak bisa masuk liver akan meluber dan menekan ke mana-mana,
termasuk ke limpa. Artinya, setelah dipotong pun, kelak limpa membesar
lagi? Ya. Dan itu akan membuat pletelet juga turun lagi. Kalau tahap itu
sudah terjadi, limpa saya masih bisa dipotong lagi, sekali lagi.
Limpa memiliki tiga saluran darah masuk utama. Kalau salah satu
saluran itu dimatikan, limpa akan mati sepertiga. Mematikan salah satu
di antara tiga saluran itulah, yang akan dilakukan Prof Shao. Kelak,
kalau limpa sudah membesar lagi, masih ada satu di antara dua saluran
utama yang bisa dimatikan lagi. Tentu pemotongan limpa itu tidak bisa
dilakukan tiga kali karena sama artinya dengan membuang limpa sama
sekali. Tapi, dua tahap pemotongan limpa tersebut dianggap cukup untuk
mengulur waktu sampai lima tahun.
Saya tetap minta waktu memikirkannya. Saya kembali ke Indonesia lagi
agar, antara lain, bisa mampir ke Singapura. Saya ingin mendapatkan
opini pembanding.
Saya harus kembali ke tanah air karena sudah terlanjur komit untuk
mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim. Dari Kaltim-lah, saya memulai
karir sehingga saya anggap Kaltim seperti daerah kelahiran sendiri.
Setamat SMA, saya memang ke Kaltim, ikut kakak sulung saya. Tujuan satu:
agar bisa kuliah. Di Jawa saya tidak mungkin bisa masuk universitas
karena tidak punya biaya. Di Kaltim, masuk univeristas masih gampang dan
murah. Saya masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda.
Kampusnya di sebuah rumah panggung di Jalan Panglima Batur IV. Sewaktu
kuliah, saya sering melihat ke bawah. Karena lantai papannya tidak cukup
rapat, saya bisa menyaksikan apa yang terjadi di kolong yang sering
digenangi air. Sering ada suara “krosak” di kolong itu yang lebih
menarik perhatian saya daripada mata kuliah. Itulah suara biawak
berkelahi. Biawak adalah binatang seperti buaya, tapi hidup di darat.
Sebagai tamatan aliyah, saya memang tidak mendapat ilmu baru dari mata
kuliah yang sudah saya pelajari semua di kelas satu SMA itu.
Tahun-tahun belakangan Kaltim mengalami krisis listrik. Pemadaman
terjadi bergilir. Banyak kampung miskin terbakar karena saat lampu mati,
mereka harus menyalakan lilin. Nah, lilin itulah yang sering
mengakibatkan kebakaran. PLN tidak bisa banyak berbuat karena selalu
rugi. Setahun PLN Kaltim bisa rugi hampir setengah triliun rupiah
(2005). Kaltim tidak bisa berharap banyak pada PLN.
Pembangkit-pembangkit listrik PLN sangat tidak efisien. Untuk
menghasilkan satu watt, diperlukan biaya Rp 2.000-an. Padahal, rakyat
hanya dikenai tarif Rp 750. Kalau tarif listrik dinaikkan, yang terjadi
adalah demo. Jadi, sejak sebelum matahari terbit pun, PLN sudah tahu
bahwa hari itu perusahaannya akan rugi Rp 1.250 per watt.
Maka, saya meyakinkan pimpinan-pimpinan daerah di sana, mulai
gubernur sampai DPRD, agar mau menyisihkan sebagian anggaran untuk
investasi di listrik. Membangun PLTU yang efisien, yang biaya produksi
listriknya hanya Rp 500 per watt. Kalau dijual Rp 750 per watt kepada
masyarakat, PLN langsung untung. Anggaran Kaltim yang besar karena
sumber alamnya yang melimpah jangan habis untuk kebutuhan konsumtif.
Pemda setuju asal saya mau jadi direktur utama perusahaan daerah di
sana. Seperti yang saya lakukan di Jatim.
Proyek energi yang kelihatannya mulia itu ternyata juga memakan bukan
hanya dana saya, tapi juga energi saya. Dan, yang utama lagi memakan
batin saya. Meski tujuannya begitu hebat, logikanya begitu baik, dan
hasilnya bagi PLN juga begitu nyata (dari perusahan rugi akan langsung
jadi laba), proses perizinannya ternyata sangat panjang, melelahkan, dan
menjengkelkan. Dua tahun baru beres. Padahal, saya kenal direksi
PLN-nya, kenal menteri-menteri di bidangnya, kenal wakil presiden, dan
bahkan presidennya. Memang, saya tidak pernah memanfaatkan kedekatan
saya itu untuk urusan tersebut. Sudah jadi prinsip saya untuk tidak
memanfaatkan keberadaan saya di pers untuk menekan seseorang.
Pernah suatu saat saya diajak ke Tiongkok oleh Wapres Jusuf Kalla. Di
atas pesawat, Wapres mengumpulkan menteri dan direksi PLN untuk
membahas kasus Kaltim itu. Ini bukan karena saya mengadu, tapi karena
Chairul Tanjung yang berinisiatif. Bos Bank Mega yang juga bos Trans TV
itu yang prihatin dengan keluhan saya. “Ini harus selesai. Kalau Dahlan
saja mengalami hal seperti ini, bagaimana yang lain?” katanya. Saya malu
proyek sekecil itu saja sampai dibahas di forum yang begitu tinggi.
Tinggi level dan tinggi pula tempatnya. Di dalam pesawat yang berada
36.000 kaki di atas permukaan laut.
“Urusan kecil begini kok panjang sekali, ya,” kata saya kepada
Chairul Tanjung. Sebagian karena malu, sebagian lagi sebagai ungkapan
terima kasih atas inisiatifnya.
“Ini memang rusan kecil bagi Anda. Tapi kalau tembok ini tidak
dijebol, siapa yang mau masuk jadi investor listrik,” kata bos Bank Mega
yang namanya meroket tahun-tahun terakhir ini. “Saya saja tidak mau.
Saya baru mau masuk ke listrik kalau urusan ini sudah selesai,”
tambahnya.
Tentu sebenarnya juga bukan kecil bagi saya. Kecil yang saya maksud
adalah dari sudut pandang negara. Ini besar bagi saya, terutama
risikonya. Risiko pada keuangan saya dan pada kesehatan saya. Memang,
saya akan dicatat sebagai penjebol tembok kebuntuan listrik itu. Namun,
bisa jadi, kepala saya juga pecah ketika membenturnya. Tembok tersebut
terlalu tebal.
Memang ada juga salah saya. Saya terlalu terpengaruh suasana di
Tiongkok. Ini gara-gara saya terlalu sering ke negeri itu dan melihat
bagaimana antusiasnya pemerintah kalau ada investor datang. Bayangan
saya juga begitu sewaktu saya memiliki semangat untuk ikut mengatasi
krisis listrik di Kaltim. Pasti pemerintah di segala lapisan akan
senang. Kalau proyek tersebut berhasil, kan sama artinya dengan
menyumbang Rp 500 miliar tiap tahun kepada negara? Bayangan saya
pemerintah akan membuat segalanya lancar.
Kesalahan kedua saya, ketika setahun mengurus izin ini tidak berhasil
(karena sejumlah peraturan yang tidak mengizinkan PLN menandatangani
kontrak jangka panjang), saya setuju untuk kompromi. Yakni cukup
mendapatkan kontrak tahunan saja dari PLN. Kalau kontrak tahunan, PLN
tidak melanggar peraturan. Apalagi ada bank yang bersedia memberikan
pinjaman meski kontraknya hanya tahunan. Ternyata, ujung-ujungnya, bank
tetap mensyaratkan kontrak jangka panjang. Saya memahami aturan bank
seperti itu. Saya juga memahami PLN tidak boleh melanggar aturan. Yang
tidak saya pahami adalah mengapa ada peraturan yang menghambat kemajuan
seperti itu. Kalau toh sudah telanjur ada karena masa lalu yang kelam,
mengapa tidak segera dicabut.
Maka, lagi-lagi kami harus mengurus izin kontrak panjang dengan PLN.
Tepatnya izin dari tiga lembaga, masing-masing dengan birokrasinya
sendiri: kementerian energi, kementerian BUMN, dan PLN. Di kementerian
energi saya tidak punya masalah. Di PLN hanya sedikit masalah. Tapi,
saya buntu di kantor menteri BUMN. Padahal, saya kenal Menteri
Soegiharto. Bahkan, dia juga ikut dalam rapat tingkat tinggi yang
benar-benar tinggi itu.
Persoalan tersebut membuat saya harus mengabaikan peringatan keras
Prof Shao bahwa saya tidak boleh terbang, tidak boleh lelah, tidak boleh
mikir, tidak boleh marah, tidak boleh kesal. Saya ingat kata-kata Prof
Shao bahwa walau terjadi kebakaran di rumah tetangga pun, saya tidak
boleh peduli. Tapi, yang kebakaran ini bukan rumah tetangga. Rumah saya
sendiri: Kaltim. Juga rumah besar saya: Indonesia. Indonesia yang begitu
rumit peraturannya.
Saya harus pulang ke Indonesia untuk terus mengurus semua itu. Saya
menyesal telah berinisiatif mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim
tersebut. Menyesal luar biasa. Tapi sudah tidak bisa mundur lagi. Meski
kondisi badan saya sudah sedemikian parah, saya tidak bisa lari dari
tanggung jawab itu. Tidak pantas saya sebutkan di sini apa usaha yang
saya lakukan untuk mengatasi kebuntuan di kantor (Soegiharto, sebelum
dicopot) menteri BUMN. Yang penting, akhirnya sang menteri mengeluarkan
surat persetujuan. Sebuah persetujuan yang sudah sangat mahal; bukan
saja karena prosesnya, tapi juga akibatnya. Lambatnya proses ini telah
membuat biaya investasi membengkak luar biasa.
Tapi, ini sudah bukan lagi soal untung rugi. Ini soal krisis listrik
yang harus diatasi. Tiga-empat bulan lagi (akhir tahun ini), insya Allah
Kaltim mulai bisa mengatasi kelangkaan listrik. Liver baru saya mungkin
juga akan ikut berbinar-binar. Saya dengar setelah soal Kaltim itu
selesai, berturut-turut banyak izin yang ditandatangani PLN untuk
investor-investor lain.
Dalam perjalanan pulang untuk mengurus listrik itu, saya bisa mampir
ke Singapura. Saya ingin bertanya ke dokter di Singapura, benarkah limpa
saya harus dipotong? Mengapa dokter di Singapura sama sekali tidak
pernah menyinggung soal limpa? (Bersambung)
No comments:
Post a Comment