Thursday, September 20, 2007

Transplantasi Berhasil, Istri Gembira karena Wajah Berubah

September 20, 2007
Transplantasi Berhasil, Istri Gembira karena Wajah Berubah
Pengalaman Pribadi menjalani Transplantasi Liver (26)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

KALAU saja foto liver lama saya dimuat di koran tanpa penjelasan (foto-foto itu akan dimuat di edisi buku), setidaknya akan muncul tiga versi tanggapan. Orang di desa saya akan langsung mengatakan, “Pasti ini karena disantet”. Begitu jugalah dulu penilaian terhadap ibu saya. Juga terhadap kakak saya.

Liver saya memang seperti daging yang dibakar setengah matang! Pasti ketika menyantet saya, si penyantet membeli hati sapi dulu. Lalu memanggangnya. Asapnya lantas di-email-kan ke dalam tubuh saya. Karena maraknya pandangan santet di masyarakat kita, maka yang maju lantas dunia mistik dan bukan rasionalitasnya.

Pandangan kedua akan datang dari kalangan agama yang berpandangan sempit. Yang suka marah-marah, termasuk di mimbar Jumat. Kalangan ini, kalau melihat hati seperti itu, akan langsung mengambil kesimpulan: Tuhan telah murka padanya. Bahkan, bisa-bisa mengerasnya liver saya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ’sadat qulbuha’ (sudah keras hatinya), agar mirip dengan ayat Quran yang sangat terkenal, “… fasadat qulubuhum”.

Kalangan ini sudah kritis lagi, karena emosi lebih besar daripada rasio. Bahkan, lupa bahwa kata dalam bahasa Arab ’qalb’ (kalbu) artinya bukan hati -dalam pengertian liver. Liver bahasa Arabnya ’kabid’. Lupa bahwa ’qalb’ itu artinya jantung. Ini memang agak kacau. Direktur Radar Banyuwangi, Samsudin Adlawi (Udi), orang yang paling jago bahasa Arabnya di lingkungan Group Jawa Pos, pernah saya Tanya arti ’qalb’. Ini karena saya juga ragu akan ingatan bahasa Arab saya. Begitu saya tanya, Udi spontan menjawab: qalb artinya hati!

Lantas saya tanya lagi. Mengapa kok lambang cinta itu gambar jantung? Mengapa dalam bahasa Inggris disebut heart? Dan, dalam bahasa Mandarin disebut xin? Rupanya dia baru berpikir ulang. Lalu bergegas meralat jawaban pertamanya. “Saya tadi salah. Memang qalb itu artinya jantung. Sedang liver adalah……” kata Udi yang juga sastrawan itu. Bayangkan, Udi yang demikian mahir bahasa Arab terbius oleh sesuatu yang salah, tapi sudah memasyarakat.

Memang, kita lupa mempersoalkan mengapa para ahli bahasa dulu menerjemahkan kata ’liver’ (bahasa Inggris) menjadi ’hati’ dalam bahasa Indonesia? Kini sudah sulit mengubah agar liver jangan lagi diterjemahkan menjadi ’hati’. Sudah telanjur begitu mendarah-mendaging. Kalau diubah, nanti bisa banyak sekali konsekuensinya. Misalnya kata ’patah hati’ harus diubah menjadi ’patah liver’. Atau ’patah jantung’ (broken heart).

Jadi, sebaiknya, urusan ilmiah memang jangan terlalu dikait-kaitkan dengan keyakinan keagamaan, apalagi ketakhayulan. Kalau toh dikaitkan, harus dalam rangka dzikir, bahwa Tuhan telah memberikan manusia otak yang luar biasa cerdasnya. Begitu hebat pemberian itu sehingga harus digunakan sebanyak-banyaknya. Padahal, orang yang paling pinter pun baru menggunakan sebagian saja otaknya. Kita-kita barangkali baru menggunakan lima persennya. Kita tidak boleh memubazirkan rezeki dari-Nya itu. Kalau sedikit-sedikit sudah harus lari ke doktrin, kita akan semakin terbiasa tidak menggunakan ciptaan-Nya itu.

Maka, kalau istri saya merasa sangat gembira akan keberhasilan transplantasi liver ini, antara lain karena wajah saya kini sudah sedikit berubah. Dia tidak perlu lagi menghadapi rasa malu karena suaminya meninggal dalam keadaan wajah menghitam.

Memang setelah 1,5 bulan transplantasi, wajah saya yang sudah dua tahun menghitam, kini kembali … hitam. Maksud saya kembali ke hitam yang aslinya. Bukan hitam karena sirosis. Kini wajah saya sudah boleh dibilang kembali seperti hitamnya kereta api (duile!), meski hitam banyak yang antre. Imbuhan kata terakhir itu bukan asli ciptaan saya. Anak kalimat itu adalah keputusan yang diambil dalam kongres para pemilik kulit keruh, untuk sedikit mengangkat derajat mereka.

Kini kaki saya juga tidak bengkak lagi. Meski begitu, saya masih sering memijit-mijitnya. Setengahnya karena sudah menjadi kebiasaan selama dua tahun terakhir, setengahnya lagi untuk mengetes apakah dekok akibat pijatan itu bisa cepat kembali. Ternyata biarpun saya pijit kuat-kuat, bukan lagi dekoknya cepat kembali, bahkan tidak bisa dekok sama sekali. Dulu, setiap memijat kaki, selalu berharap ada mukjizat atau keajaiban. Tapi, setiap kali saya memijit kaki, setiap itu pula saya disadarkan bahwa keajaiban tidak berlaku di bidang yang amat scientific ini.

Kini saya kembali sering memijit kaki saya dengan sangkaan sebaliknya: jangan-jangan bengkak lagi. Saya juga tidak lagi membenci kaus kaki. Tapi, pada keadaan ’tidak membenci kaus kaki’ itu, justru saya tidak terlalu memerlukannya. Tanpa kaus kaki pun kini perut tidak merasa kembung.

Bagaimana dengan payudara saya? Tiap hari saya masih meraba-rabanya. Masih tetap besar, tapi sudah mulai mengencang. Dokter bilang, lama-lama juga akan kembali normal. Saya belum bisa memperkirakan apakah saya akan lebih senang dengan payudara saya yang asli. Atau justru sudah terbiasa nyaman dengan payudara seperti gadis yang menginjak remaja.

Limpa saya, yang meski sudah dipotong sepertiga, tapi masih dua kali lipat lebih besar dari limpa asli, lama-lama juga akan kembali normal. Demikian juga saluran pencernakan yang telanjur ’dilaminating’. Tidak perlu lagi dilaminating kedua atau ketiga.

Membaca SMS mengenai mulai pulihnya organ-orang di tubuh saya, seorang teman masih sempat menggoda saya dari Musi Banyuasin, Sumsel, sana: “Apakah bulunya yang dicukur juga sudah kembali normal?” tulisnya di SMS. “Untung, dulu tidak jadi minta dikembalikan. Bisa-bisa susternya marah dan mengembalikannya ke dekat payudara,” tambahnya.

Saya makin sembuh, suasana pengajian di rumah juga lebih ceria. Berbeda dengan saat para karyawan berkumpul untuk berdoa di rumah menjelang saya operasi. Saat itu suasananya murung. Minggu lalu diadakan acara pengajian dan hafalan Alquran sehari penuh hingga tarawih. Para hafidz (penghafal) Alquran di Surabaya memang aktif berkumpul sebulan sekali di tempat berpindah-pindah. Tiap tiga bulan sekali di rumah saya

Kini saya sudah bisa membuat perencanaan. Dulu, begitu tidak pastinya penyembuhan sakit saya, saya tidak berani bikin perencanaan yang agak panjang. Bahkan, tidak berani bikin janji kapan menerima tamu dan kapan harus rapat. Kecuali yang amat penting.

Perencanaan pertama yang muncul di pikiran saya adalah apa yang diucapkan Cak Nur. Yakni, ketika pemikir itu ditanya mengenai apa bagaimana berislam yang baik dan enak. “Bekerjalah yang sungguh-sungguh,” kata Cak Nur. Lalu mengisahkan keberhasilan Daud mengalahkan Jalut (Goliat).

Di akhir ayat yang mengisahkan soal ini, tertulis “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, sebagai tanda syukur kepada-Ku”. Bersyukur dengan cara bekerja keras. Itulah juga yang akan saya tiru. Saya akan mensyukuri keberhasilan transplantasi liver saya dengan meneruskan kerja keras. Apalagi, seperti dikatakan Cak Nur, bekerja adalah tingkatan syukur yang tertinggi setelah mengucapkan alhamdulillah dan istighfar (minta ampun).

Saya sudah beberapa kali mengucapkan alhamdulillah. Juga sudah sering mengucapkan istighfar. Tinggal, begitu sembuh, kerja keras lagi. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment