Friday, September 14, 2007

Baru Tahu Mengapa Dokter Singapura Pilih Potong Limpa Saya

September 14, 2007
Baru Tahu Mengapa Dokter Singapura Pilih Potong Limpa Saya
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (20)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

ANCAMAN infeksi yang serius setelah pemotongan (embolisasi) limpa, memang tidak dianggap enteng oleh Prof Shao. Apalagi, suhu badan saya, pada hari-hari pertama, naik sangat tinggi: lebih dari 38 derajat Celsius. Tapi, semua bisa diatasi. Seminggu kemudian, suhu badan saya kembali normal dan stabil. Rasa sakit setelah pemotongan itu lebih hebat daripada transplantasi liver. Juga lebih lama: seminggu penuh.

Selama seminggu itu pula Prof Shao dalam ketegangan. “Sudah lima hari saya belum pulang. Saya tidur di rumah sakit, di kantor saya. Menunggui Anda,” ujar dr Shao. “Sekarang Anda sudah stabil. Saya mau istirahat,” pamitnya. Penampilannya memang agak lecek. Tidak secantik ketika dalam keadaan segar.

Kalau sebelum operasi saya lihat dia sering berlinang air mata, kini ganti saya yang amat terharu. Saya minta maaf berkali-kali karena telah membuatnya tidak bisa pulang. Saya juga tabik tak henti-hentinya. Tabik dengan cara Tiongkok. Ini untuk mewakili ucapan terima kasih saya kepadanya yang tidak terhingga. Begitu besar perhatiannya. Begitu tinggi tanggung jawabnya.

Saat itulah saya mengerti mengapa banyak dokter di Singapura memilih membuang saja limpa saya daripada memotongnya. Perawatan setelah pemotongan ternyata begitu sulit. Kebalikannya, perawatan setelah pembuangan limpa akan lebih mudah. Bahwa setelah limpa dibuang akan merepotkan pasien seumur hidup, itu kan sudah di luar tangung jawab dokter yang membuangnya. “Mana ada dokter di negara lain yang mau menunggui pasien sampai lima hari tidak pulang,” kata saya dalam hati.

Tiga hari setelah libur, barulah Prof Shao menemui saya lagi di kamar rumah sakit. Wajahnya masih tidak terlalu cerah, seperti orang sakit. Matanya yang biasanya tajam, kali ini agak memerah. Bulu matanya yang hitam seperti bendera setengah tiang. Tahu sedang saya perhatikan, dia merasa risi. “Dua hari saya flu,” katanya segera. “Semua gara-gara Anda,” tambahnya.

Sekali lagi saya minta maaf berulang-ulang. Ternyata saya telah menyiksanya. Rupanya, begitu kondisi saya stabil, ketegangan lima hari yang mencekam dirinya hilang. Bersamaan dengan itu flu datang menyerang.

“Jadi, tiga hari di rumah tidak bisa menikmati,” katanya seperti ingin bergurau. Guraunya selalu ringan-ringan saja. Tidak pernah dikemukakan dengan lepas. Tertutupi oleh jabatan tingginya dan mungkin juga kekomunisannya.

Tiga minggu kemudian, badan saya sudah terasa enak. Lalu ingat lagi acara PLTU Kaltim dan gedung Expo Jatim yang sudah menanti. Saya tahu tidak akan diizinkan pulang. Tapi, saya harus pulang. Ini soal kebakaran rumah memang, tapi yang terbakar rumah sendiri, bukan rumah tetangga.

Pagi-pagi Guo Qiang, anak saudara angkat saya Mr Guo, saya minta menerjemahkan surat yang saya buat. Guo Qiang saya minta menuliskannya dalam bahasa Mandarin yang indah. Maksud saya yang akan bisa meluluhkan hati Prof Shao. Kemampuan bahasa Mandarin saya belum sampai pada tingkat untuk bisa dipakai merayu.

Surat itu saya mulai dengan pujian. “Mungkin, Andalah dokter terbaik di muka bumi ini,” tulis saya di pembukaan surat. Setengah memuji, setengah memompa dadanya. “Mana ada dokter yang mau lima hari tidak pulang untuk menunggui pasiennya?” saya menunjukkan fakta. Saya tidak mengada-ada, meski fakta itu memang saya pakai merayu.

Bait kedua saya manfaatkan untuk ucapan terima kasih. Lalu minta maaf. Baru pada bait ketiga saya ’memperkosa’-nya. Yakni, memasukkan kalimat-kalimat merendah, tapi juga berisi memaksanya agar mengizinkan saya pulang. Saya juga mencoba lagi kemampuan ilmu mantiq yang saya pelajari di aliyah dulu.

Tiba-tiba dia masuk kamar saya dengan menggenggam surat itu. Wajahnya merah serius. Langkahnya cepat. Beberapa dokter muda yang mengikutinya sampai agak tertinggal di belakang. Pagi itu, yang mestinya melakukan kegiatan rutin, langsung diubah untuk menemui saya. Dari ekspresi wajah dan body language-nya, Prof Shao seperti tidak membaca alinea pertama. Rayuan saya ternyata telah diabaikannya. Guru besar ternama di bidang liver itu seperti langsung membaca alinea yang ’memperkosa’-nya.

Bertatapan dengan saya, dia tidak langsung berkata-kata. Dia menatap wajah saya dengan tatapan multi-arti: marah, kesal, dan gondok bercampur jadi satu. Mudah-mudahan masih terselip raya sayang di dalam campuran itu. Lama dia tidak berkata-kata. Sampai-sampai banyak dokter muda yang menunduk. Setelah menarik napas panjang, barulah dia mengucapkan kalimat yang bernada putus asa. “Sudah saya duga,” katanya.

“Bukankah indikasi-indikasi dalam darah saya sudah menunjukkan bahwa saya kuat terbang jauh?” kata saya memecah kebekuan. Lalu saya menunjukkan hasil lab. “HB saya 13, SGPT-OT saya mendekati normal, Plt saya sudah 120, tekanan darah juga normal,” kata saya.

Prof Shao seperti kian gondok. Mungkin merasa kok saya seperti sok tahu kedokteran. “Semua itu benar,” jawabnya. “Tapi, ada satu data yang saya sembunyikan. HBV-DNA Anda masih 15 juta. Padahal, seharusnya di bawah 100 saja,” katanya.

Saya terpojok. Tidak menduga sama sekali dia merahasiakan itu dari saya. Bahkan, saya tidak tahu apa hubungannya antara sakit saya dan HBV-DNA. Kami terdiam lama. Saya lihat Prof Shao mulai menitikkan air mata. Melihat itu, dokter-dokter muda yang menyertainya menyerahkan tisu kepadanya. Mata saya juga mulai berlinang. Saya dalam posisi sulit. Saya terjepit antara keharuan dan romantisme di satu pihak dengan rasa tanggung jawab di pihak lain. Tanggung jawab yang juga tidak kecil. Tanggung jawab dan risiko sebagai pimpinan. Tanggung jawab kepada rakyat Kaltim dan Perusda Jatim. Lalu muncullah keteguhan dalam hati saya untuk lebih mementingkan tanggung jawab itu.

Maka, saya putuskan untuk berbuat ini di depan Prof Shao. Turun dari tempat tidur dan ingin bergegas mencium kakinya. Ini sebagai tanda bahwa saya minta maaf yang dalam, tapi sekaligus minta dengan sangat agar diperbolehkan pulang. Dia tahu saya tidak pura-pura. Saya sudah hampir menubruk kakinya. Prof Shao bergegas mengangkat kepala saya. Dia menahan tangis. Robert Lai juga mengusap-usap matanya. Demikian juga istri saya.

Lalu Prof Shao menarik napas panjang. “Ya, sudah. Tidak bisa dicegah. Saya akan izinkan. Tapi, obat yang saya siapkan nanti harus diminum,” katanya melemah. Kini ganti saya yang lebih banyak menitikkan air mata.

Besok paginya, dari rumah sakit saya langsung ke bandara. Saya pakai kursi roda selama dalam perjalanan pulang. Dengan diungkapkannya data soal kadar HBV-DNA saya, ternyata saya belum prima. Saya harus lebih hati-hati.

***
Kian hari kondisi saya kian baik. HBV-DNA saya juga menurun drastis. Seminggu kemudian sudah menjadi 1,5 juta. Sebulan kemudian sudah normal.

Kini saya sudah terbebas dari ancaman tiba-tiba meninggal. Juga sudah terhindar dari ancaman tiba-tiba perdarahan dari lubang-lubang tubuh saya. Apalagi, sebelum potong-limpa itu saya juga sudah dua kali melakukan TACE di Singapura. Yakni, mengusahakan pembunuhan atas dua kanker liver saya dengan cara dimasuki alat pembunuh lewat selangkangan saya.

Saya tahu semua itu tidak menyelesaikan persoalan. Sakit saya sudah terlewat parah. Semua itu hanya usaha untuk ulur-waktu, buying-time. Tapi, setidaknya saya kini punya kesempatan beberapa bulan untuk memikirkan cara terbaik mengatasi sirosis-kanker saya secara permanen. Termasuk mempertimbangkan untuk transplantasi. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment