Boleh Tak Mengaku, 25 Juta Orang Menghadapi seperti Saya
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (13)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
MENGAPA saya harus menjalani transplantasi liver?
“Karena sudah ada kanker di liver saya dan sudah mulai menyebar ke beberapa tempat meski semuanya masih di dalam liver.”
Mengapa ada kanker di liver saya?
“Karena liver saya sudah tidak normal, sudah mengecil, mengeras, dan rusak. Istilahnya, sudah mencapai tahap terjadi sirosis.”
Mengapa liver saya bisa sirosis?
“Karena saya mengidap virus hepatitis B, yang gagal saya usir atau saya matikan. Virus itu menjadi aktif dan merusak liver karena kondisi badan saya sering sangat lelah. Saat badan lemah, virus yang semula tidur saja di dalam liver punya kesempatan melakukan aksinya tanpa perlawanan yang berarti dari badan saya yang sedang lemah.”
Mengapa sering lelah?
“Masak itu ditanyakan. Bikin saya malu. He… he….”
Kenapa ada virus hepatitis B di liver saya?
“Karena liver saya tidak kebal ketika virus untuk pertama kalinya datang dan masuk ke dalam liver saya.”
Kenapa badan saya tidak kebal?
“Karena saya tidak pernah menjalani vaksinasi antihepatitis B saat saya masih bayi/kecil.”
Kenapa waktu itu tidak menjalani vaksinasi?
“Karena tidak tahu.”
Kenapa tidak tahu?
“Karena tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan. Juga karena negara waktu itu masih sangat miskin dan pemerintah sibuk mengurus politik atau rebutan posisi.”
Soal pemerintah tidak perlu ditanyakan lebih lanjut. Tapi, kenapa Anda tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan?
“Karena miskin sekali. Keluarga saya, hampir semuanya, petani atau buruh tani.”
Kenapa miskin?
“Karena tidak berpendidikan.”
Kenapa tidak berpendidikan?
“Karena miskin!”
***
Itu bukan kata-kata juru penerang PKK yang setelah zaman reformasi
tidak lagi berperan aktif, tapi akan sangat baik kalau dipakai
menyadarkan ibu-ibu untuk memvaksinkan bayinya agar kebal terhadap virus
hepatitis B.
Sebab, sekitar 10 persen penduduk kita terkena hepatitis B. Soal
jarang yang mengakui, itu soal lain. Artinya, sekitar 25 juta orang
sedang menghadapi masa depan seperti saya. Padahal, belum tentu semuanya
mendapatkan kesempatan sebaik saya: bisa menjalani transplantasi liver.
Kalau toh banyak yang mampu, belum tentu operasinya bisa berhasil.
Kesempatan menjalani transplantasi juga kian kecil. Tiap negara kini
cenderung melindungi rakyatnya sendiri sehingga, seperti yang dilakukan
Tiongkok saat ini, liver yang ada harus diprioritaskan untuk penduduk
Tiongkok sendiri. Ini sangat wajar karena persoalan seperti ini akan
bisa jadi isu nasional di negara tersebut. “Di Tiongkok sendiri kini
terdapat 120 juta orang yang mengidap hepatitis B,” ujar Deputi Menteri
Kesehatan Tiongkok Hao Yang saat melakukan kampanye vaksinasi hepatitis B
pekan lalu seperti yang disiarkan China Daily 1 September barusan. Hao
Yang lantas mengutip angka dari Samuel So, direktur Asian Liver Centre
di Stanford University AS, bahwa 40 persen di antara segala macam
penularan virus terjadi dari ibu ke anaknya.
Maka, pencegahan sangat penting. Di Tiongkok, seluruh bayi sejak 1982
harus tiga kali divaksin antihepatitis. Tiap suntik harga obatnya
sekitar Rp 75.000. Seluruhnya ditanggung negara.
***
Meski ilmu pengetahuan semakin maju dan keterampilan dokter juga kian
sempurna, tapi kalau sumber donor untuk liver makin terbatas,
bagaimana? Bukankah kesempatan untuk menjalani transplantasi di masa
depan kian langka? Termasuk bagi yang mampu transplantasi sekalipun?
Bukankah lantas antrean untuk dapat giliran transplan kian panjang? Dan
kian lama?
Saya sendiri perlu empat bulan menunggu. Dalam keadaan harus terus
siap. Penantian yang tidak jelas harus berapa lama. Yang juga berarti
terus berjalannya argometer biaya. Empat bulan harus tinggal di luar
negeri dan dengan keluarga yang harus mondar-mandir tentu bukan hal yang
sederhana. Padahal, sekali lagi, kita tidak akan pernah tahu harus
menunggu sampai berapa lama. Artinya, juga tidak akan tahu masih harus
berapa banyak lagi uang yang disiapkan.
Dengan logikanya yang sederhana, istri saya sering nyeletuk. Suatu
celetukan yang mungkin juga mencerminkan rasa jenuh karena begitu
lamanya menunggu. “Begini sulit ya mempertahankan satu nyawa. Kok di
Timur Tengah itu tiap hari orang dengan gampang menghilangkan nyawa,”
katanya.
Istri saya lantas menyebut banyaknya orang Timur Tengah yang antre di
rumah sakit ini. “Bukankah di sana banyak sumber liver? Dari mereka
yang begitu banyak meninggal muda itu? Dan pasti lebih pas karena dari
ras yang sama?” celetuk istri saya.
Tentu tidak sesederhana itu. Ada soal yang bagi orang Islam lebih
prinsip. Yakni apakah boleh, secara Islam, mendonorkan organ tubuh?
Apakah boleh organ dari orang yang baru meninggal diambil untuk
menyelamatkan orang lain?
Soal itu di masa depan tidak hanya akan jadi isu agama. Tapi juga isu
keadilan. Isu yang akan lebih mendominasi masa depan dunia. Bisa jadi,
kelak, akan ada aturan bahwa suatu negara tidak boleh mendonorkan organ
kepada penduduk suatu negara yang negara itu atau penduduknya melarang
melakukan donor organ. Misalnya, Indonesia tidak mendukung digalakkannya
donor organ atau penduduk Indonesia mengharamkan donor organ, maka di
masa depan orang Indonesia tidak boleh menerima sumbangan organ dari
warga negara lain.
Kini sudah terasa gejalanya. Dimulai dari munculnya kebijakan
memprioritaskan penduduk negaranya sendiri. Alasan keadilan lantas
memperkuatnya.
Kesadaran seperti itu akan membuat banyak negara ikut mengubah
peraturannya. Tiongkok sudah mengubahnya empat bulan lalu. Orang asing
tidak akan gampang lagi mendapatkan donor dari penduduk setempat.
Begitu banyak orang Tiongkok sendiri yang memerlukan transplantasi.
Yang terkena hepatitis B saja mencapai 120 juta orang, sudah sama dengan
separo penduduk Indonesia. Kalau mereka tidak terlayani karena miskin,
tidak kuat bayar, maka akan menjadi isu kesenjangan sosial. Akan menjadi
isu politik yang sensitif bagi Tiongkok yang lagi gencar-gencarnya
memerangi kesenjangan sosial.
Belum lagi, kini, orang kaya di Tiongkok bertambah-tambah dengan
drastisnya. Mereka tentu akan semakin mampu dalam ikut “memperebutkan”
donor yang kian terbatas.
Singapura sudah lebih dulu membuat aturan seperti itu. Bahkan,
melarang sama sekali liver orang Singapura untuk orang non-Singapura.
Sebab, di Singapura sendiri antara kesediaan liver dan yang
memerlukannya jauh lebih banyak yang terakhir.
Awal bulan ini, diberitakan antrean transplantasi di Singapura sudah
sampai 10 tahun. Artinya, mendaftar sekarang baru akan dapat liver 10
tahun lagi. Karena itu, setiap saat selalu ada pasien antre yang dicoret
dari daftar antre. Mengapa? “Sudah tidak layak antre. Selama penantian,
kondisi badannya sudah semakin buruk,” ujar dr Tong Ming Chuan, saah
seorang direktur program jantung-paru Singapura. “Tiga di antara empat
orang yang dicoret dari daftar antre itu tak lama kemudian memang
meninggal,” ujar dr Tong sebagaimana disiarkan The Strait Times 2
September lalu.
Kini, panjang antrean itu ratusan orang di Singapura. Sebanyak 555
orang antre untuk transplan ginjal dan 16 orang antre liver. Di antara
lima orang yang antre transplan jantung, tinggal satu yang masih
memenuhi syarat dalam daftar. Tapi, itu tidak berarti bisa cepat dapat
giliran. Sebab, donor jantung lebih sulit. “Donor liver atau ginjal bisa
berupa separo organ tersebut. Tapi, donor jantung harus satu jantung
utuh. Ini berarti pendonornya harus meninggal,” katanya.
Di antara 555 orang itu terakhir, yang 139 orang juga sudah tidak
memenuhi syarat lagi untuk transplan. Di antara 139 itu pun,
diperkirakan yang 22 orang sudah akan meninggal tidak lama lagi. Sudah
terlalu terlambat untuk transplan. Kalau toh dipaksakan, peluang
berhasilnya tipis. Sayang donornya. Mendingan diberikan kepada pasien
yang kans berhasilnya lebih besar. Khusus untuk yang antre liver saja,
tahun lalu enam orang meninggal karena perkembangan sakit livernya lebih
cepat daripada waktu antrenya.
Kini, siapa yang harus hidup dan siapa yang harus mati ternyata bisa ditentukan oleh dokter.
Karena itu, Singapura akan melangkah lebih jauh. Peraturan baru
sedang disiapkan. Kalau selama ini organ hanya diambilkan hanya dari
orang yang sudah menyatakan organnya boleh didonorkan, nanti akan
dibalik. Menjadi: hanya orang yang menyatakan keberatan saja, yang
organnya tidak bisa jadi donor. “Peraturan ini juga akan berlaku bagi
penduduknya yang beragama Islam,” katanya. Selama ini, aturan transplan
selalu dikecualikan bagi yang muslim. Ini terkait dengan keyakinan
agama. Kini kekhususan itu tidak ada lagi.
Artinya, organ semua orang Singapura secara otomatis boleh diambil
setelah dia mati, kecuali yang keberatan saja. Ini seperti prinsip
ushul-fikh (kaidah aturan): semua yang tidak dilarang berarti
dibolehkan. Singapura akan menggunakan prinsip ushul-fikh itu.
Begitu seriusnya problem defisit donor itu, sehingga Tiongkok juga
akan mengubah peraturan di bidang kedokteran tentang “kapan seseorang
dinyatakan meninggal”. Ini setelah awal Agustus kemarin diperdebatkan di
forum para ahli transplantasi di Beijing. Satu perdebatan yang amat
teknis-medis di sekitar saat kematian datang. Yakni saat-saat kematian
batang otak. Saya sendiri tidak paham istilah-istilahnya. Yang jelas,
kalau peraturan lama yang dipakai menentukan tibanya saat kematian, akan
banyak sekali organ yang sudah terlanjur “ikut mati”. Ini akan tidak
bisa dimanfaatkan untuk amal jariyah berikutnya. Maka, aturan menentukan
saat kematian itu akan dibuat lebih awal, sebagaimana yang sudah
disepakati di banyak negara maju.
Saya jadi berpikir dan diskusi lagi dengan diri sendiri. Saat
kematian ternyata bisa diajukan atau dimundurkan walau hanya sesaat.
Bagi yang paham ayat Al Kitab mengenai kematian (idza jaa-a ajal luhum…)
tentu satu pekerjaan tersendiri untuk mendiskusikannya. Terutama apakah
yang dimaksud dengan ajal di situ. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment