Sunday, September 9, 2007

Setelah Rutin Disuntik, Menyangka Hepatitis Sudah Beres

9 September 2007
Setelah Rutin Disuntik, Menyangka Hepatitis Sudah Beres
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (15)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

SAYA menerima kehadiran virus hepatitis B di liver saya sebagai takdir. Kalau kemudian berkembang menjadi sirosis dan kanker, itu sebagai sunnatullah-Nya -sudah seharusnya begitu. Jangan harap satu virus hepatitis B tidak akan menjadi sirosis. Dan, jangan ada harapan sirosis tidak akan jadi kanker. Tidak ada keajaiban di proses itu. Tidak ada mukjizat. Tinggal waktu saja yang berbeda. Proses perkembangan itu lama atau cepat.

Karena namanya virus, pasti datangnya dari luar. Jadi, bukan keturunan atau gen, seperti yang semula saya kira. Bahwa keluarga saya banyak yang demikian, tentu itu karena gaya hidup di desa yang memang seperti itu. Makan bersama, berebut lauk dari piring yang sama, cuci tangan dari kobokan yang sama. Semua bisa saja jadi sarana penularan. Karena hidup seperti itu dilakukan sejak kecil, kemungkinan penularannya juga tidak kecil.

Di Tiongkok, data terbaru menyebutkan hampir 10 persen penduduknya terkena virus hepatitis. Ini berarti lebih dari 120 juta orang. Di Indonesia, persentasenya saya kira hampir sama. Karena itu, penelitian terhadap hepatitis intensif sekali di Tiongkok, karena menyangkut begitu banyak orang.

Ke depan mestinya virus ini amat berkurang karena kesadaran melakukan vaksinasi hepatitis kepada bayi sangat tinggi. Di Tiongkok sejak 1982. Di Indonesia terutama sejak zaman Orde Baru.

***
Saya sendiri tahu kalau mengidap hepatitis B sejak sekitar 25 tahun lalu. Yakni, ketika untuk kali pertama dalam hidup saya memeriksakan darah. Waktu itu tiba-tiba badan saya panas sekali. Maka saya harus periksa darah. Diketahuilah bahwa ada virus hepatitis B di liver saya. Sebelumnya, sejak kecil, kalau badan panas yang dibiarkan saja: toh akan dingin sendiri.

Saat itu juga saya langsung mengambil langkah. Konsultasi dengan salah satu dokter ahli penyakit dalam terbaik di Surabaya: Prof Mohamad Hassan (kini almarhum). Dia mendengar ada obat yang masih baru sama sekali. Namanya interveron. Kalau mau, saya boleh mencoba obat baru itu, karena memang sebelumnya tidak pernah ditemukan obat untuk melawan virus itu.

Tapi, Prof Hassan mengingatkan bahwa harganya mahal sekali. Juga harus disiplin tinggi karena obat itu harus disuntikkan 76 kali, setiap dua hari sekali. Kini interveron sudah amat murah dibanding harga 25 tahun lalu. Tapi, Prof Hassan juga memberitahukan bahwa kemungkinan berhasilnya juga tidak 100 persen, baru 25 persen. Ya, siapa tahu saya masuk yang 25 persen itu, katanya.

Saya pun menyetujuinya. Maka setiap dua hari saya suntik interveron. Ketika pertama suntik saya harus ngamar di rumah sakit. Saya pilih RS Budi Mulia di Jalan Raya Gubeng. Mengapa harus ngamar? “Akibat suntikan itu, suhu badan bisa tinggi sekali. Kalau terjadi sesuatu yang membahayakan, Anda sudah berada di rumah sakit,” katanya.

Obat itu berfungsi bukan membunuh virusnya, melainkan hanya mengurungnya. Maksudnya, dengan dikurung seperti itu, virus tidak akan merajalela. Sebab, memang belum ada obat ang bisa membunuhnya.

Pada hari dilakukan penyuntikan pertama, saya langsung siap-siap selimut tebal. Kalau panas datang dan badan menggigil, saya sudah tidak bingung lagi. Saya tunggu kedatangan “suhu tinggi” dan “rasa menggigil” itu sampai sore. Tangan sudah selalu siap memegang selimut kalau tiba-tiba harus segera menutupkan ke tubuh saya. Saya tunggu sampai malam, ternyata si demam tidak datang juga. Bahkan sampai besoknya pun.

Lalu saya boleh pulang. Saya bisa menyuntikkan interveron berikutnya di mana pun saya mau. Bisa di kantor, di poliklinik, atau di praktik dokter. Saya menyimpan interveron itu di termos khusus yang bisa saya bawa bepergian. Ke mana-mana saya membawa termos itu berikut alat suntiknya.

Pernah suatu saat saya harus ke Ambon. Tentu saya bawa juga interveron itu. Di Ambon ternyata sulit sekali mencari dokter yang mau menyuntikkannya. Di sana umumnya dokter tidak tahu obat apa yang saya bawa itu. Sudah saya jelaskan panjang lebar, tetap saja dia tidak mau. Memang seharusnya demikian. Kalau tidak tahu, tidak boleh melakukannya. Yang jadi persoalan adalah bukan tidak mau, tapi memang betul-betul belum tahu obat tersebut. Maklum, memang obat yang masih sangat baru.

Pernah juga saya mengalami kesulitan yang sama saat berada di Batam. Padahal, saya juga harus mengejar pesawat. Akhirnya saya minta disuntik di pos kesehatan bandara Batam.

Setelah proses itu selesai, saya menjadi lengah. Saya menyangka, hepatitis saya sudah beres. Saya tidak pernah lagi memperhatikannya. Saya tenggelam oleh kesibukan dan kecerobohan saya sendiri.

Kini, saya dengar kualitas interveron sudah semakin baik. Sudah puluhan kali lebih kuat daripada 25 tahun lalu -saat saya pertama menggunakannya. Barangnya juga sudah lebih mudah didapat. Tiongkok juga sudah memproduksinya besar-besaran. Harganya pun sudah jauh lebih murah dibanding ketika saya harus membeli dulu. Murah untuk ukuran orang sakit liver, tapi tetap mahal untuk kebanyakan orang.

Sejak minum interveron itu saya tidak pernah mencari tahu lagi apakah sudah ada obat yang lebih jitu. Bahkan, saya sudah melupakan hepatitis saya. Badan saya yang selalu fit, membuat saya terlalu percaya diri. Pujian bahwa saya adalah orang yang “tidak punya udel” (tidak punya pusar, untuk menggambarkan punya kemampuan kerja kuda) membuat saya terlena. Saya terus kerja dan kerja. Terbang dan terbang. Di dalam negeri dan ke luar negeri.

Sampailah pada Mei 2005. Hari itu saya terbang ke 19 kota hanya dalam waktu 8 hari. Mulai Surabaya-Jakarta-Pontianak-Kuching-Singapura-Guangzhou-Wenzhou-Jinhua-Hangzhou-Nanchang-Guangzhou-Jakarta-Makassar-Ambon-Makassar-Kendari-Makssar-Jakarta-Surabaya.

Istri saya, bersama Ibu Eric Samola, bergabung dengan saya di Makkasar untuk sama-sama ke Ambon. Tiba di Ambon tidak mau sarapan, langsung ke kantor harian Ambon Ekspress untuk rapat. Mengapa tidak mau sarapan? Setiap ke Ambon saya punya cita-cita khusus: akan makan durian sebanyak-banyaknya. Durian Ambon luar biasa enaknya. Apalagi kalau dimakan di pantai yang sangat natural itu: pantai Ambon yang indah. Di mana itu? Kalau Anda turun dari pesawat, keluar dari bandara, jangan belok kanan ke arah kota, tapi belok kiri ke arah kampung. Aduh naturalnya!

Tapi, rapat masih diteruskan dengan mengajar. Dulu, setiap kedatangan saya ke anak perusahaan selalu dimanfaatkan untuk pertemuan dengan wartawan. Saya memang punya forum yang disebut “bengkel wartawan”. Di forum “bengkel” itulah saya selalu diminta menularkan pengetahuan dan keterampilan jurnalistik. Berarti makan siang juga kelewatan.

Selesai forum bengkel, sudah tidak tahan lagi untuk segera makan durian. Makannya tidak di pantai Ambon tidak apa-apa. Kebetulan di depan kantor, di pinggir jalan depan Masjid Al Fatah, banyak penjual durian. Kenyanglah. Lupa sudah makan siang. Malamnya, setelah makan malam dengan menu makanan lokal yang disebut papeda, saya ke kantor lagi sambil seperti menangis. Papeda malam itu merupakan makanan terpedas yang pernah saya alami setelah makanan yang disebut suai yang ru di Chongqing, Tiongkok.

Mestinya, saya jangan makan papeda malam itu. Mestinya tetap saja makan ikan laut. Ikan laut Ambon segarnya, manisnya, enaknya, bukan kepalang. Saya selalu merindukannya. Tapi, sejak kerusuhan Ambon, saya tidak tahu lagi di mana restoran yang terkenal itu membuka usaha.

Perut saya mulai bergolak malam itu. Mungkin ikan-ikan Ambon cemburu dan marah mengapa malam itu saya melupakannya. Lalu menyantet perut saya. Meski perut mulas, tengah malam itu saya masih harus ke percetakan. Paginya, pukul empat sudah harus berangkat ke Makassar. Rapat dengan harian Fajar yang kini baru menyelesaikan membangun gedung Graha Pena Makassar. Rapat pun buru-buru karena harus segera ke Kendari, rapat dengan harian Kendari Post yang waktu itu juga lagi membangun Graha Pena Kendari. Di Kendari saya juga punya cita-cita khusus: makan ikan bakar. Hari itu bumbunya juga pedas bukan kepalang.

Tiba di Surabaya, barulah saya bisa tidur dengan baik. Bangun tidur, tiba-tiba saya mau muntah. Saya muntahkan saja, tapi kedua tangan saya menjadi penadah. Sambil tangan menampung muntahan, saya lari ke toilet untuk membuang muntahan yang ada di tangan. Tentu ada yang tercecer di lantai kamar. Dari yang tercecer itulah saya lihat banyak onggokan berwarna hitam. Setelah onggokan itu saya injak, ternyata warnanya merah: darah. Oh, ternyata saya muntah darah.

Tapi, badan saya rasanya baik-baik saja. Saya memang merencanakan ke dokter, tapi besoklah. Setelah saya menghadiri coblosan pemilihan wali kota Surabaya. Anak buah saya, Pimred Jawa Pos Arif Afandi, menjadi calon wakil wali kota mendampingi calon Wali Kota Bambang D.H. Saya harus memilihnya sebagai dukungan ke anak buah.

Barulah selesai coblosan saya ke Rumah Sakit Darmo Surabaya. Perkembangan hasil pilkada itu, di mana Bambang-Arief terpilih, saya ketahui saat saya berbaring di ranjang pasien.

Saya ternyata memang harus ngamar di rumah sakit. Dokter menyesalkan saya, mengapa begitu muntah darah tidak langsung ke rumah sakit. Dokter bilang saya beruntung. Bisa jadi muntah darah itu akan sangat fatal dan mematikan. Lalu saya ingat kakak saya yang meninggal tidak lama setelah muntah darah. Juga ibu saya. Paman-paman saya.

Pemeriksaan di Rumah Sakit Darmo menunjukkan betapa berbahayanya sakit saya. Bahaya yang sama sekali tidak saya rasakan sebelumnya. Bahaya yang selalu kalah dengan semangat. Dalam istilah teman saya, penyakit tidak mau mampir ke badan saya karena tidak akan dilayani akibat kesibukannya.

Ternyata semua itu menipu. Penyakit tetap datang dan diam-diam menggerogoti onderdil saya. Sebuah kerusakan di dalam, yang tidak segera diketahui di luarnya. Tahu-tahu saja sudah terlambat sekali. (bersambung)

No comments:

Post a Comment