Friday, September 7, 2007

Boleh Tak Mengaku, 25 Juta Orang Menghadapi seperti Saya

7 September 2007
Boleh Tak Mengaku, 25 Juta Orang Menghadapi seperti Saya
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (13)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

MENGAPA saya harus menjalani transplantasi liver?
“Karena sudah ada kanker di liver saya dan sudah mulai menyebar ke beberapa tempat meski semuanya masih di dalam liver.”

Mengapa ada kanker di liver saya?
“Karena liver saya sudah tidak normal, sudah mengecil, mengeras, dan rusak. Istilahnya, sudah mencapai tahap terjadi sirosis.”

Mengapa liver saya bisa sirosis?
“Karena saya mengidap virus hepatitis B, yang gagal saya usir atau saya matikan. Virus itu menjadi aktif dan merusak liver karena kondisi badan saya sering sangat lelah. Saat badan lemah, virus yang semula tidur saja di dalam liver punya kesempatan melakukan aksinya tanpa perlawanan yang berarti dari badan saya yang sedang lemah.”

Mengapa sering lelah?
“Masak itu ditanyakan. Bikin saya malu. He… he….”

Kenapa ada virus hepatitis B di liver saya?
“Karena liver saya tidak kebal ketika virus untuk pertama kalinya datang dan masuk ke dalam liver saya.”

Kenapa badan saya tidak kebal?
“Karena saya tidak pernah menjalani vaksinasi antihepatitis B saat saya masih bayi/kecil.”

Kenapa waktu itu tidak menjalani vaksinasi?
“Karena tidak tahu.”

Kenapa tidak tahu?
“Karena tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan. Juga karena negara waktu itu masih sangat miskin dan pemerintah sibuk mengurus politik atau rebutan posisi.”

Soal pemerintah tidak perlu ditanyakan lebih lanjut. Tapi, kenapa Anda tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan?
“Karena miskin sekali. Keluarga saya, hampir semuanya, petani atau buruh tani.”

Kenapa miskin?
“Karena tidak berpendidikan.”

Kenapa tidak berpendidikan?
“Karena miskin!”

***
Itu bukan kata-kata juru penerang PKK yang setelah zaman reformasi tidak lagi berperan aktif, tapi akan sangat baik kalau dipakai menyadarkan ibu-ibu untuk memvaksinkan bayinya agar kebal terhadap virus hepatitis B.

Sebab, sekitar 10 persen penduduk kita terkena hepatitis B. Soal jarang yang mengakui, itu soal lain. Artinya, sekitar 25 juta orang sedang menghadapi masa depan seperti saya. Padahal, belum tentu semuanya mendapatkan kesempatan sebaik saya: bisa menjalani transplantasi liver. Kalau toh banyak yang mampu, belum tentu operasinya bisa berhasil.

Kesempatan menjalani transplantasi juga kian kecil. Tiap negara kini cenderung melindungi rakyatnya sendiri sehingga, seperti yang dilakukan Tiongkok saat ini, liver yang ada harus diprioritaskan untuk penduduk Tiongkok sendiri. Ini sangat wajar karena persoalan seperti ini akan bisa jadi isu nasional di negara tersebut. “Di Tiongkok sendiri kini terdapat 120 juta orang yang mengidap hepatitis B,” ujar Deputi Menteri Kesehatan Tiongkok Hao Yang saat melakukan kampanye vaksinasi hepatitis B pekan lalu seperti yang disiarkan China Daily 1 September barusan. Hao Yang lantas mengutip angka dari Samuel So, direktur Asian Liver Centre di Stanford University AS, bahwa 40 persen di antara segala macam penularan virus terjadi dari ibu ke anaknya.

Maka, pencegahan sangat penting. Di Tiongkok, seluruh bayi sejak 1982 harus tiga kali divaksin antihepatitis. Tiap suntik harga obatnya sekitar Rp 75.000. Seluruhnya ditanggung negara.

***
Meski ilmu pengetahuan semakin maju dan keterampilan dokter juga kian sempurna, tapi kalau sumber donor untuk liver makin terbatas, bagaimana? Bukankah kesempatan untuk menjalani transplantasi di masa depan kian langka? Termasuk bagi yang mampu transplantasi sekalipun? Bukankah lantas antrean untuk dapat giliran transplan kian panjang? Dan kian lama?

Saya sendiri perlu empat bulan menunggu. Dalam keadaan harus terus siap. Penantian yang tidak jelas harus berapa lama. Yang juga berarti terus berjalannya argometer biaya. Empat bulan harus tinggal di luar negeri dan dengan keluarga yang harus mondar-mandir tentu bukan hal yang sederhana. Padahal, sekali lagi, kita tidak akan pernah tahu harus menunggu sampai berapa lama. Artinya, juga tidak akan tahu masih harus berapa banyak lagi uang yang disiapkan.

Dengan logikanya yang sederhana, istri saya sering nyeletuk. Suatu celetukan yang mungkin juga mencerminkan rasa jenuh karena begitu lamanya menunggu. “Begini sulit ya mempertahankan satu nyawa. Kok di Timur Tengah itu tiap hari orang dengan gampang menghilangkan nyawa,” katanya.

Istri saya lantas menyebut banyaknya orang Timur Tengah yang antre di rumah sakit ini. “Bukankah di sana banyak sumber liver? Dari mereka yang begitu banyak meninggal muda itu? Dan pasti lebih pas karena dari ras yang sama?” celetuk istri saya.

Tentu tidak sesederhana itu. Ada soal yang bagi orang Islam lebih prinsip. Yakni apakah boleh, secara Islam, mendonorkan organ tubuh? Apakah boleh organ dari orang yang baru meninggal diambil untuk menyelamatkan orang lain?

Soal itu di masa depan tidak hanya akan jadi isu agama. Tapi juga isu keadilan. Isu yang akan lebih mendominasi masa depan dunia. Bisa jadi, kelak, akan ada aturan bahwa suatu negara tidak boleh mendonorkan organ kepada penduduk suatu negara yang negara itu atau penduduknya melarang melakukan donor organ. Misalnya, Indonesia tidak mendukung digalakkannya donor organ atau penduduk Indonesia mengharamkan donor organ, maka di masa depan orang Indonesia tidak boleh menerima sumbangan organ dari warga negara lain.

Kini sudah terasa gejalanya. Dimulai dari munculnya kebijakan memprioritaskan penduduk negaranya sendiri. Alasan keadilan lantas memperkuatnya.

Kesadaran seperti itu akan membuat banyak negara ikut mengubah peraturannya. Tiongkok sudah mengubahnya empat bulan lalu. Orang asing tidak akan gampang lagi mendapatkan donor dari penduduk setempat.

Begitu banyak orang Tiongkok sendiri yang memerlukan transplantasi. Yang terkena hepatitis B saja mencapai 120 juta orang, sudah sama dengan separo penduduk Indonesia. Kalau mereka tidak terlayani karena miskin, tidak kuat bayar, maka akan menjadi isu kesenjangan sosial. Akan menjadi isu politik yang sensitif bagi Tiongkok yang lagi gencar-gencarnya memerangi kesenjangan sosial.

Belum lagi, kini, orang kaya di Tiongkok bertambah-tambah dengan drastisnya. Mereka tentu akan semakin mampu dalam ikut “memperebutkan” donor yang kian terbatas.

Singapura sudah lebih dulu membuat aturan seperti itu. Bahkan, melarang sama sekali liver orang Singapura untuk orang non-Singapura. Sebab, di Singapura sendiri antara kesediaan liver dan yang memerlukannya jauh lebih banyak yang terakhir.

Awal bulan ini, diberitakan antrean transplantasi di Singapura sudah sampai 10 tahun. Artinya, mendaftar sekarang baru akan dapat liver 10 tahun lagi. Karena itu, setiap saat selalu ada pasien antre yang dicoret dari daftar antre. Mengapa? “Sudah tidak layak antre. Selama penantian, kondisi badannya sudah semakin buruk,” ujar dr Tong Ming Chuan, saah seorang direktur program jantung-paru Singapura. “Tiga di antara empat orang yang dicoret dari daftar antre itu tak lama kemudian memang meninggal,” ujar dr Tong sebagaimana disiarkan The Strait Times 2 September lalu.

Kini, panjang antrean itu ratusan orang di Singapura. Sebanyak 555 orang antre untuk transplan ginjal dan 16 orang antre liver. Di antara lima orang yang antre transplan jantung, tinggal satu yang masih memenuhi syarat dalam daftar. Tapi, itu tidak berarti bisa cepat dapat giliran. Sebab, donor jantung lebih sulit. “Donor liver atau ginjal bisa berupa separo organ tersebut. Tapi, donor jantung harus satu jantung utuh. Ini berarti pendonornya harus meninggal,” katanya.

Di antara 555 orang itu terakhir, yang 139 orang juga sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk transplan. Di antara 139 itu pun, diperkirakan yang 22 orang sudah akan meninggal tidak lama lagi. Sudah terlalu terlambat untuk transplan. Kalau toh dipaksakan, peluang berhasilnya tipis. Sayang donornya. Mendingan diberikan kepada pasien yang kans berhasilnya lebih besar. Khusus untuk yang antre liver saja, tahun lalu enam orang meninggal karena perkembangan sakit livernya lebih cepat daripada waktu antrenya.

Kini, siapa yang harus hidup dan siapa yang harus mati ternyata bisa ditentukan oleh dokter.

Karena itu, Singapura akan melangkah lebih jauh. Peraturan baru sedang disiapkan. Kalau selama ini organ hanya diambilkan hanya dari orang yang sudah menyatakan organnya boleh didonorkan, nanti akan dibalik. Menjadi: hanya orang yang menyatakan keberatan saja, yang organnya tidak bisa jadi donor. “Peraturan ini juga akan berlaku bagi penduduknya yang beragama Islam,” katanya. Selama ini, aturan transplan selalu dikecualikan bagi yang muslim. Ini terkait dengan keyakinan agama. Kini kekhususan itu tidak ada lagi.

Artinya, organ semua orang Singapura secara otomatis boleh diambil setelah dia mati, kecuali yang keberatan saja. Ini seperti prinsip ushul-fikh (kaidah aturan): semua yang tidak dilarang berarti dibolehkan. Singapura akan menggunakan prinsip ushul-fikh itu.

Begitu seriusnya problem defisit donor itu, sehingga Tiongkok juga akan mengubah peraturan di bidang kedokteran tentang “kapan seseorang dinyatakan meninggal”. Ini setelah awal Agustus kemarin diperdebatkan di forum para ahli transplantasi di Beijing. Satu perdebatan yang amat teknis-medis di sekitar saat kematian datang. Yakni saat-saat kematian batang otak. Saya sendiri tidak paham istilah-istilahnya. Yang jelas, kalau peraturan lama yang dipakai menentukan tibanya saat kematian, akan banyak sekali organ yang sudah terlanjur “ikut mati”. Ini akan tidak bisa dimanfaatkan untuk amal jariyah berikutnya. Maka, aturan menentukan saat kematian itu akan dibuat lebih awal, sebagaimana yang sudah disepakati di banyak negara maju.

Saya jadi berpikir dan diskusi lagi dengan diri sendiri. Saat kematian ternyata bisa diajukan atau dimundurkan walau hanya sesaat. Bagi yang paham ayat Al Kitab mengenai kematian (idza jaa-a ajal luhum…) tentu satu pekerjaan tersendiri untuk mendiskusikannya. Terutama apakah yang dimaksud dengan ajal di situ. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment