Setelah Transplantasi, Kian Tidak Jelas Hitungan Umur Saya
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (31)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
UMUR berapakah saya sekarang?
Tepatnya saya tidak tahu. Apalagi setelah melakukan transplantasi liver ini.
Kakak sulung saya memang pernah mencatat tanggal kelahiran saya.
Yakni di balik pintu lemari kayu yang kasar. Ditulis dengan kapur lunak,
diambilkan dari kapur yang biasa dipakai nenek untuk makan sirih. Itu
bukan lemari pakaian karena kami tidak perlu lemari untuk pakaian. Baju
kami, sekeluarga, tidak lebih dari sepuluh. Cukup disangkut-sangkutkan
di paku yang menancap di dinding. Juga karena kami tidak bisa beli
lemari. Lemari yang ada itu bikinan bapak sendiri untuk menyimpan apa
saja: kaleng bekas, piring seng untuk makan, cobek (mangkuk terbuat dari
tanah), dan leper (tempat mengulek sambal, terbuat dari tanah), dan
sebangsanya. Makanan juga disimpan di situ -kalau kebetulan ada.
Itulah satu-satunya perabot rumah tangga bapak saya. Tidak ada kursi
atau meja makan. Kami makan sambil duduk di lantai. Lantai itu terbuat
dari tanah karena tidak mampu menyemennya. Kalau mau makan, barulah
dihamparkan tikar. Posisi duduk anak kecil seperti saya sangat minggir
-kadang hanya dapat separo pantat saja yang di atas tikar. Di atas tikar
itu juga kami tidur. Paginya, ketika tikar dilipat, sering ada gambar
pulau di lantai tanahnya: ngompol. Jangan gusar. Bau kencing itu akan
hilang dengan sendirinya kalau tanahnya sudah kering lagi. Inilah
keunggulan yang tak tertandingi dari lantai tanah: Bisa menyerap ompol
sebanyak-banyaknya! Dia seperti popok abadi! Tidak perlu dibuang yang
sampahnya bisa merusak lingkungan. Dari segi ini, lantai tanah sangat
ramah lingkungan -setidaknya hidung kami sudah biasa tidak
menghiraukannya. Kalau musim hujan, gambar pulaunya lebih banyak dan
lebih lama hilangnya.
Sejak masih ngompol, saya sudah harus bisa menyapu lantai. Tiap pagi,
itulah tugas pertama masa kecil saya: menyapu lantai. Karena lantai itu
akan menimbulkan debu, sebelum disapu harus dikepyur-kepyur dulu dengan
air. Saya sangat ahli me-ngepyur-kan air ke lantai ini. Juga
menyenanginya -terutama saya punya kesempatan untuk me-ngepyur-kan air
lebih banyak di dekat pulau ompol untuk mengamuflasekannya. Meski akan
menghabiskan air lebih banyak, tapi bisa mengurangi rasa malu.
Setelah ibu sakit (seperti sakit saya ini), apa pun dijual. Sawah
warisan yang hanya secuil, alat-alat tukang bapak yang bisa
dirombengkan, dan juga lemari satu-satunya itu. Maka, pergilah lemari
dari rumah kami -dan hilanglah catatan tanggal lahir saya.
Di desa, orang memang tidak peduli dengan tanggal lahir. Yang selalu
diingat hanya hari dan pasarannya. Karena itu, bapak ingat saya lahir
Selasa Legi. Tapi, Selasa Legi yang tanggal berapa, bulan berapa, tidak
ingat. Untuk apa diingat? Untuk ulang tahun? Emangnya perlu ulang tahun?
Bahwa orang itu ternyata bisa diulangtahuni belum pernah saya dengar
sampai saya masuk SMA. Yang biasa diulangtahuni adalah orang mati. Pakai
selamatan dan tahlilan. Kami hafal semua kapan meninggalnya siapa.
Tanggal itu penting bagi anak-anak miskin karena berarti akan ada
selamatan.
Kalau toh ada orang yang selamatan kecil dikaitkan dengan hari
kelahirannya, itu dilakukan setiap 35 hari sekali. Misalnya, setiap
Selasa Legi. Tapi, keluarga kami tidak mengenal itu karena kurang
kejawen. Kami keluarga santri. Ibadahnya pakai aliran NU ahli sunnah wal
jamaah: tarwihnya 21 rakaat (sampai sekarang), salatnya pakai doa
kunut, wiridannya pakai tahlil, nyekar ke kuburan, salat id tidak mau di
lapangan. Namun, kami juga ikut Kejawen: Bersih desa, wayangan Murwad
Kolo. Anehnya, aliran tarikat kami Syatariyah, bukan Naqsyabandiyah.
Kalau bulan Syura, kami selamatan Rebo Wekasan, yang aslinya milik
aliran Syiah. Pada selamatan ini, kiai kami menaruh gentong (tempat air
yang besar terbuat dari tanah) dengan air yang penuh. Ke dalamnya
dimasukkan rajah -kertas yang ditulisi huruf Arab yang ruwet, entah apa
bunyinya. Setelah kenduri, kami antre minum airnya. Dengan ciduk yang
sama: tidak terpikirkan itu sebagai sarana yang efektif untuk menularkan
virus hepatitis. Itulah peringatan meninggalnya Sayidina Hasan dan
Husein, putra Sayidina Ali dan Sayidah Fatimah, yang berarti cucu
Rasulullah.
Lebih aneh lagi, aliran politik keluarga kami adalah ini: Masyumi.
Bahkan, saya ingat, gambar pertama yang bisa saya buat ketika kecil
adalah lambang partai itu: Bulan bintang. Dan ketika terjadi Gestapu/PKI
di tahun 1965, sepupu-sepupu saya yang sudah dewasa semua jadi anggota
Banser.
Suatu saat saya dicap sebagai Muhammadiyah. “Lihat dia dari keluarga
Masyumi,” kata seorang tokoh. Di lain kali saya tidak diterima di
kalangan Muhammadiyah. “Dia tahlil,” kata yang lain. Saya sendiri tidak
peduli, saya ini orang apa. Semoga di langit sana tidak ada
pengelompokan seperti itu. Lagi pula, kini, suasana juga sudah tidak
seperti itu lagi. Perbedaan dua golongan itu sudah kian cair.
Asal-usul keluarga kami adalah pelarian dari Jogja. Yakni setelah
Pangeran Diponegoro kalah karena ditipu oleh Belanda. Para panglima
perangnya melarikan diri, antara lain ke timur, ke Banjarsari di selatan
Ponorogo. Lalu beranak-pinak dan ada yang membuka hutan di timur Gunung
Lawu untuk dijadikan kampung: Takeran. Sekaligus jadi pusat Pesantren
Sabilil Muttaqin.
Karena saya dari jalur wanita, ibu saya tidak tinggal di pusat
keluarga itu. Ibu harus ikut bapak saya. Bapak saya adalah abdi di pusat
keluarga itu, tapi kemudian kawin dengan ibu saya. Jadilah bapak-ibu
saya tinggal di desa, 6 km dari pusat keluarga itu. Jadi keluarga tani,
kemudian jatuh ke buruh tani.
Sampai tamat SMA, saya belum peduli dengan tanggal lahir dan karena
itu juga tidak pernah bertanya ke bapak. Hidup di desa, waktu itu, tidak
ada administrasi yang memerlukan tanggal lahir. Ketika sudah amat
dewasa dan saya bertanya kepada bapak mengenai kapan saya dilahirkan,
jawabnya tegas: Selasa Legi. Tapi, bukankah setiap 35 hari ada Selasa
Legi? “Waktu itu,” kata bapak saya sambil berpikir keras, “ada hujan abu
yang sangat hebat.” Maksudnya ketika Gunung Kelud meletus. Begitu
hebatnya sampai desa saya yang jaraknya lebih 100 km dari gunung di
Blitar itu dalam keadaan gelap selama sepekan.
Tentu, saya malas melakukan riset kapan saja Gunung Kelud meletus.
Bagi saya, tidak tahu tanggal lahir tidak penting-penting amat. Saya
putuskan sendiri saja: Saya lahir tanggal 17 Agustus 1951. Itulah
tanggal lahir yang secara resmi saya pakai di dokumen apa pun sampai
sekarang. Tanpa dukungan surat kenal lahir. Tapi sudah diakui di banyak
negara. Buktinya, saya tidak dianggap memalsukannya.
Bukankah bisa ditelusuri kapan Gunung Kelud meletus? Soalnya bukan
hanya itu. Bapak saya kemudian menyebut, ketika Gunung Kelud meletus,
saya sudah mulai bisa merangkak!
Kini, setelah ganti liver, kian tidak jelas lagi saya ini berumur
berapa. Badan saya berumur 56 tahun, tapi hati saya belum lagi berumur
25 tahun. Apakah harus dijumlah lalu dibagi dua? Atau masing-masing
diberi bobot dan nilai? Lalu, bobot dan nilai dikalikan seperti ajaran
ilmu manajemen problem-solving yang sangat memengaruhi saya kalau ambil
keputusan?
Untuk apa juga saya pikirkan. Tiwas nanti merasa ge-er karena
hitungannya jatuh bahwa saya baru berumur 38 tahun atau 45 tahun.
Untunglah, saya belum pernah merayakan ulang tahun sehingga tidak kian
ruwet memikirkannya. Ulang tahun saya adalah Selasa Legi. Titik.
Yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana hati baru itu bisa kerasan
menjadi “keluarga besar Dahlan Iskan”. Dan, rasanya bisa. Sampai 1,5
bulan setelah ganti hati ini, kondisi saya terus saja membaik. Semua
parameter darah normal. Yang juga menggembirakan saya adalah: sekarang
saya bisa berkeringat.
Sudah tiga tahun saya tidak pernah berkeringat. Habis jalan jauh pun
tidak berkeringat. Kini, begitu habis makan, langsung berkeringat. Juga
setelah sedikit senam atau joging. Saya memang harus banyak senam,
terutama yang bisa membuat dada saya mekar lagi. Mengapa? Selama ini
rongga dada saya ternyata dalam proses mengecil. Ini karena liver lama
saya juga mengecil. Jadi tulang-tulang iga ikut bergerak ke dalam,
berusaha menyesuaikan dengan ruang yang dilindunginya. Antara hati dan
tulang iga, secara alamiah, memang tidak boleh ada ruang kosong. Ketika
hati mengecil, tulang iga menyesuaikannya.
Saya sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui itu. Tahunya ketika
anak wanita saya bertanya kepada dokter: apa saja kesulitan dokter
dalam melakukan transplantasi liver malam itu? Dokter mengatakan,
“Hampir tidak ada kesulitan apa pun”. Kecuali satu: Rongga dada saya
sudah mengecil. Akibatnya, ketika dokter mau “memasang” liver baru di
ruang yang ditinggalkan liver lama, ruangnya agak terasa kesempitan.
Sehingga menaruhnya jadi agak sulit. Sesak. Liver baru masih dalam
ukuran normal, bukan? Itulah sebabnya saya memperbanyak senam agar liver
baru saya bisa “bernafas” dengan lebih lega dan itu berarti membuatnya
semakin kerasan tinggal di dalam badan saya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment