Waktunya Tiba, ketika Menggigit Pisang Berlumur Darah
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (19)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SETUJUKAH dokter Singapura dengan pendapat Prof Shao dari Tianjin, Tiongkok, tentang rencana pemotongan limpa saya?
“Kalau tujuannya untuk menaikkan platelet, memang OK,” katanya. Dia
juga setuju kalau sampai platelet turun terus, ketahanan tubuh saya kian
habis dan saya akan mengalami perdarahan dari setiap lubang yang saya
miliki. Ini juga sama dengan penjelasan Prof Shao. Waktu itu saya juga
tanya ke Prof Shao: Pada angka berapa perdarahan itu akan terjadi?
Katakanlah platelet saya (yang seharusnya minimal 150) sekarang tinggal
60. Dan masih akan turun terus.
“Setiap orang tidak sama,” jawab dr Shao. “Ada yang pada angka 60
seperti Anda sekarang sudah perdarahan,” tambahnya. “Tapi, ada juga yang
baru perdarahan ketika platelet-nya sudah 50,” katanya lagi. Kapan
platelet saya akan turun sampai angka 50? Berapa minggu lagi? “Tidak
bisa diperkirakan begitu. Bisa saja tiba-tiba drop jadi 50 atau bahkan
di bawahnya,” katanya. “Perhatikan saja lubang hidung Anda. Atau
telinga. Atau kalau sedang sikat gigi,” tambahnya.
Meski setuju platelet saya harus dinaikkan, dokter Singapura ternyata
tidak setuju kalau itu dilakukan dengan cara memotong limpa. “Dibuang
saja sekalian,” ujarnya. Uh! Dalam istilah medis, pembuangan limpa itu
disebut dengan splenectomy.
Mendengar kata “limpa dipotong” saja, saya sudah tidak senang. Ini
malah disuruh membuang. “Tidak apa-apa. Orang bisa hidup tanpa limpa,”
tambah dokter di Singapura itu. Memang, orang bisa hidup tanpa limpa.
Tetapi, kan lantas tidak terlalu tahan terhadap infeksi. Makanya saya
tanya ke dokter di Singapura itu. Fungsi limpanya bagaimana? “Diganti
obat,” jawabnya.
Pemotongan limpa, menurut dokter Singapura itu, sangat berbahaya.
Bisa timbul infeksi di tiga tempat yang akan mengakibatkan kematian.
Yakni, infeksi di selaput dada, infeksi di tempat limpa dipotong.
“Singapura sudah lama tidak mau lagi memotong limpa. Sudah lebih 15
tahun,” katanya. “Membuang limpa sama sekali malah lebih safe,”
tambahnya.
Penjelasannya, meski singkat, sangat masuk akal. Saya bisa menerima
sepenuhnya. Tapi, saya juga berpikir: Masak Prof Shao tidak tahu itu.
Tidak mungkin, rasanya. Maka saya tidak begitu saja mengambil keputusan
membuang limpa. Nanti, dalam kesempatan saya ke Tiongkok lagi, saya akan
menemui Prof Shao untuk ’menguji’-nya. Itu, tentu, kalau masih sempat.
***
Saya memang harus ke Tiongkok lagi. Ada beberapa urusan. Urusan Jawa
Pos sendiri, urusan pabrik steel conveyor belt-nya perusahaan daerah
Jatim, urusan perusahaan daerah Kaltim, dan urusan menepati janji. Saya
sudah berjanji kepada Dirjen minyak dan gas yang baru untuk mengajaknya
ke Tiongkok. Untuk melihat bagaimana negara itu bekerja keras mencukupi
kebutuhan minyak.
Sudah lama saya gemas, mengapa Indonesia sebagai negara penghasil
minyak justru menderita ketika harga minyak dunia membubung? Sampai
harus menaikkan harga BBM yang menghebohkan itu? Mengapa tidak justru
menikmatinya? Ini semua karena produksi minyak Indonesia terus menurun
dari tahun ke tahun. Terakhir, pada 2005, sudah berada di bawah satu
juta barel per hari. Sudah sangat tidak layak menjadi anggota OPEC.
Kebetulan Dirjen Migas yang baru juga berambisi mengatasi hal itu.
Saya ingin membantunya meski saya hanyalah rakyat biasa. Saya sering ke
ladang minyak di Tiongkok. Saya melihat betapa semangatnya orang di
Daqing (Provinsi Heilongjiang) dan di Panjin (Provinsi Liaoning)
menggali minyak. Padahal, sumur-sumur minyak di sana lebih dalam dan
iklimnya juga lebih beku. Minyak yang didapat pun lebih jelek dibanding
minyak mentah Indonesia. Tapi, semangat untuk menggalinya luar biasa.
Dengan alat-alat yang lebih sederhana mereka bisa menghasilkan minyak
lebih banyak.
Hari itu kebetulan Dirjen Migas punya acara di Shanghai. Maka, saya
ingin mengajaknya mampir ke Liaoning dan Heilongjiang. Saya janjian
bertemu di Kota Dalian. Di bandara kota itu pukul 24.00, yakni saat
pesawatnya mendarat dari Shanghai.
Paginya saya masih di kota Tianjin, untuk bertemu Prof Shao. Kepada
ahli penyakit liver ini langsung saja saya semprotkan pertanyaan
berdasar pendapat dokter di Singapura. “Di Singapura dokter tidak mau
lagi memotong limpa. Di sana cara itu sudah dianggap kuno,” kata saya.
“Siapa bilang itu kuno?” sergahnya. Suaranya meninggi. “Justru membuang
limpa itu yang kuno sekali. Itu cara 60 tahun yang lalu,” katanya.
Ketika saya tanya soal risiko infeksi di tiga tempat yang sangat
membahayakan, dia tidak mengelak. “Tentu saya tahu. Tapi, juga tahu cara
menghindarinya,”’ katanya. Jawabannya tegas, mantap, dan percaya diri.
Tinggal saya yang harus memilih lebih percaya kepada yang mana.
Dua-duanya masuk akal. Dua-duanya bisa diterima secara medis. Ini soal
pilihan. Giliran saya sendiri yang harus memutuskan.
Segera saya gunakan ilmu mantiq saya: sudah berapa kali Prof Shao
melakukan pemotongan limpa? “Sudah banyak kali,” katanya. “Banyak itu
berapa? Berapa puluh?” tanya saya lagi. “Sudah lebih dari 500,” jawabnya
mantap. Ya, sudah. Saya pilih dipotong saja. Biar berkurang, tapi masih
ada sisanya. Saya ingat usul-fikh ahli sunnah wal jamaah: Sesuatu yang
tidak bisa dipakai semua, jangan dibuang semua.
Maka saya pun memutuskan akan titip nasib ke Prof Shao. Tapi, sore
itu saya harus ke Dalian, karena tengah malam nanti harus menjemput
Dirjen Migas di bandara kota itu. Penerbangan dari Tianjin ke Dalian
memakan waktu satu jam. “Saya minta izin ke Dalian dulu. Rumah besar
saya, Indonesia, akan terbakar,” gurau saya kepada Prof Shao. Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Menarik panjang napasnya.
Tiba di Dalian sudah agak malam. Sudah waktunya makan malam. Saat
makan malam itulah saya kaget. Ketika saya menggigit pisang, sisa pisang
itu berlumur darah! “This is the time! Wo de shi jian dao le. Tibalah
sudah waktu saya,” kata saya dalam hati. Saya menundukkan kepala sesaat.
Memikirkan apa yang harus saya perbuat.
Saya lari ke toilet. Berkumur. Merah airnya. Berkumur lagi dan
berkumur lagi. Ah, hilang merahnya. Satu jam kemudian saya berkumur
lagi, tidak ada darahnya.
Saya pun bertekad tetap memenuhi komitmen saya. Saat menyalami
kedatangan Dirjen Migas, saya tidak menceritakan apa yang terjadi atas
diri saya. Saya terus tersenyum dan memberinya semangat untuk terus
membangun dunia minyak. Saya tahu tekadnya kuat sekali untuk memperbaiki
perminyakan Indonesia, dan karena itu saya antusias membantunya.
Pagi-pagi kami bermobil sejauh 400 km ke Panjin. Sorenya bermobil
lagi ke kota Shenyang. Malamnya terbang ke kota Harbin. Pagi-pagi
bermobil 500 kilometer ke kota Daqing. Dirjen serius sekali melihat
semua itu. “Mereka ini benar-benar seperti koret-koret (mengais
sisa-sisa) minyak,” katanya. Malam hari balik lagi ke Harbin. Pagi-pagi
Dirjen kembali ke Beijing untuk balik ke Indonesia. Saya terbang ke
Tianjin untuk pemotongan limpa saya.
“Lakukan sekarang!” kata saya begitu bertemu Prof Shao.
“Apa?” tanyanya.
“Potong saja limpa saya,” kata saya.
“Mengapa?” tanyanya lagi, kali ini seperti tidak percaya. Juga gondoknya kepada saya meningkat. Dia sudah sering mengancam untuk tidak mau lagi mengurus saya. “Wo bu guan ni,” katanya.
Tapi, saya tahu dia baik. Ujung-ujungnya luluh juga hatinya.
“Tidak bisa sekarang. Harus ada persetujuan istri Anda,” katanya.
“Saya bisa usahakan sekarang,” tegas saya.
“Apa?” tanyanya.
“Potong saja limpa saya,” kata saya.
“Mengapa?” tanyanya lagi, kali ini seperti tidak percaya. Juga gondoknya kepada saya meningkat. Dia sudah sering mengancam untuk tidak mau lagi mengurus saya. “Wo bu guan ni,” katanya.
Tapi, saya tahu dia baik. Ujung-ujungnya luluh juga hatinya.
“Tidak bisa sekarang. Harus ada persetujuan istri Anda,” katanya.
“Saya bisa usahakan sekarang,” tegas saya.
Saya lantas menelepon istri saya. “Kalau nanti ada teman Jawa Pos
membawa formulir ke rumah, tanda tangani saja. Formulirnya dalam bahasa
Mandarin, kita nggak tahu maksudnya,” kata saya. Istri saya tidak
bertanya banyak. “Saya akan operasi kecil,” kata saya tidak ingin
menggundahkan hatinya.
Saya memang sudah beberapa kali operasi kecil. Yakni, untuk
mengeluarkan benjolan yang ada di bawah kulit di beberapa bagian di
tubuh saya. Saya langsung minta formulir persetujuan operasi dan
memfaksimilikan ke Surabaya. Setelah ditandatangani istri saya, dikirim
balik ke Tianjin.
“Ini persetujuan istri saya,” kata saya.
“Ini apa?” tanyanya melihat tanda tangan istri saya yang tidak lazim untuk mata orang Tiongkok.
“Itu tanda tangan istri saya. Bentuknya tidak penting. Tapi, doa di balik tekenan itu yang penting,” kata saya ingin setengah memuji istri saya, setengah melucu.
Ternyata Prof Shao tidak tersenyum. Saya lupa kalau dia komunis, yang tidak tahu apa itu doa.
Dengan datangnya persetujuan istri saya, saya mengira operasi
pemotongan limpa bisa dilakukan hari itu, atau besoknya. Ternyata harus
tiga hari kemudian. Mengapa? Karena ruang operasinya baru saja dirombak.
Hari itu baru selesai. Dan, saya tidak boleh menjadi pasien pertama
yang menggunakannya. Jadi, tidak bisa tanggal 6 Oktober 2006. Harus 8
Oktober.
Padahal, saya ingin operasi itu dilakukan pada 6 Oktober. Lalu,
sebagaimana dijelaskan Prof Shao, sebulan kemudian saya sudah akan bisa
keluar dari rumah sakit. Setelah operasi, 8 jam saya tidak boleh
bergerak. Lalu seminggu tidak boleh turun dari tempat tidur. Tiga minggu
berikutnya harus tetap di rumah sakit.
Saya ingin operasi itu dilakukan tanggal 6 karena pada tanggal 7
bulan berikutnya ada acara penting di Indonesia: menandatangani
persetujuan proyek PLTU Kaltim dan peresmian gedung Expo Jatim. Maksud
saya, tanggal 5 sebulan kemudian saya sudah bisa keluar dari rumah
sakit. Langsung ke bandara untuk pulang ke Surabaya. Tanggal 7 sudah
menandatangani perjanjian PLTU Kaltim dengan konsorsium bank dan
meresmikan gedung Expo Jatim. Saya tidak pernah membayangkan operasi
pemotongan limpa ini akan gagal.
Namun, dengan mundurnya tanggal operasi, waktu recovery saya tidak
cukup. Itulah sebabnya, saat upacara tersebut saya terlihat pucat.
Keringat dingin memang memenuhi badan saya. Hari itu, ketika saya di
panggung, seharusnya masih di atas tempat tidur di rumah sakit di
Tianjin. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment