Friday, September 21, 2007

Liver Ganti, Khawatir Berubah Tak Bisa Menulis Baik

September 21, 2007
Liver Ganti, Khawatir Berubah Tak Bisa Menulis Baik
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (27)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

KARENA yang diganti ini adalah hati, apakah perasaan saya tidak berubah? Pertanyaan itu bahkan datang dari diri saya sendiri. Sejak sebelum dilakukan transplan sampai sesudahnya. Gara-garanya, literatur yang mengatakan bahwa banyak kasus si penerima organ akan mengalami perubahan.

Tim saya juga mengatakan begitu. Ada yang menerima informasi bahwa kenalannya langsung berubah menjadi amat jeleknya. Liong Pangkiey, pemilik pabrik sepatu di Surabaya yang asli Gorontalo itu, kirim SMS bahwa temannya ganti ginjal. Setahun kemudian, badannya menjadi berbulu. Ini karena donornya dari India.

Bahkan, keluarga salah satu direksi Grup Jawa Pos sendiri mengalaminya. Anaknya harus transplantasi ginjal di Guangzhou. Karena masih keturunan Arab, tentu anaknya juga masih membawa ciri-ciri fisik bapaknya. Operasi itu sukses sekali. Anaknya tumbuh dewasa, kemudian berumah tangga. Anehnya, setelah istrinya melahirkan, anaknya seperti Tionghoa. Kulitnya putih bersih.

Suatu saat, si bapak kembali ke Guangzhou bersama anaknya yang masih kecil yang seperti anak Tionghoa itu. Maksudnya akan memeriksakan ginjalnya setelah lebih dari 10 tahun transplantasi. Ketika di rumah sakit, si kecil pergi ke taman bermain dengan pamannya yang juga membawa ciri fisik keturunan Arab. Waktu senja sudah tiba, si paman mengajak si kecil kembali ke hotel. Tapi, si kecil tidak mau. Bahkan sampai menangis. Saat menangis itulah, si paman memaksa menggendongnya pergi. Si kecil kian berontak dan berteriak-teriak.

Melihat orang Arab membawa pergi anak Tionghoa sampai menjerit-jerit itu, polisi turun tangan. Si paman diamankan dengan sangkaan melarikan anak penduduk setempat. Terpaksa si paman menelepon bapak si kecil. Akhirnya, urusan selesai.

Saya sendiri, ketika baru sebulan antre untuk mendapatkan donor, membawa koran lokal yang juga memberitakan kejadian serupa. Kali ini menyangkut wanita Shanghai yang baru transplantasi jantung di Kota Shenyang. Waktu itu jantungnya mogok di atas pesawat dalam penerbangan Shanghai-Shenyang. Turun pesawat, langsung dilarikan ke RS dan harus menjalani transplantasi.

Wanita itu biasanya pemurung, tidak mau keluar rumah, penakut, dan introvert. Tapi, beberapa bulan setelah operasi, dia mulai menyenangi internet, mengendarai mobil, dan banyak omong. “Bahkan kalau naik mobil suka ngebut,” ujar suaminya seperti diberitakan China Daily. Yang lebih mengherankan lagi, wanita itu kemudian suka main saham di pasar modal. Koran tersebut juga menampilkan foto keluarga itu yang lagi bergurau di rumahnya. “Saya menjadi agak khawatir pada istri saya,” kata suaminya.

Saya juga sering membayangkan jangan-jangan mengalami hal yang sama. Kalau itu sampai terjadi, apakah yang paling saya takutkan?

Kekhawatiran utama saya ternyata ini: tidak bisa lagi menulis baik. Karena itu, seminggu setelah operasi, saya sudah minta laptop. Saya memaksakan diri untuk memulai menuliskan pengalaman saya ini. Sebagian agar tidak ada catatan di otak saya yang hilang, sebagian lagi untuk mengetes apakah saya masih bisa menulis dengan baik.

Kini giliran saya bertanya kepada pembaca: Apakah ada perubahan dalam gaya penulisan saya? Memang, ada seorang teman yang setengah bertanya dan setengah menyesalkan: Penyakit kok diberitahukan ke orang-orang. Secara terbuka, di koran lagi. Kepadanya saya jelaskan bahwa saya dulu, ketika masih jadi pemimpin redaksi Jawa Pos, sering menugasi wartawan agar mewawancarai tokoh-tokoh yang berhasil mengatasi penyakitnya. Tidak semua orang bisa menulis baik. Karena itu, harus wartawan yang menuliskan ceritanya. Karena itu, saya harus fair. Ketika saya sendiri mengalami itu, saya harus mau menuliskannya.

Tapi, mengapa tidak disertai foto-foto? “Bukankah Anda dulu mengajarkan setiap features harus disertai foto? Kalau perlu pinjam ke sumber berita?” tanya Edy Aruman, mantan redaktur Jawa Pos yang kini menjadi redaktur majalah Swa.

Saya jawab: Kali ini saya memang minta jangan ada satu foto pun yang disertakan dalam tulisan ini. Mengapa? Ada dua tujuan. Pertama, saya akan mengetes diri sendiri agar dalam tulisan ini memberikan sebanyak mungkin deskripsi. Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting. Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto. Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.

Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah. Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu -direct quotation-juga harus pendek-pendek. Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.

Alasan kedua mengapa foto tidak disertakan di tulisan ini adalah: Semua foto akan dimuat ketika tulisan ini diterbitkan dalam bentuk buku. Foto-foto seputar operasi, termasuk foto-foto liver saya yang lama.

Sebenarnya, masih ada satu lagi ide saya yang akan saya sumbangkan ke dunia jurnalistik. Ide ini sudah saya kemukakan lima tahun yang lalu, namun penerapannya masih memerlukan pembuatan software komputer. Saya tidak puas dengan lambatnya pelaksanaan ide ini karena saya tidak lagi dalam posisi pemimpin redaksi. Padahal, ide ini penting justru untuk menyesuaikan praktik jurnalistik di alam kebebasan mutlak seperti sekarang. Dalam alam demokrasi seperti ini, tanggung jawab justru lebih besar. Prinsip-prinsip jurnalistik yang baik harus lebih dipentingkan.

Misalnya mengenai cover both side, pemberitaan yang berimbang. Maka, saya ingin di setiap komputer yang digunakan reporter dilengkapi software check-list. Setiap kali reporter selesai menulis berita kan harus mengirimkannya ke redaktur untuk diedit. Dalam proses pengiriman berita dari komputer ke komputer itu, reporter harus menekan tombol “kirim”. Nah, saat menekan tombol “kirim” itulah, saya ingin agar di layar komputer muncul dulu sejumlah pertanyaan yang harus diisi si reporter. Misalnya: Apakah Anda sudah membaca ulang tulisan Anda? Di belakangnya dimunculkan kolom isian: sudah dan belum. Kalau “belum”, dia tidak akan bisa menekan tombol “kirim”. Lalu, pertanyaan sudah berimbangkah berita yang Anda tulis? Apakah pihak-pihak yang Anda tulis sudah diwawancara? Dan seterusnya. Setiap pertanyaan disertai kolom isian. Kalau tidak mengisinya, si reporter tidak bisa menekan tombol “kirim”. Kalau kelak ada reporter yang menipu dengan cara mengisi kolom yang salah, tanggung jawabnya jelas.

Saya berharap software yang saya inginkan itu segera dibuat. Lalu, Jawa Pos-lah yang pertama menerapkannya. Itu bukan saja menjadi sumbangan saya ke dunia jurnalistik berikutnya, tapi juga sumbangan IT ke dalam jurnalistik. Maka, saya bisa menyumbangkan ilmu manajemen ke dalam jurnalistik melalui penerapan “rukun iman” Jawa Pos. Lalu, menyumbangkan software untuk prinsip cover both side yang penting itu. Di tulisan mendatang saya juga akan menceritakan sumbangan “ilmu tauhid” ke dalam bisnis dan manajemen. Sumbang-menyumbang dari satu disiplin ilmu ke ilmu yang lain, apa salahnya dilakukan. Untuk kemajuan.

Saya sendiri tidak tahu apakah tulisan saya mengenai pengalaman ganti liver ini masih mencerminkan doktrin jurnalistik saya itu. Kalau tidak, berarti juga ada kemunduran dalam kemampuan saya menulis. Dan jangan-jangan, itu karena saya ganti liver.

Setiap membicarakan persiapan transplantasi, tim saya ternyata juga sering menyinggung kemungkinan perubahan perilaku saya pascatransplantasi. Tentu dengan nada penuh humor. Melinda Teja, bos Pakuwon Jati itu, misalnya.

“Saya sangat khawatir kalau liver yang didonorkan itu punya sifat asli seorang gay,” gurau Melinda. “Kalian yang laki-laki harus waspada,” tambahnya.

“Saya justru khawatir kalau itu liver Laura,” ujar yang lain. “Kita harus segera carikan pekerjaan yang cocok,” tambahnya. Laura yang dimaksud adalah “lanang ora, wedok ora” (tidak laki-laki dan juga tidak perempuan).

Sampai hari ini, saya belum merasakan perubahan apa-apa. Tapi, diri sendiri kadang memang tidak bisa merasakan. Orang lainlah yang tahu. Kalau saja seperti itu, tentu saya berharap segera diberi tahu. Jangan hanya dijadikan bahan gosip semata.

Yang jelas sudah berubah adalah perut saya. Akibat sayatan pisau bedah yang panjang, kulit perut saya tidak mulus lagi. Ada sederet bekas jahitan yang kasar. “Rupanya, tim dokter tidak membawa ahli obras malam itu,” ujar tim kami. Karena itu, saya lagi mengusahakan untuk memperhalusnya. Ada cara yang katanya cukup mujarab. Terutama yang biasa digunakan ibu-ibu yang melahirkan secara caesar. Lebih terutama lagi ibu-ibu di Amerika. Yakni silicon scar treatment. Saya masih memesannya lewat internet karena hanya di AS barang itu dijual. Kalau saja usaha itu tidak berhasil, anggaplah saya baru saja melakukan caesar tiga kali berturut-turut. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment