Setelah Rutin Disuntik, Menyangka Hepatitis Sudah Beres
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (15)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SAYA menerima kehadiran virus hepatitis B di liver saya sebagai
takdir. Kalau kemudian berkembang menjadi sirosis dan kanker, itu
sebagai sunnatullah-Nya -sudah seharusnya begitu. Jangan harap satu
virus hepatitis B tidak akan menjadi sirosis. Dan, jangan ada harapan
sirosis tidak akan jadi kanker. Tidak ada keajaiban di proses itu. Tidak
ada mukjizat. Tinggal waktu saja yang berbeda. Proses perkembangan itu
lama atau cepat.
Karena namanya virus, pasti datangnya dari luar. Jadi, bukan
keturunan atau gen, seperti yang semula saya kira. Bahwa keluarga saya
banyak yang demikian, tentu itu karena gaya hidup di desa yang memang
seperti itu. Makan bersama, berebut lauk dari piring yang sama, cuci
tangan dari kobokan yang sama. Semua bisa saja jadi sarana penularan.
Karena hidup seperti itu dilakukan sejak kecil, kemungkinan penularannya
juga tidak kecil.
Di Tiongkok, data terbaru menyebutkan hampir 10 persen penduduknya
terkena virus hepatitis. Ini berarti lebih dari 120 juta orang. Di
Indonesia, persentasenya saya kira hampir sama. Karena itu, penelitian
terhadap hepatitis intensif sekali di Tiongkok, karena menyangkut begitu
banyak orang.
Ke depan mestinya virus ini amat berkurang karena kesadaran melakukan
vaksinasi hepatitis kepada bayi sangat tinggi. Di Tiongkok sejak 1982.
Di Indonesia terutama sejak zaman Orde Baru.
***
Saya sendiri tahu kalau mengidap hepatitis B sejak sekitar 25 tahun
lalu. Yakni, ketika untuk kali pertama dalam hidup saya memeriksakan
darah. Waktu itu tiba-tiba badan saya panas sekali. Maka saya harus
periksa darah. Diketahuilah bahwa ada virus hepatitis B di liver saya.
Sebelumnya, sejak kecil, kalau badan panas yang dibiarkan saja: toh akan
dingin sendiri.
Saat itu juga saya langsung mengambil langkah. Konsultasi dengan
salah satu dokter ahli penyakit dalam terbaik di Surabaya: Prof Mohamad
Hassan (kini almarhum). Dia mendengar ada obat yang masih baru sama
sekali. Namanya interveron. Kalau mau, saya boleh mencoba obat baru itu,
karena memang sebelumnya tidak pernah ditemukan obat untuk melawan
virus itu.
Tapi, Prof Hassan mengingatkan bahwa harganya mahal sekali. Juga
harus disiplin tinggi karena obat itu harus disuntikkan 76 kali, setiap
dua hari sekali. Kini interveron sudah amat murah dibanding harga 25
tahun lalu. Tapi, Prof Hassan juga memberitahukan bahwa kemungkinan
berhasilnya juga tidak 100 persen, baru 25 persen. Ya, siapa tahu saya
masuk yang 25 persen itu, katanya.
Saya pun menyetujuinya. Maka setiap dua hari saya suntik interveron.
Ketika pertama suntik saya harus ngamar di rumah sakit. Saya pilih RS
Budi Mulia di Jalan Raya Gubeng. Mengapa harus ngamar? “Akibat suntikan
itu, suhu badan bisa tinggi sekali. Kalau terjadi sesuatu yang
membahayakan, Anda sudah berada di rumah sakit,” katanya.
Obat itu berfungsi bukan membunuh virusnya, melainkan hanya
mengurungnya. Maksudnya, dengan dikurung seperti itu, virus tidak akan
merajalela. Sebab, memang belum ada obat ang bisa membunuhnya.
Pada hari dilakukan penyuntikan pertama, saya langsung siap-siap
selimut tebal. Kalau panas datang dan badan menggigil, saya sudah tidak
bingung lagi. Saya tunggu kedatangan “suhu tinggi” dan “rasa menggigil”
itu sampai sore. Tangan sudah selalu siap memegang selimut kalau
tiba-tiba harus segera menutupkan ke tubuh saya. Saya tunggu sampai
malam, ternyata si demam tidak datang juga. Bahkan sampai besoknya pun.
Lalu saya boleh pulang. Saya bisa menyuntikkan interveron berikutnya
di mana pun saya mau. Bisa di kantor, di poliklinik, atau di praktik
dokter. Saya menyimpan interveron itu di termos khusus yang bisa saya
bawa bepergian. Ke mana-mana saya membawa termos itu berikut alat
suntiknya.
Pernah suatu saat saya harus ke Ambon. Tentu saya bawa juga
interveron itu. Di Ambon ternyata sulit sekali mencari dokter yang mau
menyuntikkannya. Di sana umumnya dokter tidak tahu obat apa yang saya
bawa itu. Sudah saya jelaskan panjang lebar, tetap saja dia tidak mau.
Memang seharusnya demikian. Kalau tidak tahu, tidak boleh melakukannya.
Yang jadi persoalan adalah bukan tidak mau, tapi memang betul-betul
belum tahu obat tersebut. Maklum, memang obat yang masih sangat baru.
Pernah juga saya mengalami kesulitan yang sama saat berada di Batam.
Padahal, saya juga harus mengejar pesawat. Akhirnya saya minta disuntik
di pos kesehatan bandara Batam.
Setelah proses itu selesai, saya menjadi lengah. Saya menyangka,
hepatitis saya sudah beres. Saya tidak pernah lagi memperhatikannya.
Saya tenggelam oleh kesibukan dan kecerobohan saya sendiri.
Kini, saya dengar kualitas interveron sudah semakin baik. Sudah
puluhan kali lebih kuat daripada 25 tahun lalu -saat saya pertama
menggunakannya. Barangnya juga sudah lebih mudah didapat. Tiongkok juga
sudah memproduksinya besar-besaran. Harganya pun sudah jauh lebih murah
dibanding ketika saya harus membeli dulu. Murah untuk ukuran orang sakit
liver, tapi tetap mahal untuk kebanyakan orang.
Sejak minum interveron itu saya tidak pernah mencari tahu lagi apakah
sudah ada obat yang lebih jitu. Bahkan, saya sudah melupakan hepatitis
saya. Badan saya yang selalu fit, membuat saya terlalu percaya diri.
Pujian bahwa saya adalah orang yang “tidak punya udel” (tidak punya
pusar, untuk menggambarkan punya kemampuan kerja kuda) membuat saya
terlena. Saya terus kerja dan kerja. Terbang dan terbang. Di dalam
negeri dan ke luar negeri.
Sampailah pada Mei 2005. Hari itu saya terbang ke 19 kota hanya dalam
waktu 8 hari. Mulai
Surabaya-Jakarta-Pontianak-Kuching-Singapura-Guangzhou-Wenzhou-Jinhua-Hangzhou-Nanchang-Guangzhou-Jakarta-Makassar-Ambon-Makassar-Kendari-Makssar-Jakarta-Surabaya.
Istri saya, bersama Ibu Eric Samola, bergabung dengan saya di
Makkasar untuk sama-sama ke Ambon. Tiba di Ambon tidak mau sarapan,
langsung ke kantor harian Ambon Ekspress untuk rapat. Mengapa tidak mau
sarapan? Setiap ke Ambon saya punya cita-cita khusus: akan makan durian
sebanyak-banyaknya. Durian Ambon luar biasa enaknya. Apalagi kalau
dimakan di pantai yang sangat natural itu: pantai Ambon yang indah. Di
mana itu? Kalau Anda turun dari pesawat, keluar dari bandara, jangan
belok kanan ke arah kota, tapi belok kiri ke arah kampung. Aduh
naturalnya!
Tapi, rapat masih diteruskan dengan mengajar. Dulu, setiap kedatangan
saya ke anak perusahaan selalu dimanfaatkan untuk pertemuan dengan
wartawan. Saya memang punya forum yang disebut “bengkel wartawan”. Di
forum “bengkel” itulah saya selalu diminta menularkan pengetahuan dan
keterampilan jurnalistik. Berarti makan siang juga kelewatan.
Selesai forum bengkel, sudah tidak tahan lagi untuk segera makan
durian. Makannya tidak di pantai Ambon tidak apa-apa. Kebetulan di depan
kantor, di pinggir jalan depan Masjid Al Fatah, banyak penjual durian.
Kenyanglah. Lupa sudah makan siang. Malamnya, setelah makan malam dengan
menu makanan lokal yang disebut papeda, saya ke kantor lagi sambil
seperti menangis. Papeda malam itu merupakan makanan terpedas yang
pernah saya alami setelah makanan yang disebut suai yang ru di
Chongqing, Tiongkok.
Mestinya, saya jangan makan papeda malam itu. Mestinya tetap saja
makan ikan laut. Ikan laut Ambon segarnya, manisnya, enaknya, bukan
kepalang. Saya selalu merindukannya. Tapi, sejak kerusuhan Ambon, saya
tidak tahu lagi di mana restoran yang terkenal itu membuka usaha.
Perut saya mulai bergolak malam itu. Mungkin ikan-ikan Ambon cemburu
dan marah mengapa malam itu saya melupakannya. Lalu menyantet perut
saya. Meski perut mulas, tengah malam itu saya masih harus ke
percetakan. Paginya, pukul empat sudah harus berangkat ke Makassar.
Rapat dengan harian Fajar yang kini baru menyelesaikan membangun gedung
Graha Pena Makassar. Rapat pun buru-buru karena harus segera ke Kendari,
rapat dengan harian Kendari Post yang waktu itu juga lagi membangun
Graha Pena Kendari. Di Kendari saya juga punya cita-cita khusus: makan
ikan bakar. Hari itu bumbunya juga pedas bukan kepalang.
Tiba di Surabaya, barulah saya bisa tidur dengan baik. Bangun tidur,
tiba-tiba saya mau muntah. Saya muntahkan saja, tapi kedua tangan saya
menjadi penadah. Sambil tangan menampung muntahan, saya lari ke toilet
untuk membuang muntahan yang ada di tangan. Tentu ada yang tercecer di
lantai kamar. Dari yang tercecer itulah saya lihat banyak onggokan
berwarna hitam. Setelah onggokan itu saya injak, ternyata warnanya
merah: darah. Oh, ternyata saya muntah darah.
Tapi, badan saya rasanya baik-baik saja. Saya memang merencanakan ke
dokter, tapi besoklah. Setelah saya menghadiri coblosan pemilihan wali
kota Surabaya. Anak buah saya, Pimred Jawa Pos Arif Afandi, menjadi
calon wakil wali kota mendampingi calon Wali Kota Bambang D.H. Saya
harus memilihnya sebagai dukungan ke anak buah.
Barulah selesai coblosan saya ke Rumah Sakit Darmo Surabaya.
Perkembangan hasil pilkada itu, di mana Bambang-Arief terpilih, saya
ketahui saat saya berbaring di ranjang pasien.
Saya ternyata memang harus ngamar di rumah sakit. Dokter menyesalkan
saya, mengapa begitu muntah darah tidak langsung ke rumah sakit. Dokter
bilang saya beruntung. Bisa jadi muntah darah itu akan sangat fatal dan
mematikan. Lalu saya ingat kakak saya yang meninggal tidak lama setelah
muntah darah. Juga ibu saya. Paman-paman saya.
Pemeriksaan di Rumah Sakit Darmo menunjukkan betapa berbahayanya
sakit saya. Bahaya yang sama sekali tidak saya rasakan sebelumnya.
Bahaya yang selalu kalah dengan semangat. Dalam istilah teman saya,
penyakit tidak mau mampir ke badan saya karena tidak akan dilayani
akibat kesibukannya.
Ternyata semua itu menipu. Penyakit tetap datang dan diam-diam
menggerogoti onderdil saya. Sebuah kerusakan di dalam, yang tidak segera
diketahui di luarnya. Tahu-tahu saja sudah terlambat sekali.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment