Saturday, September 15, 2007

Yang Pro dan Yang Anti-Transplan Bertinju Sengit dalam Pikiran

September 15, 2007
Yang Pro dan Yang Anti-Transplan Bertinju Sengit dalam Pikiran
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (21)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

KALAU saja saya dulu peduli sedikit dengan badan saya, sebenarnya masih ada jalan agar terhindar dari transplantasi. Juga terhindar dari potong-limpa. Katakanlah suntikan interveron yang saya jalani sampai 70 kali (setiap dua hari sekali) itu tidak berhasil “memingsankan” virus hepatitis B saya, tapi belakangan sebenarnya keluar obat baru yang harus diminum tiap hari. Agar virus yang tidak mungkin lagi dikeluarkan dari liver itu “tidur nyenyak” saja di dalam liver. “Bangun”-nya virus hepatitis B akan langsung menyerang liver hingga kelak jadi sirosis.

Kalau toh obat itu juga tidak berhasil, masih ada obat lain yang lebih mahal. Nama generik obat itu Octreotide (karena saya tak boleh menyebut nama obatnya). Obat tersebut harus disuntikkan tiap dua hari sekali selama sembilan bulan. Harga obatnya saja, untuk sekali suntik, sekitar Rp 1,1 juta. Selain Octreotide, masih ada satu obat baru lagi yang juga harus disuntikkan ke saya selama sembilan bulan berturut-turut. Nama generiknya Thymalfasin atau Thymosin Alpha-1. Yang ini nyuntiknya sebulan sekali.

Antara satu dokter dengan lainnya memang masih berbeda pendapat mengenai keampuhan obat-obat itu. Tapi, bagi pasien yang ingin sembuh dan punya uang, pasti tergoda untuk mencobanya.

Sayang, saya tahunya sudah sangat terlambat. Baru dua tahun lalu saya mendapatkan informasi tentang obat-obat itu. Yang Anticavier saya ketahui dari dokter di Singapura. Sedang dua obat yang lain saya ketahui dari Prof Shao. Semua saya ketahui setelah liver saya menjadi sirosis. Dan bahkan ketika sirosis saya sudah berkembang ke kanker. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena itu, meski telat, saya tetap memakai obat-obat tersebut. Setidaknya, bisa membantu saya buying time. Mengolor waktu. Untuk memberikan kesempatan bagi saya memikirkan harus melakukan apa yang lebih mendasar. Termasuk mulai mempertimbangkan kata yang mengerikan itu: transplantasi liver.

Waktu itu, kata “transplantasi” sebenarnya masih jauh dari pikiran. Masak saya sampai harus melakukan itu? Masak saya separah itu? Masak tidak ada jalan lain? Masak tidak akan ada keajaiban? Masak tidak ada obat alternatif? Masak tidak ada dukun atau kiai yang linuwih (punya ilmu lebih)?

Tapi, saya harus tetap rasional. Tetap menggunakan pemberian Tuhan yang sangat berharga itu: otak. Banyak teman menganjurkan juga untuk pindah ke jalur alternatif. Ke obat tradisional atau ke kekuatan supranatural. Baik yang kejawen maupun yang dibungkus religius. “Siapa tahu ada rekayasa Tuhan di situ,” kata teman saya.

Rekayasa Tuhan? Apakah Tuhan punya hobi merekayasa? Saya lebih percaya bahwa Tuhan akan konsisten dengan sunatullah-Nya. Termasuk sunatullah bahwa kalau tidak melakukan imunisasi hepatitis, dia akan punya kemungkinan terjangkit hepatitis. Kalau sudah kena hepatitis, pasti akan mengarah ke sirosis. Dan kalau sudah sirosis, pasti akan menjadi kanker.

Karena itu, kosa kata “transplan” sudah mulai masuk di bawah sadar. Meski bentuknya masih pertanyaan “masak harus sampai transplan?”, tapi itu juga berarti secara tidak sadar kata “transplan” sudah mulai masuk dalam proses internalisasi ke pikiran saya. Satu proses awal dalam sebuah perjalanan spiritual untuk sampai pada kata akhir: siap transplan.

Kalau persoalannya hanya sirosis (sirosis kok dibilang “hanya”), transplantasi masih bisa ditunda. Meski sirosis tidak bisa disembuhkan, tapi mungkin masih bisa diperlambat.

Begitu pula kalau masalahnya hanya kanker (kanker kok juga dibilang “hanya”). Sebab, masih ada tiga cara lain untuk mengatasinya, selain kemoterapi. Yakni, dengan memotong bagian yang terkena kanker, di-RFA (radio frequency ablation) atau di-TACE (trans arterial chemoembolization).

Masalahnya, liver saya sudah “dikeroyok” sirosis dan kanker, sehingga tidak mudah untuk mengatasi kankernya. Misalnya, mau dipotong bagian yang ada kankernya. Itu tidak mungkin karena sirosis membuat permukaan liver saya mengeras. Permukaan liver yang mengeras itu, kalau dipotong, akan menyebabkan pendarahan hebat yang bisa membunuh saya. Pendarahan di liver sangat tidak mudah untuk dihentikan, sekalipun oleh dokter yang paling pintar.

Begitu pula kalau mau di-RFA atau dibakar dengan energi panas. Sebab, untuk membakar (mengablasi) sel kanker saya, dokter harus memasukkan sejenis metal berbentuk kail yang punya beberapa mata kail. Kail itu ditembuskan ke dalam liver melalui perut. Cara itu tentu sangat membahayakan saya karena mata kail tersebut harus lebih dulu menjebol permukaan liver saya, sebelum masuk ke sel kanker. Tindakan itu jelas bisa menyebabkan liver mengalami pendarahan.

Karena itu, diputuskanlah untuk membunuh kanker saya dengan metode TACE. Cara itu pada prinsipnya sama dengan kemoterapi. Bedanya, obat kemonya tidak diinfuskan seperti umumnya kemoterapi, melainkan diinjeksikan langsung ke sel kankernya melalui selang kecil panjang (kateter) yang dimasukkan melalui pembuluh darah besar di pangkal paha (arteri femoral).

Dengan bantuan fluoroscopy, sejenis sinar rontgen, kateter itu lantas didorong masuk sampai ke arteri (pembuluh darah yang membawa darah bersih dan sari makanan dari jantung) yang di hati.

Setelah obat kemonya menembus sasaran, dokter lantas memasukkan lagi obat lain, melalui kateter yang sama, untuk memblokir cabang-cabang arteri di liver yang melewati sel kanker saya. Ini perlunya untuk menutup akses makanan ke sel-sel kanker itu. Dengan begitu, diharapkan sel-sel kanker saya akan kelaparan dan tak lama kemudian mati.

Tindakan medis tersebut memakan waktu kurang lebih dua jam. Itu sudah termasuk mencabut kateter di pangkal paha saya dan membalut kuat-kuat bekas sayatan yang di paha. Selama hampir semalam saya tidak boleh turun ranjang karena khawatir luka sayatan itu terbuka, sehingga terjadi pendarahan. Kalau itu terjadi, akibatnya bisa fatal karena sayatan tersebut menembus sampai ke pembuluh darah besar di paha.

Jadi, kalau problemnya hanya sirosis dan kanker (Huh! Sirosis dan kanker kok masih dibilang “hanya”), transplantasi juga masih bisa ditunda dengan cara di atas.

Namun, persoalannya, akibat sirosis itu, bagian-bagian tubuh saya yang lain ikut rusak dan bisa saja jadi penyebab kematian yang lebih besar. Bahkan, kerusakan pada bagian tubuh yang masih baik akan terus terjadi. Kalau sampai tahun lalu, yang sudah ikutan rusak adalah saluran pencernaan, empedu, dan limpa saya. Kalau saya biarkan, barangkali ginjal, selaput perut, jantung, dan paru saya juga segera rusak.

Limpa saya saja sudah membesar. Sudah tiga kali lipat lebih besar daripada limpa orang normal karena darah yang tidak bisa lancar masuk ke liver mbendal (terpental) masuk ke limpa.

Limpa saya itu kian hari masih akan terus membesar. Lama-lama, kalau pinggang saya kena bola atau kena sodok, limpa bisa pecah: mati. Tidak pecah pun, limpa yang membesar membuat darah putih saya menurun. Padahal, darah putih berfungsi, antara lain, menguburkan sel-sel darah merah yang mati. Sel darah merah memang harus mati dalam kurun waktu tertentu dan harus “dikuburkan”. Darah putihlah yang menguburkannya dengan cara “memakan”-nya. Pekerjaan mengubur dan menghancurkan bangkai sel-sel darah merah itu dikerjakan di limpa.

Tapi, karena limpa saya terus membesar, sel-sel darah putih yang baik pun ikut dikubur oleh organ itu. Makanya, saat itu jumlah darah putih saya terus menurun. Sementara bangkai sel-sel darah merah makin bertambah. Jadi, ke mana bangkai-bangkai darah merah tersebut? Itu juga membuat problem sendiri pada tubuh saya.

Karena darah putih yang sangat kurang itu, saya akan sangat gampang terkena virus. Daya tahan tubuh saya sangat menurun. Seharusnya kadar darah putih saya minimal 200. Saat itu tinggal 60-an. Kalau turun 10 poin lagi, saya sudah tak bisa bertahan dari infeksi. Padahal, saat itu, platelet saya juga terus menurun. Sehingga, sewaktu-waktu saya terancam mengalami pendarahan dari mana saja: dari mulut, hidung, telinga, bahkan dari lubang kemaluan. Semua itu gara-gara liver yang sirosis.

Ada yang lebih berbahaya lagi. Seperti yang sudah saya singgung sebelum ini, darah-darah yang mbendal itu juga memenuhi saluran percernaaan saya (varises esofagus). Akhirnya, dinding-dindingnya berubah jadi balon-balon berisi darah. Setiap saat bisa pecah. Misalnya, hanya karena terkena benda tajam seperti keripik atau tulang ikan atau roti kering. Karena itu, saya pernah takut makan ikan. Takut tulang-tulang kecilnya masuk ke tenggorokan, lalu melukai dan menusuk balon-balon itu. Saya bisa mati hanya oleh satu tulang ikan yang amat kecil.

Jadi, meski mungkin saya bisa membunuh sel-sel kanker dengan TACE dan berhasil memperlambat proses kerusakan total liver oleh sisrosis, proses kerusakan di organ lain ternyata tak bisa saya hentikan. Kecuali liver saya segera baik. Dan, untuk itu, cuma ada satu jalan: transplantasi liver.

Maka, status kata “transplan” pun meningkat dalam pikiran saya. Dari sekadar tamu yang sedang mampir menjadi penghuni utama. Lalu, bulatlah tekad saya: ganti liver.

“Tapi, kalau gagal gimana?” tanya kubu yang anti-transplan di tim saya. “Bukankah terlalu banyak contoh transplan yang gagal?” tambahnya.

Kegagalan transplantasi yang dilakukan tokoh Nurcholish Madjid (Cak Nur) sungguh menjadi alasan pembenar yang kuat sekali bagi kubu yang tidak setuju transplantasi. Kuat secara psikologis. Bukan secara rasional-teknis-medis.

Saya sudah biasa menghitung komposisi psikologis dan rasionalitas dalam setiap mengambil keputusan. Bahkan, saya sering merenungkan (yang sampai sekarang belum sampai pada kesimpulan) soal yang rumit dan peka ini: khusyuk itu gejala religi atau gejala psikologi? Mengapa ada orang yang mudah khusyuk? Tapi, mengapa banyak juga yang sulit khusyuk? Sampai-sampai, ketika memulai sembahyang harus mengulangi takbir berkali-kali? Mengapa ada orang yang mudah menangis ketika berdoa? Mengapa ada yang tidak bisa menangis? Gejala agamakah? Gejala psikologiskah?

Saya bukan ahli psikologi. Juga bukan ahli agama. Tapi, sudah pasti pertimbangan yang lebih didominasi perasaan, saya kalahkan. Secara tidak formal, saya memang membentuk dua tim. Satu yang punya pendapat jangan transplan. Satunya lagi yang pro-transplan. Saya ingin mendapat pertimbangan yang arahnya berlawanan.

Tim yang pro-transplan mengemukakan, memang transplantasi Cak Nur gagal. Tapi, penyebabnya kan jelas: virus Citomegali. Virus yang munculnya hanya dalam kasus transplantasi.

Tapi, bisa saja karena kondisi Cak Nur sendiri yang memang sudah lebih parah daripada kondisi saya saat ditransplan. Artinya, mungkin telanjur sangat parah. Kita tidak tahu pastinya. Dan “kubu anti-transplan” di tim saya juga tidak tahu mengapa Cak Nur gagal.

“Pak Dahlan pun, kalau misalnya kankernya sudah sampai di vena porta (pembuluh darah balik yang utama di liver), mungkin juga akan lebih sulit,” kata pro-transplan. Atau, kalau ginjal dan paru sudah ikut rusak. Atau, ketika air sudah memenuhi rongga perut (ascites). Atau, ketika membran selaput dada sudah kena infeksi.

Tapi, kubu “anti-transplan” di tim saya masih punya alasan lain. “Katakanlah transplantasinya berhasil. Akan bisa bertahan hidup berapa tahun lagi?” katanya seperti sedang mulai memberikan pukulan tinju kepada tim saya yang pro-transplan.

Apakah tidak ada bibit kanker yang akan mbalik ke liver baru? Apakah bibit virus hepatitis B yang sudah ikut beredar di darah tidak menjangkiti liver baru? Lalu jadi sirosis lagi? Jadi kanker lagi?

“Katakanlah setelah transplan masih bisa hidup lima tahun lagi. Seperti kata dokter di Singapura itu. Apakah kalau tidak ransplan tidak bisa bertahan lima tahun lagi? Dengan obat-obat yang kian maju?” tanya tim yang anti-transplan.

Bertubi-tubi ayunan tinju dihokkan ke wajah tim yang pro-transplan. Lalu, ditutup dengan pukulan upper-cut yang telak: sama-sama bisa bertahan lima tahun, mengapa harus berjudi dengan transplan?
 
Sebagai dewan juri yang harus adil, saya melihat tim pro-transplan sempoyongan. Sampai mau terlempar dari kanvas. Tapi, tali ring menyelamatkannya: Tapi, apakah kita harus membiarkan Pak Dahlan selama lima tahun menjalani kehidupan dengan kualitas yang buruk? Harus selalu dikemo, di-TACE, keluar-masuk rumah sakit, tidak bisa makan enak, tidak bisa bekerja dengan baik? “Itukah hidup? Untuk apa hidup kalau kondisinya harus tersiksa seperti itu?” serang tim pro-transplan tiba-tiba.

Kedua tim masih akan terus bertinju. Tapi, bel sudah menunjukkan bahwa waktu sudah habis. Pemenang sudah harus ditentukan sebelum salah satunya KO.

“Saya mantap dengan transplan,” kata saya.

Semua diam. Keheningan terpecah oleh suara salah satu tim pro-transplan. “Memang peran pasien sendiri amat menentukan. Kalau kita paksakan transplan tapi pasien tidak mantap, juga tidak boleh. Kemantapan tekad pasien akan menjadi kunci suksesnya. Begitu pasien ragu-ragu, kita sudah tiba pada kesimpulan transplantasi akan gagal,” katanya.

“Ya. Saya mantap transplan. Dengan segala risikonya,” kata saya. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment