Transplantasi Berhasil, Istri Gembira karena Wajah Berubah
Pengalaman Pribadi menjalani Transplantasi Liver (26)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
KALAU saja foto liver lama saya dimuat di koran tanpa penjelasan
(foto-foto itu akan dimuat di edisi buku), setidaknya akan muncul tiga
versi tanggapan. Orang di desa saya akan langsung mengatakan, “Pasti ini
karena disantet”. Begitu jugalah dulu penilaian terhadap ibu saya. Juga
terhadap kakak saya.
Liver saya memang seperti daging yang dibakar setengah matang! Pasti
ketika menyantet saya, si penyantet membeli hati sapi dulu. Lalu
memanggangnya. Asapnya lantas di-email-kan ke dalam tubuh saya. Karena
maraknya pandangan santet di masyarakat kita, maka yang maju lantas
dunia mistik dan bukan rasionalitasnya.
Pandangan kedua akan datang dari kalangan agama yang berpandangan
sempit. Yang suka marah-marah, termasuk di mimbar Jumat. Kalangan ini,
kalau melihat hati seperti itu, akan langsung mengambil kesimpulan:
Tuhan telah murka padanya. Bahkan, bisa-bisa mengerasnya liver saya
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ’sadat qulbuha’ (sudah keras
hatinya), agar mirip dengan ayat Quran yang sangat terkenal, “… fasadat
qulubuhum”.
Kalangan ini sudah kritis lagi, karena emosi lebih besar daripada
rasio. Bahkan, lupa bahwa kata dalam bahasa Arab ’qalb’ (kalbu) artinya
bukan hati -dalam pengertian liver. Liver bahasa Arabnya ’kabid’. Lupa
bahwa ’qalb’ itu artinya jantung. Ini memang agak kacau. Direktur Radar
Banyuwangi, Samsudin Adlawi (Udi), orang yang paling jago bahasa Arabnya
di lingkungan Group Jawa Pos, pernah saya Tanya arti ’qalb’. Ini karena
saya juga ragu akan ingatan bahasa Arab saya. Begitu saya tanya, Udi
spontan menjawab: qalb artinya hati!
Lantas saya tanya lagi. Mengapa kok lambang cinta itu gambar jantung?
Mengapa dalam bahasa Inggris disebut heart? Dan, dalam bahasa Mandarin
disebut xin? Rupanya dia baru berpikir ulang. Lalu bergegas meralat
jawaban pertamanya. “Saya tadi salah. Memang qalb itu artinya jantung.
Sedang liver adalah……” kata Udi yang juga sastrawan itu. Bayangkan, Udi
yang demikian mahir bahasa Arab terbius oleh sesuatu yang salah, tapi
sudah memasyarakat.
Memang, kita lupa mempersoalkan mengapa para ahli bahasa dulu
menerjemahkan kata ’liver’ (bahasa Inggris) menjadi ’hati’ dalam bahasa
Indonesia? Kini sudah sulit mengubah agar liver jangan lagi
diterjemahkan menjadi ’hati’. Sudah telanjur begitu mendarah-mendaging.
Kalau diubah, nanti bisa banyak sekali konsekuensinya. Misalnya kata
’patah hati’ harus diubah menjadi ’patah liver’. Atau ’patah jantung’
(broken heart).
Jadi, sebaiknya, urusan ilmiah memang jangan terlalu dikait-kaitkan
dengan keyakinan keagamaan, apalagi ketakhayulan. Kalau toh dikaitkan,
harus dalam rangka dzikir, bahwa Tuhan telah memberikan manusia otak
yang luar biasa cerdasnya. Begitu hebat pemberian itu sehingga harus
digunakan sebanyak-banyaknya. Padahal, orang yang paling pinter pun baru
menggunakan sebagian saja otaknya. Kita-kita barangkali baru
menggunakan lima persennya. Kita tidak boleh memubazirkan rezeki
dari-Nya itu. Kalau sedikit-sedikit sudah harus lari ke doktrin, kita
akan semakin terbiasa tidak menggunakan ciptaan-Nya itu.
Maka, kalau istri saya merasa sangat gembira akan keberhasilan
transplantasi liver ini, antara lain karena wajah saya kini sudah
sedikit berubah. Dia tidak perlu lagi menghadapi rasa malu karena
suaminya meninggal dalam keadaan wajah menghitam.
Memang setelah 1,5 bulan transplantasi, wajah saya yang sudah dua
tahun menghitam, kini kembali … hitam. Maksud saya kembali ke hitam yang
aslinya. Bukan hitam karena sirosis. Kini wajah saya sudah boleh
dibilang kembali seperti hitamnya kereta api (duile!), meski hitam
banyak yang antre. Imbuhan kata terakhir itu bukan asli ciptaan saya.
Anak kalimat itu adalah keputusan yang diambil dalam kongres para
pemilik kulit keruh, untuk sedikit mengangkat derajat mereka.
Kini kaki saya juga tidak bengkak lagi. Meski begitu, saya masih
sering memijit-mijitnya. Setengahnya karena sudah menjadi kebiasaan
selama dua tahun terakhir, setengahnya lagi untuk mengetes apakah dekok
akibat pijatan itu bisa cepat kembali. Ternyata biarpun saya pijit
kuat-kuat, bukan lagi dekoknya cepat kembali, bahkan tidak bisa dekok
sama sekali. Dulu, setiap memijat kaki, selalu berharap ada mukjizat
atau keajaiban. Tapi, setiap kali saya memijit kaki, setiap itu pula
saya disadarkan bahwa keajaiban tidak berlaku di bidang yang amat
scientific ini.
Kini saya kembali sering memijit kaki saya dengan sangkaan
sebaliknya: jangan-jangan bengkak lagi. Saya juga tidak lagi membenci
kaus kaki. Tapi, pada keadaan ’tidak membenci kaus kaki’ itu, justru
saya tidak terlalu memerlukannya. Tanpa kaus kaki pun kini perut tidak
merasa kembung.
Bagaimana dengan payudara saya? Tiap hari saya masih meraba-rabanya.
Masih tetap besar, tapi sudah mulai mengencang. Dokter bilang, lama-lama
juga akan kembali normal. Saya belum bisa memperkirakan apakah saya
akan lebih senang dengan payudara saya yang asli. Atau justru sudah
terbiasa nyaman dengan payudara seperti gadis yang menginjak remaja.
Limpa saya, yang meski sudah dipotong sepertiga, tapi masih dua kali
lipat lebih besar dari limpa asli, lama-lama juga akan kembali normal.
Demikian juga saluran pencernakan yang telanjur ’dilaminating’. Tidak
perlu lagi dilaminating kedua atau ketiga.
Membaca SMS mengenai mulai pulihnya organ-orang di tubuh saya,
seorang teman masih sempat menggoda saya dari Musi Banyuasin, Sumsel,
sana: “Apakah bulunya yang dicukur juga sudah kembali normal?” tulisnya
di SMS. “Untung, dulu tidak jadi minta dikembalikan. Bisa-bisa susternya
marah dan mengembalikannya ke dekat payudara,” tambahnya.
Saya makin sembuh, suasana pengajian di rumah juga lebih ceria.
Berbeda dengan saat para karyawan berkumpul untuk berdoa di rumah
menjelang saya operasi. Saat itu suasananya murung. Minggu lalu diadakan
acara pengajian dan hafalan Alquran sehari penuh hingga tarawih. Para
hafidz (penghafal) Alquran di Surabaya memang aktif berkumpul sebulan
sekali di tempat berpindah-pindah. Tiap tiga bulan sekali di rumah saya
Kini saya sudah bisa membuat perencanaan. Dulu, begitu tidak pastinya
penyembuhan sakit saya, saya tidak berani bikin perencanaan yang agak
panjang. Bahkan, tidak berani bikin janji kapan menerima tamu dan kapan
harus rapat. Kecuali yang amat penting.
Perencanaan pertama yang muncul di pikiran saya adalah apa yang
diucapkan Cak Nur. Yakni, ketika pemikir itu ditanya mengenai apa
bagaimana berislam yang baik dan enak. “Bekerjalah yang
sungguh-sungguh,” kata Cak Nur. Lalu mengisahkan keberhasilan Daud
mengalahkan Jalut (Goliat).
Di akhir ayat yang mengisahkan soal ini, tertulis “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, sebagai tanda syukur kepada-Ku”. Bersyukur dengan cara bekerja keras. Itulah juga yang akan saya tiru. Saya akan mensyukuri keberhasilan transplantasi liver saya dengan meneruskan kerja keras. Apalagi, seperti dikatakan Cak Nur, bekerja adalah tingkatan syukur yang tertinggi setelah mengucapkan alhamdulillah dan istighfar (minta ampun).
Di akhir ayat yang mengisahkan soal ini, tertulis “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, sebagai tanda syukur kepada-Ku”. Bersyukur dengan cara bekerja keras. Itulah juga yang akan saya tiru. Saya akan mensyukuri keberhasilan transplantasi liver saya dengan meneruskan kerja keras. Apalagi, seperti dikatakan Cak Nur, bekerja adalah tingkatan syukur yang tertinggi setelah mengucapkan alhamdulillah dan istighfar (minta ampun).
Saya sudah beberapa kali mengucapkan alhamdulillah. Juga sudah sering
mengucapkan istighfar. Tinggal, begitu sembuh, kerja keras lagi.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment