Tersenyum ketika Dioperasi seperti Menikmati Kemiskinan
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (14)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
JELASLAH bahwa karena kemiskinan dan kejumudan yang melatarbelakangi,
saya menderita sakit liver. Apakah saya menyesali dilahirkan di
keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami adalah kemiskinan
struktural. Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan
saya. Bahkan hampir di semua kampung saya. Di kapupaten saya. Juga di
negara saya. Kemiskinan rame-rame. Kami bisa menikmatinya bersama-sama.
Jadi, jangan sampai ada yang menyangka bahwa kami sangat menderita.
Tidak. Kami miskin bukan karena harta habis untuk main judi atau untuk
mabuk-mabukan atau untuk narkoba. Kami memang tidak punya harta.
Kalau toh kami boros, kurang hemat, itu pun jangan disalahkan.
Keborosan kami adalah “keborosan-religius”. Juga
“keborosan-yang-beradab”, yakni boros untuk melestarikan adat-istiadat.
Kami harus banyak keluar biaya untuk selamatan Lebaran, kupatan,
mauludan, rejeban, megengan, rebowekasan, dan seterusnya, tapi semua itu
kami niati untuk ibadah -entah apakah seharusnya pakai selamatan
segala. Kami sangat menyenangi selamatan. Terutama saat kami masih
kecil. Itulah saatnya kami bisa makan nasi. Bukan gaplek. Itulah saatnya
kami bisa makan telur. Bukan hanya sambal atau garam. Itulah saatnya
kami, kalau nasibnya baik -yakni dapat ambeng yang baik-, bisa
memperebutkan daging ayam secuil. Satu bentuk selamatan di serambi
masjid yang amat kami tunggu-tunggu. Karena itu, kami hafal benar kapan
akan ada mauludan atau megengan. Bahkan sudah kami nantikan sejak
berhari-hari sebelumnya.
Kami juga harus slametan nyepasari, mitoni, sunatan, wetonan, dan
seterusnya. Tapi, itu juga kami perlukan sebagai wujud donga-katon (doa
yang dipersonifikasikan). Karena itu, harus ada sayur kluwih untuk
menandakan bahwa kita ingin rezeki yang linuwih (berlebih). Juga harus
ada cakar ayam untuk lambang doa kuat melangkah. Pokoknya, semua kami
wujudkan dalam makanan seperti seolah-olah kami bisu.
Setiap kupatan, kami juga harus munjung ke kiai kami. Sesepuh kami.
Punjungan itu berbentuk makanan yang paling istimewa. Ibu membuat
lontong yang untuk merebusnya saja diperlukan waktu 24 jam. Agar lontong
masak sempurna dan tidak basi sampai seminggu pun. Daun pembungkusnya
harus daun pisang raja agar harumnya khas. Sayurnya harus lima macam,
salah satunya harus opor ayam. Ibu pandai sekali bikin opor ayam. Tapi,
kami hanya boleh makan sedikit kuahnya. Dagingnya untuk punjungan. Ibu
sudah menyiapkan ayam itu sejak enam bulan sebelum kupatan.
Tentu, kami tidak mungkin mampu membeli ayam. Sering ibu harus membeli dulu satu telur. Lalu dititipkan ke tetangga untuk bersama-sama ditetaskan di situ. Lalu dipeliharanlah ayam tunggal itu. Sampai tiba saatnya harus dipotong untuk dihaturkan kepada kiai kami yang sebenarnya sudah kaya.
Tentu, kami tidak mungkin mampu membeli ayam. Sering ibu harus membeli dulu satu telur. Lalu dititipkan ke tetangga untuk bersama-sama ditetaskan di situ. Lalu dipeliharanlah ayam tunggal itu. Sampai tiba saatnya harus dipotong untuk dihaturkan kepada kiai kami yang sebenarnya sudah kaya.
Bapak sangat menjunjung tinggi adat itu. Kiai kami bukan sembarang
kiai. Kiai kami adalah guru-tarikat kami. Guru yang oleh bapak dipercaya
sebagai wasilah dalam term filsafat ahl-dzikr. Tidak ada ahl-dzikr lain
di dunia ini kecuali kiai kami itu. “Ahl-dzikr hanya satu di dunia,”
kata bapak saya. Ini karena menurut tata bahasa Arab (nahwu), kata ahl
di situ menunjukkan bentuk tunggal (ism mufrad). Ternyata, semua aliran
tasawuf punyai klaim yang sama untuk kiai mereka sendiri. Tapi, bapak
saya tidak tahu itu. Tahunya ya hanya tasawuf Sathariyah. Dan meyakini
bahwa kiainya, KH Imam Mursyid Muttaqien, adalah sang “ahl dzikr” nan
tunggal.
Misalnya saja, bapak kedatangan tamu yang dulu sesama abdi dalem di
rumah kiai tersebut. Tentu, bapak bicara seenaknya dan penuh guyon
dengan tamunya. Tapi, begitu si tamu mengatakan kedatangannya hari itu
diutus sang kiai, sikap bapak otomatis berubah. Bapak akan langsung
bersila, menunduk, dan ngapurancang di depan teman sesama abdi dalem
itu. Bapak langsung menggunakan kata-kata kromo inggil (bahasa Jawa
level tertinggi) dalam percakapan dengan temannya itu. Bapak langsung
merasa sedang berhadapan dengan kiainya sendiri. Bapak adalah idola kami
dalam bersikap tawadluk -hormat kepada sesepuh.
Saya pernah bertugas mengantarkan punjungan yang aromanya sangat
harum itu. Kami berjalan kaki sejauh 6 kilometer untuk sampai ke rumah
sesepuh kami itu. Di jalan, kami bisa mengira-ngira nikmatnya makanan
yang akan kami antar itu karena kami sudah merasakan rasa kuahnya. Meski
kiai tersebut masih paman ibu saya sendiri, kami dilarang untuk masuk
sampai ke dalam rumahnya. Kami hanya boleh mengantar sampai teras
samping rumah pendapa itu.
Kami sungguh menikmati kemiskinan kami seperti menikmati khayalan
mengenai lezatnya opor ayam yang disiapkan sejak enam bulan sebelumnya
itu.
Saya, waktu kecil, memang hanya punya satu celana pendek dan satu
baju, tapi saya masih punya satu sarung! Jangan remehkan kemampuan
sarung ini. Dia bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari
rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan, sampai jadi alat memeras atau
menakut-nakuti.
Sarung inilah pakaian yang, meski hanya satu potong kain,
fleksibelnya bukan main. Kalau saya lagi mencuci baju, sarung itu bisa
saya kemulkan di bagian atas badan saya. Kalau saya lagi harus mencuci
celana, sarung itu bisa jadi bawahan.
Kalau kami lagi cari sisa-sisa panen kedelai di sawah orang kaya, sarung itu bisa jadi karung.
Kalau saya lagi ingin mendalang (waktu kecil saya suka sekali
mendalang, dengan wayang terbuat dari rumput dan gamelan dari mulut
teman-teman), sarung itu saya bentangkan dengan tiang pendek di kiri
kanannya: jadilah dia kelir.
Kalau lagi musim angin dan kami ingin bermain-main dengan angin itu, sarung kami bentangkan di atas kepala: jadilah dia layar.
Kalau saya lagi lomba terjun ke sungai dari atas jembatan, saya ikat ujung sarung itu: jadilah dia semacam payung parasit.
Kalau perut lagi lapar sekali dan di rumah tidak ada makanan sama
sekali, saya ikatkan kuat-kuat sarung itu di pinggang: jadilah dia
pengganjal perut yang andal.
Saya belum menemukan bentuk pakaian lain yang fleksibelnya melebihi
sarung. Kalau sembahyang, jadilah dia benda penting menghadap Tuhan.
Kalau lagi kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau lagi mau nakut-nakuti
anak kecil, jadilah dia pocongan.
Kalau sarung itu robek (biasa waktu dipancal kaki saat tidur
kedinginan atau saat kena duri bambu saat mencuri tebu), sarung itu
masih bisa dijahit. Kalau di tempat jahitan itu robek lagi, masih bisa
ditambal. Kalau tambalannya pun sudah robek, sarung itu belum akan
pensiun. Masih bisa dirobek-robek: bagian yang besar bisa untuk sarung
bantal, bagian yang kecil untuk popok bayi.
Sakit bisa dinikmati. Miskin pun bisa dinikmati. Apalagi suasananya
sering diciptakan demikian. Misalnya saja, kisah tentang bagaimana
Khalifah Umar menemukan orang miskin yang anaknya menagis terus karena
lapar. Untuk meredam tangis si anak, ibunya pura-pura merebus sesuatu.
Padahal, yang direbus itu adalah batu. Cerita yang demikian jadi kebanggaan. Juga cerita sufi tentang bagaimana orang sakti yang kalau lapar cukup mengganjal perutnya dengan batu. Atau bagaimana nabi hanya memakan kurma dua biji setelah seharian berpuasa. Lapar itu sering luar biasa nikmatnya.
Padahal, yang direbus itu adalah batu. Cerita yang demikian jadi kebanggaan. Juga cerita sufi tentang bagaimana orang sakti yang kalau lapar cukup mengganjal perutnya dengan batu. Atau bagaimana nabi hanya memakan kurma dua biji setelah seharian berpuasa. Lapar itu sering luar biasa nikmatnya.
Orang miskin punya jalan sendiri untuk menikmati kemiskinannya,
seperti juga orang kaya punya cara sendiri menikmati kekayaannya.
Kadang, orang kaya merasa iba kepada orang miskin. Padahal, sering juga
orang miskin merasa kasihan kepada orang kaya. Banyak orang desa yang
merasa kasihan kepada Tommy Soeharto yang akhirnya harus menderita.
Mereka tidak tahu bahwa Tommy masih kaya raya.
Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya. Jangankan
terkena kanker atau sirosis atau hepatitis. Mati pun dianggap, kalau
memang sudah garisnya, harus diterima apa adanya. Karena itu, ayat yang
menyatakan “kalau sudah tiba waktunya, tidak bisa diundur sekejap pun
atau dimajukan sedikit pun” menjadi amat populer. Melebihi popularitas
ayat yang mengajarkan “carilah rezeki di bumi Tuhan ini”.
Kisah sedekah yang populer juga terkait dengan kemiskinan. Sangat
sering diajarkan bahwa sedekah tidak harus dengan harta. Menyingkirkan
duri dari tengah jalan pun sudah merupakan sedekah. Bahkan, tersenyum
pun sudah sedekah. Maka, marilah kita sering tersenyum. Mau dioperasi
besar pun saya tersenyum. Itulah sedekah yang sudah sejak kecil
diajarkan -dan yang dulu satu-satunya yang mampu kami lakukan.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment