Tunggu Pulang Diimunisasi Hepatitis B, Saingi Cucu
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (28)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
TEPAT sebulan setelah transplantasi, dokter sudah mengizinkan saya
pulang. Jadi, 6 September yang lalu sebenarnya saya sudah bisa kembali
ke Indonesia. Tapi, tim saya, terutama Robert Lai, minta saya lebih
bersabar. Tim Surabaya juga demikian. Bahkan, ada yang minta biar enam
bulan baru pulang juga lebih baik. Dia tahu, kalau pulang, saya pasti
langsung lupa diri. “Kalau selama ini sudah sabar enam bulan, mengapa
tambah dua bulan lagi tidak kuat?” tambah Ir Budiyanto, perancang Gedung
Jatim Expo dan Rumah Cepat Tsunami Aceh, ketika menjenguk saya.
Dulu Budi itu, saya kira, seorang Kristen. Dia Tionghoa dan lulusan
Fakultas Teknik Universitas Kristen Petra Surabaya. Sebuah konotasi yang
ternyata salah. Ini baru saya ketahui setelah bertahun-tahun kenal.
“Apakah tidak ke gereja?” tanya saya saat dia mengajak rapat soal Aceh
di hari Minggu. “Saya bukan Kristen, Pak,” jawabnya. Oh, berarti dia
Konghucu atau Buddha. Saya berpikir salah sekali lagi. “Saya penganut
Sapto Dharmo,” jawabnya. Bahkan, kemudian, saya tahu dia salah satu
tokohnya.
Makanya, ketika saya ajak omong Mandarin, dia tidak nyambung. Aneh.
Dia Tionghoa, bicaranya kromo inggil. Saya yang Jawa bicara Mandarin.
Sejak itu, saya selalu kromo inggil kepadanya. Agar tidak lupa bahasa
Jawa tinggi itu. Sebab, di rumah saya menggunakan bahasa Banjar. Kromo
inggil pas sekali kalau dipakai bicara soal ajaran sangkan paraning
dumadi, filsafat ojo dumeh dan hukum “timba sing kudu nggoleki sumur”.
Saling SMS dan email pun pakai kromo inggil hingga suatu saat kebentur
kata forward. Nah, apa kromo inggil untuk forward?
Keinginan pasien untuk cepat-cepat pulang memang agak ajaib. Begitu
seminggu setelah operasi berhasil (umumnya mereka tandai dengan bisa
jalan-jalan), pasien langsung membuat rencana tanggal berapa akan
pulang. Fokus pikiran sudah berubah: Pulang! Pulang! Pulang! Ini bagian
dari misteri rumah, misteri kampung halaman. Itu sebabnya bahasa Inggris
membedakan mana kata “rumah” (house) dan mana kata “rumah” (home).
Suasana kebatinan setelah operasi mirip dengan setelah berhaji di
Makkah. Sebelum tiba hari pelaksanaan haji, biar dua bulan menunggu pun
asyik-asyik saja. Semangat menjalani ibadah luar biasa. Tawaf (berjalan
memutari Ka’bah) dilakukan berkali-kali -meski “tawaf” di mal dan
supermarket juga tidak bosan-bosannya. Sudah tawaf siang hari, mencoba
sore hari. Sudah pagi hari mencoba malam hari. Rasanya ingin terus dekat
dengan Ka’bah dan mencium berkali-kali hajar aswad, sebuah batu hitam
(blackstone) di pojok Ka’bah. (Waktu saya menulis bahwa Tiongkok dengan
kekayaan barunya sudah mampu membeli saham perusahaan raksasa Amerika
yang bernama Blackstone, seorang pembaca mengirim SMS ke saya: Tiongkok
sudah pula membeli hajar aswad?)
Karena itu, suasana di sekitar Ka’bah tidak pernah sepi. Kemacetan
manusia selalu terjadi di sekitar hajar aswad. Mereka berebut
menciumnya. Kadang dengan cara menyikut dan menyingkirkan orang lain.
Saya tidak sampai hati melihat pemandangan itu. Karena itu, meski entah
sudah berapa kali saya ke Makkah, saya belum bisa mencium hajar aswad
-secara fisik. Saya tidak tega kalau harus berebut seperti itu caranya.
Maka, saya selalu berusaha menciumnya dengan hati saya yang dalam.
“Hati” dalam pengertian pedalaman saya -bukan hati dalam pengertian
liver saya.
Tuhan pasti tahu isi pedalaman saya. “Uda, Tuhan kita adalah Tuhan yang cerdas,” kata Pinto Janir dari Padang kirim SMS ke saya. Toh mencium hajar aswad itu bukan rukun tawaf. Bahkan, Syayidina Umar pernah mengatakan, “Kalau bukan karena Rasulullah pernah menciumnya, saya tidak akan sudi menciumnya”. Tentu, suatu saat saya akan menciumnya. Mungkin akan ada manajemen yang lebih baik untuk mengatur antrean itu.
Tuhan pasti tahu isi pedalaman saya. “Uda, Tuhan kita adalah Tuhan yang cerdas,” kata Pinto Janir dari Padang kirim SMS ke saya. Toh mencium hajar aswad itu bukan rukun tawaf. Bahkan, Syayidina Umar pernah mengatakan, “Kalau bukan karena Rasulullah pernah menciumnya, saya tidak akan sudi menciumnya”. Tentu, suatu saat saya akan menciumnya. Mungkin akan ada manajemen yang lebih baik untuk mengatur antrean itu.
Ada terus kegiatan orang di Makkah sebelum hari haji. Tapi, begitu
pulang dari Padang Arafah, apalagi begitu selesai salat Idul Adha,
rasanya sudah amat berbeda. Antiklimaks yang tajam. Bagi yang masih lama
dapat giliran pulang, luar biasa tidak sabarnya.
Begitu juga pasien transplan liver. Begitu bisa jalan, pikirannya
sudah langsung fokus ke pulang. Maklum, sudah terlalu lama menunggu di
rumah sakit ini. Sudah antiklimaks.
Pasien dari Taiwan umumnya sudah pulang sebulan setelah
transplantasi. Pasien Jepang bahkan tiga minggu sudah check-out. Mereka
memang tidak perlu khawatir. Di dua negara itu ada rumah sakit yang
punya pengalaman merawat pasien pascatransplan. Bahkan sudah menjadi
seperti satu network dengan pusat transplan di Tiongkok ini. Sedang
kalau saya pulang, kalau terjadi apa-apa, rumah sakit mana yang punya
pengalaman cukup untuk pasien seperti saya?
Walhasil, saya memutuskan baru akan kembali ke Surabaya sekitar
seminggu setelah Lebaran. Kebiasaan saya Lebaran di Makkah tidak bisa
saya lakukan lagi tahun ini.
Ternyata benar juga bahwa saya tidak buru-buru pulang. Saya masih
harus menjalani satu proses yang amat lucu: Imunisasi hepatitis B. Saya
tersenyum mendengar bahwa saya harus menjalani beberapa kali suntikan
imunisasi. “Sudah umur 56 tahun baru imunisasi. Bersaing dengan Icha,
cucu saya,” kata saya pada suster yang akan menyuntik. Suster tertawa.
Saya kembali tersenyum. Kecut.
Hasil tes terakhir memang menunjukkan bahwa liver baru saya bersih. Tidak kejangkitan hepatitis atau sel bibit kanker. Karena itu harus segera dilindungi dari dua makhluk halus (karena hanya bisa dilihat oleh mikroskop) yang pernah mengancam jiwa saya itu.
Saya dapat informasi bahwa dokter-dokter anak di Surabaya juga kebanjiran bayi yang minta diimunisasi hepatitis B. Yakni pada hari saya mengungkapkan mengapa saya sampai menderita penyakit seperti itu. “Jam lima pagi sudah lima ibu yang mendaftar,” kata dr Wawan yang dulu pernah jadi anggota yang aktif di Dewan Pembaca Jawa Pos. “Saya kaget. Kok tumben. Oh, agak siang sedikit, saya baru tahu sebabnya. Pasti pagi-pagi mereka sudah baca Jawa Pos,” tambahnya. “Departemen Kesehatan harus membayar Anda. Kampanye yang berhasil,” tulisnya di SMS-nya.
Tentu, saya tidak mengharapkan bayaran itu. Saya sudah amat senang
kalau tulisan saya ini memberikan manfaat. Bahkan, saya berencana
mendirikan lembaga yang tugasnya gerilya ke kawasan-kawasan miskin untuk
mencari anak yang belum diimunisasi. Saya akan membiayai kegiatan itu.
Saya perlu sejumlah tenaga yang punya antusiasme menangani pekerjaan
tersebut. Diam-diam, tekun, dan njlimet.
Karena teman-teman se-”angkatan” saya sudah pada pulang, tinggal saya
sendiri yang dari Angkatan April 2007. Tidak ada lagi teman-teman lama
yang saya kunjungi setiap hari. Saya harus mencari kawan baru. Berarti
juga harus mau menjadi narasumber untuk bagi-bagi pengalaman kepada
mereka. Saya melakukannya dengan senang hati. Hati baru, tentunya. Saya
ingin ikut memberikan semangat agar mereka optimistis menghadapi operasi
besar. Saya pun merasa dapat semangat yang sama dari pasien yang
menjalani transplan sebelum saya. Saya merasa mereka beri semangat.
Giliran saya memberikan semangat. Toh, saya tidak harus membeli
semangat.
Sebelum operasi, saya memang suka bertanya kepada pasien yang baru
saja menjalani operasi. Atau ke keluarga mereka. Jawaban-jawaban itu
tidak terlalu memengaruhi psikologi saya. Tapi, begitu pertama melihat
pasien yang jalan-jalan di koridor rumah sakit dengan kantong plastik
berisi cairan merah menggantung di pinggangnya, saya tertegun. “Oh,
begini ya orang habis transplantasi,” pikir saya. Badannya lebih kurus
daripada yang saya lihat sebelum operasi. Jalannya thimik-thimik pelan.
Lengannya dipegangi oleh suster. Mulutnya, juga mulut susternya,
dipasangi masker.
Lalu, saya tanya kepada susternya: Sudah berapa hari dia operasi?
“Tepat seminggu yang lalu,” jawabnya. Oh! Baru seminggu yang lalu! Sudah
bisa jalan, meski thimik-thimik. Meski badannya kelihatan lemah,
wajahnya segar. Juga lebih merah. Lebih segar dan merah daripada yang
saya lihat sebelum operasi. Seminggu sudah bisa jalan! Saya pun akan
begitu nanti! Seminggu, Dahlan, hanya seminggu! Sudah bisa jalan! Kau
nanti juga harus begitu! Kalau perlu lima hari!
Dengan melihat contoh nyata itu, optimisme saya kian menyala-nyala.
Saya kian rajin senam untuk membuat badan saya lebih segar. Saya lebih
semangat makan, tanpa harus merasakan enak-tidaknya. Kalau badan saya
lebih kuat, tentu lima hari setelah operasi sudah bisa jalan. Dia saja,
yang badannya memang sudah kurus dan umurnya sudah 62 tahun, seminggu
sudah bisa jalan.
Rasa optimistis kian hari kian besar setelah melihat pasien tadi di hari-hari berikutnya. Kian hari kian cepat jalannya. Juga kian segar badannya. Pasien kedua yang saya lihat pun begitu. Pasien ketiga juga sama. Pasien keempat, kelima, dan seterusnya. Semua kurang lebih sama. Jadi, ajaib memang transplantasi ini. Bahkan, pasien yang sebelum operasi kelihatan matanya sudah amat keruh, sudah tergeletak tidak bisa berjalan, napasnya sudah tersengal-sengal, seminggu setelah operasi juga sudah bisa jalan.
Suatu saat ada contoh-hidup yang lain. Serombongan besar orang Korea
memenuhi lantai 11. Ada pemandu wisatanya. Wisatawankah mereka? “Mereka
adalah orang-orang yang dua-tiga tahun lalu transplantasi di sini,” kata
seorang perawat. Mereka ingin datang lagi bersama keluarga dan kerabat.
Untuk menunjukkan di sinilah dulu mereka dapat sambungan nyawa.
Tiba-tiba saya penasaran, ingin bertanya masak kini mereka bisa
begitu sehatnya. Ternyata dengan suka rela mereka menceritakan segala
pengalamannya. Bahkan, tiga orang di antara mereka (antara umur 60 dan
70 tahun) mau saya ajak masuk kamar saya. Agar bisa bicara lebih santai.
Di kamar saya semangatnya menjadi-jadi. “Lihat ini,” katanya sambil
menyingkap bajunya. Terlihatlah di kulit perutnya bekas sayatan dan
jahitan yang panjang. Begitu jugalah saya nanti, pikir saya.
Selama empat bulan menunggu operasi, saya hanya sekali mendengar
orang meninggal. Yakni yang transplantasi enam bulan sebelumnya. Dia
seorang wanita 60-an tahun dari Pakistan. Konon, seorang anggota
parlemen. Transplantasinya sukses dan amat sehat. Sebulan setelah
transplantasi langsung pulang. Mungkin memang politisi yang sibuk. Di
negaranya langsung aktif karena memang terasa sudah amat sehat.
Perawatan terhadap slang yang masih ada di pinggangnya pun dilakukan
di negerinya. Slang itu, berikut kantong plastik kecil, memang masih
terus akan di situ selama tiga bulan. Tiap dua minggu harus dibersihkan
dan dirawat. Agar tidak jadi sumber infeksi. Bahkan, tiga bulan
kemudian, waktu seharusnya dia kembali ke Tiongkok untuk mengeluarkan
benda yang dipasang untuk menyambung livernya dulu, dia tidak ke
Tiongkok. Dilakukan sendiri oleh dokter setempat karena dia juga ahli.
Beberapa saat setelah itu, dia bahkan pergi naik haji. Entah proses
pengambilan benda asing itu yang salah atau karena kegiatannya yang
berlebihan, dia terkena infeksi. Kian lama kian parah. Lalu datang lagi
ke Tiongkok untuk menyelamatkannya.
Di Tiongkok dia akan ditransplantasi sekali lagi, namun menunggu
kondisi badannya stabil. Yang ditunggu tidak segera tiba. Bahkan
memburuk. Dan akhirnya meninggal.
Saya harus belajar dari pengalaman itu. Saya tidak harus buru-buru pulang. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment