Saturday, September 8, 2007

Tersenyum ketika Dioperasi seperti Menikmati Kemiskinan

8 September 2007
Tersenyum ketika Dioperasi seperti Menikmati Kemiskinan
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (14)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

JELASLAH bahwa karena kemiskinan dan kejumudan yang melatarbelakangi, saya menderita sakit liver. Apakah saya menyesali dilahirkan di keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan saya. Bahkan hampir di semua kampung saya. Di kapupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-rame. Kami bisa menikmatinya bersama-sama.

Jadi, jangan sampai ada yang menyangka bahwa kami sangat menderita. Tidak. Kami miskin bukan karena harta habis untuk main judi atau untuk mabuk-mabukan atau untuk narkoba. Kami memang tidak punya harta.

Kalau toh kami boros, kurang hemat, itu pun jangan disalahkan. Keborosan kami adalah “keborosan-religius”. Juga “keborosan-yang-beradab”, yakni boros untuk melestarikan adat-istiadat.

Kami harus banyak keluar biaya untuk selamatan Lebaran, kupatan, mauludan, rejeban, megengan, rebowekasan, dan seterusnya, tapi semua itu kami niati untuk ibadah -entah apakah seharusnya pakai selamatan segala. Kami sangat menyenangi selamatan. Terutama saat kami masih kecil. Itulah saatnya kami bisa makan nasi. Bukan gaplek. Itulah saatnya kami bisa makan telur. Bukan hanya sambal atau garam. Itulah saatnya kami, kalau nasibnya baik -yakni dapat ambeng yang baik-, bisa memperebutkan daging ayam secuil. Satu bentuk selamatan di serambi masjid yang amat kami tunggu-tunggu. Karena itu, kami hafal benar kapan akan ada mauludan atau megengan. Bahkan sudah kami nantikan sejak berhari-hari sebelumnya.

Kami juga harus slametan nyepasari, mitoni, sunatan, wetonan, dan seterusnya. Tapi, itu juga kami perlukan sebagai wujud donga-katon (doa yang dipersonifikasikan). Karena itu, harus ada sayur kluwih untuk menandakan bahwa kita ingin rezeki yang linuwih (berlebih). Juga harus ada cakar ayam untuk lambang doa kuat melangkah. Pokoknya, semua kami wujudkan dalam makanan seperti seolah-olah kami bisu.

Setiap kupatan, kami juga harus munjung ke kiai kami. Sesepuh kami. Punjungan itu berbentuk makanan yang paling istimewa. Ibu membuat lontong yang untuk merebusnya saja diperlukan waktu 24 jam. Agar lontong masak sempurna dan tidak basi sampai seminggu pun. Daun pembungkusnya harus daun pisang raja agar harumnya khas. Sayurnya harus lima macam, salah satunya harus opor ayam. Ibu pandai sekali bikin opor ayam. Tapi, kami hanya boleh makan sedikit kuahnya. Dagingnya untuk punjungan. Ibu sudah menyiapkan ayam itu sejak enam bulan sebelum kupatan.

Tentu, kami tidak mungkin mampu membeli ayam. Sering ibu harus membeli dulu satu telur. Lalu dititipkan ke tetangga untuk bersama-sama ditetaskan di situ. Lalu dipeliharanlah ayam tunggal itu. Sampai tiba saatnya harus dipotong untuk dihaturkan kepada kiai kami yang sebenarnya sudah kaya.

Bapak sangat menjunjung tinggi adat itu. Kiai kami bukan sembarang kiai. Kiai kami adalah guru-tarikat kami. Guru yang oleh bapak dipercaya sebagai wasilah dalam term filsafat ahl-dzikr. Tidak ada ahl-dzikr lain di dunia ini kecuali kiai kami itu. “Ahl-dzikr hanya satu di dunia,” kata bapak saya. Ini karena menurut tata bahasa Arab (nahwu), kata ahl di situ menunjukkan bentuk tunggal (ism mufrad). Ternyata, semua aliran tasawuf punyai klaim yang sama untuk kiai mereka sendiri. Tapi, bapak saya tidak tahu itu. Tahunya ya hanya tasawuf Sathariyah. Dan meyakini bahwa kiainya, KH Imam Mursyid Muttaqien, adalah sang “ahl dzikr” nan tunggal.

Misalnya saja, bapak kedatangan tamu yang dulu sesama abdi dalem di rumah kiai tersebut. Tentu, bapak bicara seenaknya dan penuh guyon dengan tamunya. Tapi, begitu si tamu mengatakan kedatangannya hari itu diutus sang kiai, sikap bapak otomatis berubah. Bapak akan langsung bersila, menunduk, dan ngapurancang di depan teman sesama abdi dalem itu. Bapak langsung menggunakan kata-kata kromo inggil (bahasa Jawa level tertinggi) dalam percakapan dengan temannya itu. Bapak langsung merasa sedang berhadapan dengan kiainya sendiri. Bapak adalah idola kami dalam bersikap tawadluk -hormat kepada sesepuh.

Saya pernah bertugas mengantarkan punjungan yang aromanya sangat harum itu. Kami berjalan kaki sejauh 6 kilometer untuk sampai ke rumah sesepuh kami itu. Di jalan, kami bisa mengira-ngira nikmatnya makanan yang akan kami antar itu karena kami sudah merasakan rasa kuahnya. Meski kiai tersebut masih paman ibu saya sendiri, kami dilarang untuk masuk sampai ke dalam rumahnya. Kami hanya boleh mengantar sampai teras samping rumah pendapa itu.

Kami sungguh menikmati kemiskinan kami seperti menikmati khayalan mengenai lezatnya opor ayam yang disiapkan sejak enam bulan sebelumnya itu.

Saya, waktu kecil, memang hanya punya satu celana pendek dan satu baju, tapi saya masih punya satu sarung! Jangan remehkan kemampuan sarung ini. Dia bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan, sampai jadi alat memeras atau menakut-nakuti.

Sarung inilah pakaian yang, meski hanya satu potong kain, fleksibelnya bukan main. Kalau saya lagi mencuci baju, sarung itu bisa saya kemulkan di bagian atas badan saya. Kalau saya lagi harus mencuci celana, sarung itu bisa jadi bawahan.

Kalau kami lagi cari sisa-sisa panen kedelai di sawah orang kaya, sarung itu bisa jadi karung.
Kalau saya lagi ingin mendalang (waktu kecil saya suka sekali mendalang, dengan wayang terbuat dari rumput dan gamelan dari mulut teman-teman), sarung itu saya bentangkan dengan tiang pendek di kiri kanannya: jadilah dia kelir.

Kalau lagi musim angin dan kami ingin bermain-main dengan angin itu, sarung kami bentangkan di atas kepala: jadilah dia layar.

Kalau saya lagi lomba terjun ke sungai dari atas jembatan, saya ikat ujung sarung itu: jadilah dia semacam payung parasit.

Kalau perut lagi lapar sekali dan di rumah tidak ada makanan sama sekali, saya ikatkan kuat-kuat sarung itu di pinggang: jadilah dia pengganjal perut yang andal.

Saya belum menemukan bentuk pakaian lain yang fleksibelnya melebihi sarung. Kalau sembahyang, jadilah dia benda penting menghadap Tuhan. Kalau lagi kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau lagi mau nakut-nakuti anak kecil, jadilah dia pocongan.

Kalau sarung itu robek (biasa waktu dipancal kaki saat tidur kedinginan atau saat kena duri bambu saat mencuri tebu), sarung itu masih bisa dijahit. Kalau di tempat jahitan itu robek lagi, masih bisa ditambal. Kalau tambalannya pun sudah robek, sarung itu belum akan pensiun. Masih bisa dirobek-robek: bagian yang besar bisa untuk sarung bantal, bagian yang kecil untuk popok bayi.

Sakit bisa dinikmati. Miskin pun bisa dinikmati. Apalagi suasananya sering diciptakan demikian. Misalnya saja, kisah tentang bagaimana Khalifah Umar menemukan orang miskin yang anaknya menagis terus karena lapar. Untuk meredam tangis si anak, ibunya pura-pura merebus sesuatu.

Padahal, yang direbus itu adalah batu. Cerita yang demikian jadi kebanggaan. Juga cerita sufi tentang bagaimana orang sakti yang kalau lapar cukup mengganjal perutnya dengan batu. Atau bagaimana nabi hanya memakan kurma dua biji setelah seharian berpuasa. Lapar itu sering luar biasa nikmatnya.

Orang miskin punya jalan sendiri untuk menikmati kemiskinannya, seperti juga orang kaya punya cara sendiri menikmati kekayaannya. Kadang, orang kaya merasa iba kepada orang miskin. Padahal, sering juga orang miskin merasa kasihan kepada orang kaya. Banyak orang desa yang merasa kasihan kepada Tommy Soeharto yang akhirnya harus menderita. Mereka tidak tahu bahwa Tommy masih kaya raya.

Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya. Jangankan terkena kanker atau sirosis atau hepatitis. Mati pun dianggap, kalau memang sudah garisnya, harus diterima apa adanya. Karena itu, ayat yang menyatakan “kalau sudah tiba waktunya, tidak bisa diundur sekejap pun atau dimajukan sedikit pun” menjadi amat populer. Melebihi popularitas ayat yang mengajarkan “carilah rezeki di bumi Tuhan ini”.

Kisah sedekah yang populer juga terkait dengan kemiskinan. Sangat sering diajarkan bahwa sedekah tidak harus dengan harta. Menyingkirkan duri dari tengah jalan pun sudah merupakan sedekah. Bahkan, tersenyum pun sudah sedekah. Maka, marilah kita sering tersenyum. Mau dioperasi besar pun saya tersenyum. Itulah sedekah yang sudah sejak kecil diajarkan -dan yang dulu satu-satunya yang mampu kami lakukan. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment