Baru Tahu Mengapa Dokter Singapura Pilih Potong Limpa Saya
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (20)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
ANCAMAN infeksi yang serius setelah pemotongan (embolisasi) limpa,
memang tidak dianggap enteng oleh Prof Shao. Apalagi, suhu badan saya,
pada hari-hari pertama, naik sangat tinggi: lebih dari 38 derajat
Celsius. Tapi, semua bisa diatasi. Seminggu kemudian, suhu badan saya
kembali normal dan stabil. Rasa sakit setelah pemotongan itu lebih hebat
daripada transplantasi liver. Juga lebih lama: seminggu penuh.
Selama seminggu itu pula Prof Shao dalam ketegangan. “Sudah lima hari
saya belum pulang. Saya tidur di rumah sakit, di kantor saya. Menunggui
Anda,” ujar dr Shao. “Sekarang Anda sudah stabil. Saya mau istirahat,”
pamitnya. Penampilannya memang agak lecek. Tidak secantik ketika dalam
keadaan segar.
Kalau sebelum operasi saya lihat dia sering berlinang air mata, kini
ganti saya yang amat terharu. Saya minta maaf berkali-kali karena telah
membuatnya tidak bisa pulang. Saya juga tabik tak henti-hentinya. Tabik
dengan cara Tiongkok. Ini untuk mewakili ucapan terima kasih saya
kepadanya yang tidak terhingga. Begitu besar perhatiannya. Begitu tinggi
tanggung jawabnya.
Saat itulah saya mengerti mengapa banyak dokter di Singapura memilih
membuang saja limpa saya daripada memotongnya. Perawatan setelah
pemotongan ternyata begitu sulit. Kebalikannya, perawatan setelah
pembuangan limpa akan lebih mudah. Bahwa setelah limpa dibuang akan
merepotkan pasien seumur hidup, itu kan sudah di luar tangung jawab
dokter yang membuangnya. “Mana ada dokter di negara lain yang mau
menunggui pasien sampai lima hari tidak pulang,” kata saya dalam hati.
Tiga hari setelah libur, barulah Prof Shao menemui saya lagi di kamar
rumah sakit. Wajahnya masih tidak terlalu cerah, seperti orang sakit.
Matanya yang biasanya tajam, kali ini agak memerah. Bulu matanya yang
hitam seperti bendera setengah tiang. Tahu sedang saya perhatikan, dia
merasa risi. “Dua hari saya flu,” katanya segera. “Semua gara-gara
Anda,” tambahnya.
Sekali lagi saya minta maaf berulang-ulang. Ternyata saya telah
menyiksanya. Rupanya, begitu kondisi saya stabil, ketegangan lima hari
yang mencekam dirinya hilang. Bersamaan dengan itu flu datang menyerang.
“Jadi, tiga hari di rumah tidak bisa menikmati,” katanya seperti
ingin bergurau. Guraunya selalu ringan-ringan saja. Tidak pernah
dikemukakan dengan lepas. Tertutupi oleh jabatan tingginya dan mungkin
juga kekomunisannya.
Tiga minggu kemudian, badan saya sudah terasa enak. Lalu ingat lagi
acara PLTU Kaltim dan gedung Expo Jatim yang sudah menanti. Saya tahu
tidak akan diizinkan pulang. Tapi, saya harus pulang. Ini soal kebakaran
rumah memang, tapi yang terbakar rumah sendiri, bukan rumah tetangga.
Pagi-pagi Guo Qiang, anak saudara angkat saya Mr Guo, saya minta
menerjemahkan surat yang saya buat. Guo Qiang saya minta menuliskannya
dalam bahasa Mandarin yang indah. Maksud saya yang akan bisa meluluhkan
hati Prof Shao. Kemampuan bahasa Mandarin saya belum sampai pada tingkat
untuk bisa dipakai merayu.
Surat itu saya mulai dengan pujian. “Mungkin, Andalah dokter terbaik
di muka bumi ini,” tulis saya di pembukaan surat. Setengah memuji,
setengah memompa dadanya. “Mana ada dokter yang mau lima hari tidak
pulang untuk menunggui pasiennya?” saya menunjukkan fakta. Saya tidak
mengada-ada, meski fakta itu memang saya pakai merayu.
Bait kedua saya manfaatkan untuk ucapan terima kasih. Lalu minta
maaf. Baru pada bait ketiga saya ’memperkosa’-nya. Yakni, memasukkan
kalimat-kalimat merendah, tapi juga berisi memaksanya agar mengizinkan
saya pulang. Saya juga mencoba lagi kemampuan ilmu mantiq yang saya
pelajari di aliyah dulu.
Tiba-tiba dia masuk kamar saya dengan menggenggam surat itu. Wajahnya
merah serius. Langkahnya cepat. Beberapa dokter muda yang mengikutinya
sampai agak tertinggal di belakang. Pagi itu, yang mestinya melakukan
kegiatan rutin, langsung diubah untuk menemui saya. Dari ekspresi wajah
dan body language-nya, Prof Shao seperti tidak membaca alinea pertama.
Rayuan saya ternyata telah diabaikannya. Guru besar ternama di bidang
liver itu seperti langsung membaca alinea yang ’memperkosa’-nya.
Bertatapan dengan saya, dia tidak langsung berkata-kata. Dia menatap
wajah saya dengan tatapan multi-arti: marah, kesal, dan gondok bercampur
jadi satu. Mudah-mudahan masih terselip raya sayang di dalam campuran
itu. Lama dia tidak berkata-kata. Sampai-sampai banyak dokter muda yang
menunduk. Setelah menarik napas panjang, barulah dia mengucapkan kalimat
yang bernada putus asa. “Sudah saya duga,” katanya.
“Bukankah indikasi-indikasi dalam darah saya sudah menunjukkan bahwa
saya kuat terbang jauh?” kata saya memecah kebekuan. Lalu saya
menunjukkan hasil lab. “HB saya 13, SGPT-OT saya mendekati normal, Plt
saya sudah 120, tekanan darah juga normal,” kata saya.
Prof Shao seperti kian gondok. Mungkin merasa kok saya seperti sok
tahu kedokteran. “Semua itu benar,” jawabnya. “Tapi, ada satu data yang
saya sembunyikan. HBV-DNA Anda masih 15 juta. Padahal, seharusnya di
bawah 100 saja,” katanya.
Saya terpojok. Tidak menduga sama sekali dia merahasiakan itu dari
saya. Bahkan, saya tidak tahu apa hubungannya antara sakit saya dan
HBV-DNA. Kami terdiam lama. Saya lihat Prof Shao mulai menitikkan air
mata. Melihat itu, dokter-dokter muda yang menyertainya menyerahkan tisu
kepadanya. Mata saya juga mulai berlinang. Saya dalam posisi sulit.
Saya terjepit antara keharuan dan romantisme di satu pihak dengan rasa
tanggung jawab di pihak lain. Tanggung jawab yang juga tidak kecil.
Tanggung jawab dan risiko sebagai pimpinan. Tanggung jawab kepada rakyat
Kaltim dan Perusda Jatim. Lalu muncullah keteguhan dalam hati saya
untuk lebih mementingkan tanggung jawab itu.
Maka, saya putuskan untuk berbuat ini di depan Prof Shao. Turun dari
tempat tidur dan ingin bergegas mencium kakinya. Ini sebagai tanda bahwa
saya minta maaf yang dalam, tapi sekaligus minta dengan sangat agar
diperbolehkan pulang. Dia tahu saya tidak pura-pura. Saya sudah hampir
menubruk kakinya. Prof Shao bergegas mengangkat kepala saya. Dia menahan
tangis. Robert Lai juga mengusap-usap matanya. Demikian juga istri
saya.
Lalu Prof Shao menarik napas panjang. “Ya, sudah. Tidak bisa dicegah.
Saya akan izinkan. Tapi, obat yang saya siapkan nanti harus diminum,”
katanya melemah. Kini ganti saya yang lebih banyak menitikkan air mata.
Besok paginya, dari rumah sakit saya langsung ke bandara. Saya pakai
kursi roda selama dalam perjalanan pulang. Dengan diungkapkannya data
soal kadar HBV-DNA saya, ternyata saya belum prima. Saya harus lebih
hati-hati.
***
Kian hari kondisi saya kian baik. HBV-DNA saya juga menurun drastis.
Seminggu kemudian sudah menjadi 1,5 juta. Sebulan kemudian sudah normal.
Kini saya sudah terbebas dari ancaman tiba-tiba meninggal. Juga sudah
terhindar dari ancaman tiba-tiba perdarahan dari lubang-lubang tubuh
saya. Apalagi, sebelum potong-limpa itu saya juga sudah dua kali
melakukan TACE di Singapura. Yakni, mengusahakan pembunuhan atas dua
kanker liver saya dengan cara dimasuki alat pembunuh lewat selangkangan
saya.
Saya tahu semua itu tidak menyelesaikan persoalan. Sakit saya sudah
terlewat parah. Semua itu hanya usaha untuk ulur-waktu, buying-time.
Tapi, setidaknya saya kini punya kesempatan beberapa bulan untuk
memikirkan cara terbaik mengatasi sirosis-kanker saya secara permanen.
Termasuk mempertimbangkan untuk transplantasi. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment