Liver Ganti, Khawatir Berubah Tak Bisa Menulis Baik
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (27)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
KARENA yang diganti ini adalah hati, apakah perasaan saya tidak
berubah? Pertanyaan itu bahkan datang dari diri saya sendiri. Sejak
sebelum dilakukan transplan sampai sesudahnya. Gara-garanya, literatur
yang mengatakan bahwa banyak kasus si penerima organ akan mengalami
perubahan.
Tim saya juga mengatakan begitu. Ada yang menerima informasi bahwa
kenalannya langsung berubah menjadi amat jeleknya. Liong Pangkiey,
pemilik pabrik sepatu di Surabaya yang asli Gorontalo itu, kirim SMS
bahwa temannya ganti ginjal. Setahun kemudian, badannya menjadi berbulu.
Ini karena donornya dari India.
Bahkan, keluarga salah satu direksi Grup Jawa Pos sendiri
mengalaminya. Anaknya harus transplantasi ginjal di Guangzhou. Karena
masih keturunan Arab, tentu anaknya juga masih membawa ciri-ciri fisik
bapaknya. Operasi itu sukses sekali. Anaknya tumbuh dewasa, kemudian
berumah tangga. Anehnya, setelah istrinya melahirkan, anaknya seperti
Tionghoa. Kulitnya putih bersih.
Suatu saat, si bapak kembali ke Guangzhou bersama anaknya yang masih
kecil yang seperti anak Tionghoa itu. Maksudnya akan memeriksakan
ginjalnya setelah lebih dari 10 tahun transplantasi. Ketika di rumah
sakit, si kecil pergi ke taman bermain dengan pamannya yang juga membawa
ciri fisik keturunan Arab. Waktu senja sudah tiba, si paman mengajak si
kecil kembali ke hotel. Tapi, si kecil tidak mau. Bahkan sampai
menangis. Saat menangis itulah, si paman memaksa menggendongnya pergi.
Si kecil kian berontak dan berteriak-teriak.
Melihat orang Arab membawa pergi anak Tionghoa sampai menjerit-jerit
itu, polisi turun tangan. Si paman diamankan dengan sangkaan melarikan
anak penduduk setempat. Terpaksa si paman menelepon bapak si kecil.
Akhirnya, urusan selesai.
Saya sendiri, ketika baru sebulan antre untuk mendapatkan donor,
membawa koran lokal yang juga memberitakan kejadian serupa. Kali ini
menyangkut wanita Shanghai yang baru transplantasi jantung di Kota
Shenyang. Waktu itu jantungnya mogok di atas pesawat dalam penerbangan
Shanghai-Shenyang. Turun pesawat, langsung dilarikan ke RS dan harus
menjalani transplantasi.
Wanita itu biasanya pemurung, tidak mau keluar rumah, penakut, dan
introvert. Tapi, beberapa bulan setelah operasi, dia mulai menyenangi
internet, mengendarai mobil, dan banyak omong. “Bahkan kalau naik mobil
suka ngebut,” ujar suaminya seperti diberitakan China Daily. Yang lebih
mengherankan lagi, wanita itu kemudian suka main saham di pasar modal.
Koran tersebut juga menampilkan foto keluarga itu yang lagi bergurau di
rumahnya. “Saya menjadi agak khawatir pada istri saya,” kata suaminya.
Saya juga sering membayangkan jangan-jangan mengalami hal yang sama. Kalau itu sampai terjadi, apakah yang paling saya takutkan?
Kekhawatiran utama saya ternyata ini: tidak bisa lagi menulis baik.
Karena itu, seminggu setelah operasi, saya sudah minta laptop. Saya
memaksakan diri untuk memulai menuliskan pengalaman saya ini. Sebagian
agar tidak ada catatan di otak saya yang hilang, sebagian lagi untuk
mengetes apakah saya masih bisa menulis dengan baik.
Kini giliran saya bertanya kepada pembaca: Apakah ada perubahan dalam
gaya penulisan saya? Memang, ada seorang teman yang setengah bertanya
dan setengah menyesalkan: Penyakit kok diberitahukan ke orang-orang.
Secara terbuka, di koran lagi. Kepadanya saya jelaskan bahwa saya dulu,
ketika masih jadi pemimpin redaksi Jawa Pos, sering menugasi wartawan
agar mewawancarai tokoh-tokoh yang berhasil mengatasi penyakitnya. Tidak
semua orang bisa menulis baik. Karena itu, harus wartawan yang
menuliskan ceritanya. Karena itu, saya harus fair. Ketika saya sendiri
mengalami itu, saya harus mau menuliskannya.
Tapi, mengapa tidak disertai foto-foto? “Bukankah Anda dulu
mengajarkan setiap features harus disertai foto? Kalau perlu pinjam ke
sumber berita?” tanya Edy Aruman, mantan redaktur Jawa Pos yang kini
menjadi redaktur majalah Swa.
Saya jawab: Kali ini saya memang minta jangan ada satu foto pun yang
disertakan dalam tulisan ini. Mengapa? Ada dua tujuan. Pertama, saya
akan mengetes diri sendiri agar dalam tulisan ini memberikan sebanyak
mungkin deskripsi. Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar
jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang
dianggap sepele, tapi sebenarnya penting. Sebuah tulisan yang
deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca
seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa
membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi
yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca
kadang lebih hidup daripada sebuah foto. Inilah salah satu kunci kalau
jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus
jurnalistik audio visual.
Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya
harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan
menjadi lincah. Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca
sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu
seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan
omongan orang. Kutipan itu -direct quotation-juga harus pendek-pendek.
Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama
saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan
kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah
bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.
Alasan kedua mengapa foto tidak disertakan di tulisan ini adalah:
Semua foto akan dimuat ketika tulisan ini diterbitkan dalam bentuk buku.
Foto-foto seputar operasi, termasuk foto-foto liver saya yang lama.
Sebenarnya, masih ada satu lagi ide saya yang akan saya sumbangkan ke
dunia jurnalistik. Ide ini sudah saya kemukakan lima tahun yang lalu,
namun penerapannya masih memerlukan pembuatan software komputer. Saya
tidak puas dengan lambatnya pelaksanaan ide ini karena saya tidak lagi
dalam posisi pemimpin redaksi. Padahal, ide ini penting justru untuk
menyesuaikan praktik jurnalistik di alam kebebasan mutlak seperti
sekarang. Dalam alam demokrasi seperti ini, tanggung jawab justru lebih
besar. Prinsip-prinsip jurnalistik yang baik harus lebih dipentingkan.
Misalnya mengenai cover both side, pemberitaan yang berimbang. Maka,
saya ingin di setiap komputer yang digunakan reporter dilengkapi
software check-list. Setiap kali reporter selesai menulis berita kan
harus mengirimkannya ke redaktur untuk diedit. Dalam proses pengiriman
berita dari komputer ke komputer itu, reporter harus menekan tombol
“kirim”. Nah, saat menekan tombol “kirim” itulah, saya ingin agar di
layar komputer muncul dulu sejumlah pertanyaan yang harus diisi si
reporter. Misalnya: Apakah Anda sudah membaca ulang tulisan Anda? Di
belakangnya dimunculkan kolom isian: sudah dan belum. Kalau “belum”, dia
tidak akan bisa menekan tombol “kirim”. Lalu, pertanyaan sudah
berimbangkah berita yang Anda tulis? Apakah pihak-pihak yang Anda tulis
sudah diwawancara? Dan seterusnya. Setiap pertanyaan disertai kolom
isian. Kalau tidak mengisinya, si reporter tidak bisa menekan tombol
“kirim”. Kalau kelak ada reporter yang menipu dengan cara mengisi kolom
yang salah, tanggung jawabnya jelas.
Saya berharap software yang saya inginkan itu segera dibuat. Lalu,
Jawa Pos-lah yang pertama menerapkannya. Itu bukan saja menjadi
sumbangan saya ke dunia jurnalistik berikutnya, tapi juga sumbangan IT
ke dalam jurnalistik. Maka, saya bisa menyumbangkan ilmu manajemen ke
dalam jurnalistik melalui penerapan “rukun iman” Jawa Pos. Lalu,
menyumbangkan software untuk prinsip cover both side yang penting itu.
Di tulisan mendatang saya juga akan menceritakan sumbangan “ilmu tauhid”
ke dalam bisnis dan manajemen. Sumbang-menyumbang dari satu disiplin
ilmu ke ilmu yang lain, apa salahnya dilakukan. Untuk kemajuan.
Saya sendiri tidak tahu apakah tulisan saya mengenai pengalaman ganti
liver ini masih mencerminkan doktrin jurnalistik saya itu. Kalau tidak,
berarti juga ada kemunduran dalam kemampuan saya menulis. Dan
jangan-jangan, itu karena saya ganti liver.
Setiap membicarakan persiapan transplantasi, tim saya ternyata juga
sering menyinggung kemungkinan perubahan perilaku saya
pascatransplantasi. Tentu dengan nada penuh humor. Melinda Teja, bos
Pakuwon Jati itu, misalnya.
“Saya sangat khawatir kalau liver yang didonorkan itu punya sifat
asli seorang gay,” gurau Melinda. “Kalian yang laki-laki harus waspada,”
tambahnya.
“Saya justru khawatir kalau itu liver Laura,” ujar yang lain. “Kita
harus segera carikan pekerjaan yang cocok,” tambahnya. Laura yang
dimaksud adalah “lanang ora, wedok ora” (tidak laki-laki dan juga tidak
perempuan).
Sampai hari ini, saya belum merasakan perubahan apa-apa. Tapi, diri
sendiri kadang memang tidak bisa merasakan. Orang lainlah yang tahu.
Kalau saja seperti itu, tentu saya berharap segera diberi tahu. Jangan
hanya dijadikan bahan gosip semata.
Yang jelas sudah berubah adalah perut saya. Akibat sayatan pisau
bedah yang panjang, kulit perut saya tidak mulus lagi. Ada sederet bekas
jahitan yang kasar. “Rupanya, tim dokter tidak membawa ahli obras malam
itu,” ujar tim kami. Karena itu, saya lagi mengusahakan untuk
memperhalusnya. Ada cara yang katanya cukup mujarab. Terutama yang biasa
digunakan ibu-ibu yang melahirkan secara caesar. Lebih terutama lagi
ibu-ibu di Amerika. Yakni silicon scar treatment. Saya masih memesannya
lewat internet karena hanya di AS barang itu dijual. Kalau saja usaha
itu tidak berhasil, anggaplah saya baru saja melakukan caesar tiga kali
berturut-turut. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment