Yang Pro dan Yang Anti-Transplan Bertinju Sengit dalam Pikiran
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (21)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
KALAU saja saya dulu peduli sedikit dengan badan saya, sebenarnya
masih ada jalan agar terhindar dari transplantasi. Juga terhindar dari
potong-limpa. Katakanlah suntikan interveron yang saya jalani sampai 70
kali (setiap dua hari sekali) itu tidak berhasil “memingsankan” virus
hepatitis B saya, tapi belakangan sebenarnya keluar obat baru yang harus
diminum tiap hari. Agar virus yang tidak mungkin lagi dikeluarkan dari
liver itu “tidur nyenyak” saja di dalam liver. “Bangun”-nya virus
hepatitis B akan langsung menyerang liver hingga kelak jadi sirosis.
Kalau toh obat itu juga tidak berhasil, masih ada obat lain yang
lebih mahal. Nama generik obat itu Octreotide (karena saya tak boleh
menyebut nama obatnya). Obat tersebut harus disuntikkan tiap dua hari
sekali selama sembilan bulan. Harga obatnya saja, untuk sekali suntik,
sekitar Rp 1,1 juta. Selain Octreotide, masih ada satu obat baru lagi
yang juga harus disuntikkan ke saya selama sembilan bulan
berturut-turut. Nama generiknya Thymalfasin atau Thymosin Alpha-1. Yang
ini nyuntiknya sebulan sekali.
Antara satu dokter dengan lainnya memang masih berbeda pendapat
mengenai keampuhan obat-obat itu. Tapi, bagi pasien yang ingin sembuh
dan punya uang, pasti tergoda untuk mencobanya.
Sayang, saya tahunya sudah sangat terlambat. Baru dua tahun lalu saya
mendapatkan informasi tentang obat-obat itu. Yang Anticavier saya
ketahui dari dokter di Singapura. Sedang dua obat yang lain saya ketahui
dari Prof Shao. Semua saya ketahui setelah liver saya menjadi sirosis.
Dan bahkan ketika sirosis saya sudah berkembang ke kanker. Lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Karena itu, meski telat, saya
tetap memakai obat-obat tersebut. Setidaknya, bisa membantu saya buying
time. Mengolor waktu. Untuk memberikan kesempatan bagi saya memikirkan
harus melakukan apa yang lebih mendasar. Termasuk mulai mempertimbangkan
kata yang mengerikan itu: transplantasi liver.
Waktu itu, kata “transplantasi” sebenarnya masih jauh dari pikiran.
Masak saya sampai harus melakukan itu? Masak saya separah itu? Masak
tidak ada jalan lain? Masak tidak akan ada keajaiban? Masak tidak ada
obat alternatif? Masak tidak ada dukun atau kiai yang linuwih (punya
ilmu lebih)?
Tapi, saya harus tetap rasional. Tetap menggunakan pemberian Tuhan
yang sangat berharga itu: otak. Banyak teman menganjurkan juga untuk
pindah ke jalur alternatif. Ke obat tradisional atau ke kekuatan
supranatural. Baik yang kejawen maupun yang dibungkus religius. “Siapa
tahu ada rekayasa Tuhan di situ,” kata teman saya.
Rekayasa Tuhan? Apakah Tuhan punya hobi merekayasa? Saya lebih
percaya bahwa Tuhan akan konsisten dengan sunatullah-Nya. Termasuk
sunatullah bahwa kalau tidak melakukan imunisasi hepatitis, dia akan
punya kemungkinan terjangkit hepatitis. Kalau sudah kena hepatitis,
pasti akan mengarah ke sirosis. Dan kalau sudah sirosis, pasti akan
menjadi kanker.
Karena itu, kosa kata “transplan” sudah mulai masuk di bawah sadar.
Meski bentuknya masih pertanyaan “masak harus sampai transplan?”, tapi
itu juga berarti secara tidak sadar kata “transplan” sudah mulai masuk
dalam proses internalisasi ke pikiran saya. Satu proses awal dalam
sebuah perjalanan spiritual untuk sampai pada kata akhir: siap
transplan.
Kalau persoalannya hanya sirosis (sirosis kok dibilang “hanya”),
transplantasi masih bisa ditunda. Meski sirosis tidak bisa disembuhkan,
tapi mungkin masih bisa diperlambat.
Begitu pula kalau masalahnya hanya kanker (kanker kok juga dibilang
“hanya”). Sebab, masih ada tiga cara lain untuk mengatasinya, selain
kemoterapi. Yakni, dengan memotong bagian yang terkena kanker, di-RFA
(radio frequency ablation) atau di-TACE (trans arterial
chemoembolization).
Masalahnya, liver saya sudah “dikeroyok” sirosis dan kanker, sehingga
tidak mudah untuk mengatasi kankernya. Misalnya, mau dipotong bagian
yang ada kankernya. Itu tidak mungkin karena sirosis membuat permukaan
liver saya mengeras. Permukaan liver yang mengeras itu, kalau dipotong,
akan menyebabkan pendarahan hebat yang bisa membunuh saya. Pendarahan di
liver sangat tidak mudah untuk dihentikan, sekalipun oleh dokter yang
paling pintar.
Begitu pula kalau mau di-RFA atau dibakar dengan energi panas. Sebab,
untuk membakar (mengablasi) sel kanker saya, dokter harus memasukkan
sejenis metal berbentuk kail yang punya beberapa mata kail. Kail itu
ditembuskan ke dalam liver melalui perut. Cara itu tentu sangat
membahayakan saya karena mata kail tersebut harus lebih dulu menjebol
permukaan liver saya, sebelum masuk ke sel kanker. Tindakan itu jelas
bisa menyebabkan liver mengalami pendarahan.
Karena itu, diputuskanlah untuk membunuh kanker saya dengan metode
TACE. Cara itu pada prinsipnya sama dengan kemoterapi. Bedanya, obat
kemonya tidak diinfuskan seperti umumnya kemoterapi, melainkan
diinjeksikan langsung ke sel kankernya melalui selang kecil panjang
(kateter) yang dimasukkan melalui pembuluh darah besar di pangkal paha
(arteri femoral).
Dengan bantuan fluoroscopy, sejenis sinar rontgen, kateter itu lantas
didorong masuk sampai ke arteri (pembuluh darah yang membawa darah
bersih dan sari makanan dari jantung) yang di hati.
Setelah obat kemonya menembus sasaran, dokter lantas memasukkan lagi
obat lain, melalui kateter yang sama, untuk memblokir cabang-cabang
arteri di liver yang melewati sel kanker saya. Ini perlunya untuk
menutup akses makanan ke sel-sel kanker itu. Dengan begitu, diharapkan
sel-sel kanker saya akan kelaparan dan tak lama kemudian mati.
Tindakan medis tersebut memakan waktu kurang lebih dua jam. Itu sudah
termasuk mencabut kateter di pangkal paha saya dan membalut kuat-kuat
bekas sayatan yang di paha. Selama hampir semalam saya tidak boleh turun
ranjang karena khawatir luka sayatan itu terbuka, sehingga terjadi
pendarahan. Kalau itu terjadi, akibatnya bisa fatal karena sayatan
tersebut menembus sampai ke pembuluh darah besar di paha.
Jadi, kalau problemnya hanya sirosis dan kanker (Huh! Sirosis dan
kanker kok masih dibilang “hanya”), transplantasi juga masih bisa
ditunda dengan cara di atas.
Namun, persoalannya, akibat sirosis itu, bagian-bagian tubuh saya
yang lain ikut rusak dan bisa saja jadi penyebab kematian yang lebih
besar. Bahkan, kerusakan pada bagian tubuh yang masih baik akan terus
terjadi. Kalau sampai tahun lalu, yang sudah ikutan rusak adalah saluran
pencernaan, empedu, dan limpa saya. Kalau saya biarkan, barangkali
ginjal, selaput perut, jantung, dan paru saya juga segera rusak.
Limpa saya saja sudah membesar. Sudah tiga kali lipat lebih besar
daripada limpa orang normal karena darah yang tidak bisa lancar masuk ke
liver mbendal (terpental) masuk ke limpa.
Limpa saya itu kian hari masih akan terus membesar. Lama-lama, kalau
pinggang saya kena bola atau kena sodok, limpa bisa pecah: mati. Tidak
pecah pun, limpa yang membesar membuat darah putih saya menurun.
Padahal, darah putih berfungsi, antara lain, menguburkan sel-sel darah
merah yang mati. Sel darah merah memang harus mati dalam kurun waktu
tertentu dan harus “dikuburkan”. Darah putihlah yang menguburkannya
dengan cara “memakan”-nya. Pekerjaan mengubur dan menghancurkan bangkai
sel-sel darah merah itu dikerjakan di limpa.
Tapi, karena limpa saya terus membesar, sel-sel darah putih yang baik
pun ikut dikubur oleh organ itu. Makanya, saat itu jumlah darah putih
saya terus menurun. Sementara bangkai sel-sel darah merah makin
bertambah. Jadi, ke mana bangkai-bangkai darah merah tersebut? Itu juga
membuat problem sendiri pada tubuh saya.
Karena darah putih yang sangat kurang itu, saya akan sangat gampang
terkena virus. Daya tahan tubuh saya sangat menurun. Seharusnya kadar
darah putih saya minimal 200. Saat itu tinggal 60-an. Kalau turun 10
poin lagi, saya sudah tak bisa bertahan dari infeksi. Padahal, saat itu,
platelet saya juga terus menurun. Sehingga, sewaktu-waktu saya terancam
mengalami pendarahan dari mana saja: dari mulut, hidung, telinga,
bahkan dari lubang kemaluan. Semua itu gara-gara liver yang sirosis.
Ada yang lebih berbahaya lagi. Seperti yang sudah saya singgung
sebelum ini, darah-darah yang mbendal itu juga memenuhi saluran
percernaaan saya (varises esofagus). Akhirnya, dinding-dindingnya
berubah jadi balon-balon berisi darah. Setiap saat bisa pecah. Misalnya,
hanya karena terkena benda tajam seperti keripik atau tulang ikan atau
roti kering. Karena itu, saya pernah takut makan ikan. Takut
tulang-tulang kecilnya masuk ke tenggorokan, lalu melukai dan menusuk
balon-balon itu. Saya bisa mati hanya oleh satu tulang ikan yang amat
kecil.
Jadi, meski mungkin saya bisa membunuh sel-sel kanker dengan TACE dan
berhasil memperlambat proses kerusakan total liver oleh sisrosis,
proses kerusakan di organ lain ternyata tak bisa saya hentikan. Kecuali
liver saya segera baik. Dan, untuk itu, cuma ada satu jalan:
transplantasi liver.
Maka, status kata “transplan” pun meningkat dalam pikiran saya. Dari
sekadar tamu yang sedang mampir menjadi penghuni utama. Lalu, bulatlah
tekad saya: ganti liver.
“Tapi, kalau gagal gimana?” tanya kubu yang anti-transplan di tim
saya. “Bukankah terlalu banyak contoh transplan yang gagal?” tambahnya.
Kegagalan transplantasi yang dilakukan tokoh Nurcholish Madjid (Cak
Nur) sungguh menjadi alasan pembenar yang kuat sekali bagi kubu yang
tidak setuju transplantasi. Kuat secara psikologis. Bukan secara
rasional-teknis-medis.
Saya sudah biasa menghitung komposisi psikologis dan rasionalitas
dalam setiap mengambil keputusan. Bahkan, saya sering merenungkan (yang
sampai sekarang belum sampai pada kesimpulan) soal yang rumit dan peka
ini: khusyuk itu gejala religi atau gejala psikologi? Mengapa ada orang
yang mudah khusyuk? Tapi, mengapa banyak juga yang sulit khusyuk?
Sampai-sampai, ketika memulai sembahyang harus mengulangi takbir
berkali-kali? Mengapa ada orang yang mudah menangis ketika berdoa?
Mengapa ada yang tidak bisa menangis? Gejala agamakah? Gejala
psikologiskah?
Saya bukan ahli psikologi. Juga bukan ahli agama. Tapi, sudah pasti
pertimbangan yang lebih didominasi perasaan, saya kalahkan. Secara tidak
formal, saya memang membentuk dua tim. Satu yang punya pendapat jangan
transplan. Satunya lagi yang pro-transplan. Saya ingin mendapat
pertimbangan yang arahnya berlawanan.
Tim yang pro-transplan mengemukakan, memang transplantasi Cak Nur
gagal. Tapi, penyebabnya kan jelas: virus Citomegali. Virus yang
munculnya hanya dalam kasus transplantasi.
Tapi, bisa saja karena kondisi Cak Nur sendiri yang memang sudah
lebih parah daripada kondisi saya saat ditransplan. Artinya, mungkin
telanjur sangat parah. Kita tidak tahu pastinya. Dan “kubu
anti-transplan” di tim saya juga tidak tahu mengapa Cak Nur gagal.
“Pak Dahlan pun, kalau misalnya kankernya sudah sampai di vena porta
(pembuluh darah balik yang utama di liver), mungkin juga akan lebih
sulit,” kata pro-transplan. Atau, kalau ginjal dan paru sudah ikut
rusak. Atau, ketika air sudah memenuhi rongga perut (ascites). Atau,
ketika membran selaput dada sudah kena infeksi.
Tapi, kubu “anti-transplan” di tim saya masih punya alasan lain.
“Katakanlah transplantasinya berhasil. Akan bisa bertahan hidup berapa
tahun lagi?” katanya seperti sedang mulai memberikan pukulan tinju
kepada tim saya yang pro-transplan.
Apakah tidak ada bibit kanker yang akan mbalik ke liver baru? Apakah
bibit virus hepatitis B yang sudah ikut beredar di darah tidak
menjangkiti liver baru? Lalu jadi sirosis lagi? Jadi kanker lagi?
“Katakanlah setelah transplan masih bisa hidup lima tahun lagi.
Seperti kata dokter di Singapura itu. Apakah kalau tidak ransplan tidak
bisa bertahan lima tahun lagi? Dengan obat-obat yang kian maju?” tanya
tim yang anti-transplan.
Bertubi-tubi ayunan tinju dihokkan ke wajah tim yang pro-transplan.
Lalu, ditutup dengan pukulan upper-cut yang telak: sama-sama bisa
bertahan lima tahun, mengapa harus berjudi dengan transplan?
Sebagai dewan juri yang harus adil, saya melihat tim pro-transplan
sempoyongan. Sampai mau terlempar dari kanvas. Tapi, tali ring
menyelamatkannya: Tapi, apakah kita harus membiarkan Pak Dahlan selama
lima tahun menjalani kehidupan dengan kualitas yang buruk? Harus selalu
dikemo, di-TACE, keluar-masuk rumah sakit, tidak bisa makan enak, tidak
bisa bekerja dengan baik? “Itukah hidup? Untuk apa hidup kalau
kondisinya harus tersiksa seperti itu?” serang tim pro-transplan
tiba-tiba.
Kedua tim masih akan terus bertinju. Tapi, bel sudah menunjukkan
bahwa waktu sudah habis. Pemenang sudah harus ditentukan sebelum salah
satunya KO.
“Saya mantap dengan transplan,” kata saya.
Semua diam. Keheningan terpecah oleh suara salah satu tim
pro-transplan. “Memang peran pasien sendiri amat menentukan. Kalau kita
paksakan transplan tapi pasien tidak mantap, juga tidak boleh.
Kemantapan tekad pasien akan menjadi kunci suksesnya. Begitu pasien
ragu-ragu, kita sudah tiba pada kesimpulan transplantasi akan gagal,”
katanya.
“Ya. Saya mantap transplan. Dengan segala risikonya,” kata saya. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment