Datang Tawaran Liver Hidup dari Orang Muda asal Bandung
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (23)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SAYA hampir kehilangan momentum. Kedatangan saya untuk antre
transplantasi liver ini agak terlambat, meski belum fatal. Sebulan
setelah saya menunggu, keluar peraturan baru: tidak gampang lagi pasien
asing mendapatkan donor. Tapi, mestinya, saya belum terkena peraturan
itu karena saya sudah mendaftar sebelum itu.
Pasien asing banyak yang gelisah. Dulu-dulunya, waktu menunggu sering
tidak sampai sebulan. Saya pun datang dengan harapan seperti itu.
Apalagi di lengan saya sudah dipasangi saluran infus sampai ke dada,
sebagai persiapan transplantasi yang sudah dekat. Tapi, ternyata
terhalang aturan baru itu.
Saya memutuskan sabar menunggu. Tapi, setelah dua bulan tidak juga
ada tanda-tanda akan mendapat donor, saya ingin pulang dulu dua hari.
Kali ini untuk menyelesaikan urusan di Kalimantan Barat. Saya merasa
punya tanggung jawab yang belum saya penuhi.
Sebagaimana juga di Kaltim, saya ingin ikut mengatasi krisis listrik
di Kalbar. Gubernurnya sudah sangat mendambakan turun tangan saya,
mengingat krisis listrik di sana sudah berlangsung lebih dari lima
tahun. Krisis listrik di Kalbar lebih parah daripada di Kaltim. Maka
saya bersama gubernur dan Dirut PLN menandatangani MoU pembangunan PLTU
di Pontianak.
Untuk menunjukkan keseriusan, saya langsung membeli tanah 20 hektare
di lokasi yang paling cocok untuk itu. Juga melakukan perundingan dan
penandatangan kontrak mesin-mesin di Tiongkok. Namun, beberapa waktu
kemudian ternyata PLN melakukan tender untuk pembangunan PLTU itu, tanpa
sedikit pun memberi informasi kepada saya bagaimana nasib MoU yang
sudah dibuat.
Kami tidak mau ikut tender itu karena merasa PLN tidak beretika sama
sekali. Dan lagi, saya memang tidak dalam posisi mencari proyek. Saya
hanya ingin ikut mengatasi krisis listrik di Kalbar, sebagai awal dari
membangun Kalbar lebih lanjut. Provinsi itu sangat kasihan. Tidak kaya
sumber alam dan tidak punya proyek besar. Investor yang mau datang pasti
mengeluhkan listrik.
Tender itu berjalan lancar dan itu memang proses yang benar. Tapi,
pemenang tendernya, sampai tulisan ini dibuat, tidak ada tanda-tanda
fisik mulai membangun PLTU. Berarti Kalbar kehilangan lagi waktu tiga
tahun. Jelek sekali nasib Kalbar. Juga nasib (tanah) saya. Memang, suatu
ketika, kira-kira dua tahun lalu, peserta tender ingin mengajak saya
bergabung membangun PLTU tersebut. Tentu saya tidak mau kalau modal dia
hanya selembar kertas izin. Dia juga menanyakan apakah tanah kami akan
dijual. Tentu saja tidak. Kami bukan spekulan atau jual beli tanah. Kami
serius membeli tanah tersebut untuk PLTU.
Memang bukan salah saya kalau sampai hari ini belum ada tanda-tanda
konkret krisis listrik Kalbar akan teratasi. Tapi, setidaknya saya
bertanggung jawab untuk mewujudkan sesuatu di sana. Terutama sebagai
ungkapan terima kasih kepada masyarakat setempat bahwa koran kami di
sana menjadi yang terbesar.
Karena itu, saya bertekad menggunakan dana yang sudah saya siapkan
untuk PLTU ke proyek lain: perkebunan rakyat. Yakni, mengolah hasil
pertanian rakyat yang selama ini harganya selalu hancur-hancuran di
musim panen. Proyek itu harus berjalan. Banyak pengungsi Madura akibat
kerusuhan etnis pada 1999 itu yang mulai bekerja di proyek ini. Saya
harus datang ke sana untuk membuat keputusan yang terpenting.
Saat saya menyelesaikan urukan Kalbar itulah, sebenarnya ada donor
yang potensial. Dokter mencari-cari saya apakah bisa membatalkan
kepergian saya ke Indonesia. Tapi, saya sudah di atas pesawat. Tapi,
beruntung bahwa ternyata donor potensial itu ternyata juga tidak cocok
untuk saya.
Saya harus menunggu lagi entah berapa lama. Orang-orang Pakistan
mulai mencari jalan sendiri. Yakni, mendatangkan donor dari negaranya.
Yakni, donor orang hidup. Mereka mencari salah satu keluarganya, atau
sukarelawan, yang mau menyumbangkan separo livernya untuk dicangkokkan
ke pasien. Ini mungkin karena liver adalah satu-satunya organ tubuh yang
kalau dipotong bisa tumbuh utuh lagi.
Hanya operasinya lebih sulit: Orang yang sehat dibedah, lalu livernya
dipotong separo. Pada saat yang sama, si calon penerima (resipien)
liver juga dibedah untuk membuang (seluruh) livernya yang sudah rusak.
Setelah itu, potongan liver yang sudah dilepas dari tubuh pemiliknya
ditanamkan ke tubuh si penerima.
Seseorang bisa hidup normal dengan liver yang hanya separo karena
liver atau hepar atau hati adalah satu-satunya organ yang bisa tumbuh
kembali dengan cepat. Berbeda dengan ginjal dan organ lain. Karena itu,
sekali orang kehilangan ginjal, ya sampai meninggal, ginjalnya tetap
satu. Beda dengan donor liver. Hari ini separo livernya didonorkan,
besok pagi sudah tumbuh lagi. Dan dalam tempo tiga minggu sampai
maksimal sebulan, liver yang dipotong itu sudah akan utuh kembali.
Dengan begitu, seorang donor juga tak perlu tinggal berlama-lama di
rumah sakit. Hanya dalam tempo dua tiga hari pascaoperasi, dia sudah
boleh latihan berdiri dan berjalan. Seminggu berikutnya dia sudah bisa
beraktivitas lagi. Tapi, memang masih harus ekstrahati-hati karena tiga
sayatan panjang bekas operasi di perutnya masih basah.
Lantas bagaimana nasib potongan liver yang sudah berpindah tubuh
tadi? Ini pun tak perlu dikhawatirkan karena dalam tempo maksimal tiga
bulan, potongan itu sudah akan tumbuh menjadi liver yang utuh
sebagaimana orang normal. Karena itu, di negara-negara yang jumlah donor
mayat (cadaver)-nya terbatas, livernya dibagi dua. Jadi, satu liver
untuk dua pasien. Di Tiongkok, umumnya masih satu liver untuk satu
pasien. Termasuk saya.
Menjelang transplantasi, Robert menemui keluarga-keluarga Pakistan
itu untuk mempelajari bagaimana praktik cangkok liver dengan donor
hidup. Dia menjadi amat yakin itu juga akan berhasil. Lalu mengajak
salah satu pendonor ke kamar saya.
“Dia mendonorkan livernya dua minggu yang lalu,” kata Robert sambil
menepuk bahu anak muda Pakistan itu. “Sekarang sudah jalan-jalan dan mau
saya ajak ke sini,” tambahnya.
Anak itu sendiri, yang bahasa Inggrisnya bagus sekali, lantas
menceritakan mengapa mau melakukan itu, mengapa berani, dan bagaimana
kondisinya sampai saat itu. “Liver saya yang setelah dipotong tinggal 9
cm, sekarang sudah menjadi 16 cm lagi. Dua minggu lagi sudah kembali
utuh seperti semula,” katanya. Lalu dia menunjukkan perutnya yang masih
dibebat untuk mengeringkan luka akibat pembedahan.
Bagaimana dengan penerima livernya? “Bapak itu juga mulai baik. Liver
saya yang di sana, yang semula hanya 11 cm, hari ini sudah 17 cm,”
katanya sambil menggambar di papan tulis tentang bagaimana livernya
tumbuh kembali, baik yang masih di dalam tubuhnya maupun yang sudah
pindah ke tubuh orang lain.
Saya amat yakin dengan jalan itu. Saya juga memutuskan akan
melakukannya. Saya tidak yakin bisa dapat donor utuh dalam waktu dekat.
Saya harus berhitung dengan sirosis dan kanker saya yang sedang berlomba
dengan waktu. Kalau saya menunggu terlalu lama, bisa jadi fungsi liver
saya akan keburu memburuk. Dan, karena penurunan fungsi itu bisa merusak
pertahanan tubuh saya, sel-sel kanker yang mungkin masih tersisa di
liver saya bisa menyebar (metastase) ke mana-mana. Saya butuh melangkah
cepat.
Mulailah saya melihat ke istri, anak-anak, dan keponakan-keponakan.
Ternyata, tidak satu pun yang darah dan rhesus-nya sama dengan saya.
Beberapa teman dekat yang siap mendonorkan separo livernya juga tidak
ada yang cocok darahnya. Tapi, jalan tidak buntu. Tanpa kami cari,
seseorang dari Jakarta menghubungi kami. Memberitahukan perihal seorang
anak muda dari Bandung yang mau secara sukarela mendonorkan livernya.
Darah maupun rhesus-nya cocok sekali dengan saya. Umurnya masih 32
tahun. Badannya yang tinggi tegap sangat sehat.
Anak muda itu mengatakan tidak menginginkan apa pun kecuali
menyelamatkan nyawa saya. Apakah harus dengan mempertaruhkan nyawanya
sendiri? Dia bilang, dia sudah menghitung risikonya. Mengapa dia begitu
berani? Karena, dia bilang, dia ingin menebus penyesalannya yang tak
sempat menyelamatkan bapaknya yang keburu meninggal sebelum tranplantasi
dilakukan.
Tim kami segera ke Bandung melihat keadaan rumah tangganya. Semula
kami memperkirakan harus membantu kehidupannya. Ternyata, dia cukup
berada. Rumahnya baru, tidak kecil, di kompleks perumahan yang cukup
mewah. Mobilnya juga masih gres dari merek yang tidak murah.
Handphone-nya pun Communicator seri terbaru. Anak keduanya baru bisa
berjalan. Sikap istrinya, di luar dugaan: Sangat mendukung keputusan
suaminya.
Kami pun makin percaya bahwa tidak ada motif komersial di balik
niatnya yang mulia itu. Tapi, saya sendiri juga masih berpikir, haruskah
sampai mengorbankan nyawa orang lain? Tidakkah lebih baik saya menunggu
dengan risiko tidak keburu sekali pun? Bukankah membuat keputusan
melakukan transplantasi saja sudah tersirat tekad untuk mungkin mati?
Saya benar-benar sudah siap kalau harus mati. Saya punya filsafat
tersendiri dalam menyikapi umur. Yakni, filsafat “intensifikasi umur”.
Umur pendek tidak apa-apa asal penggunaannya sangat intensif. Sikap ini
muncul, barangkali karena saya melihat kok ibu saya, kakak saya,
paman-paman saya berumur pendek. Saya kurang melihat bahwa bapak saya
dan kakak sulung saya berumur panjang sekali.
Tim kami terus mendesak agar saya jangan berpikir bahwa saya akan
mengorbankan orang lain. Terutama Robert Lai. “Dia tidak akan jadi
korban. Dia juga akan memiliki kembali livernya secara utuh,” kata
Robert. Saya masih keberatan, tapi diam-diam tim kami terus menyiapkan
saudara dari Bandung itu untuk siap berangkat ke Tiongkok. Dia juga
menyatakan sudah siap kapan pun harus berangkat.
Bersamaan dengan persiapan pemberangkatan saudara dari Bandung
itulah, ada kabar bahwa saya mendapatkan donor. Transplantasi pun
dilakukan dengan cara membuang sama sekali hati saya yang lama dan
menggantinya dengan hati baru made in 1985-an secara utuh. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment