Thursday, September 13, 2007

Waktunya Tiba, ketika Menggigit Pisang Berlumur Darah

September 13, 2007
Waktunya Tiba, ketika Menggigit Pisang Berlumur Darah
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (19)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

SETUJUKAH dokter Singapura dengan pendapat Prof Shao dari Tianjin, Tiongkok, tentang rencana pemotongan limpa saya?

“Kalau tujuannya untuk menaikkan platelet, memang OK,” katanya. Dia juga setuju kalau sampai platelet turun terus, ketahanan tubuh saya kian habis dan saya akan mengalami perdarahan dari setiap lubang yang saya miliki. Ini juga sama dengan penjelasan Prof Shao. Waktu itu saya juga tanya ke Prof Shao: Pada angka berapa perdarahan itu akan terjadi? Katakanlah platelet saya (yang seharusnya minimal 150) sekarang tinggal 60. Dan masih akan turun terus.

“Setiap orang tidak sama,” jawab dr Shao. “Ada yang pada angka 60 seperti Anda sekarang sudah perdarahan,” tambahnya. “Tapi, ada juga yang baru perdarahan ketika platelet-nya sudah 50,” katanya lagi. Kapan platelet saya akan turun sampai angka 50? Berapa minggu lagi? “Tidak bisa diperkirakan begitu. Bisa saja tiba-tiba drop jadi 50 atau bahkan di bawahnya,” katanya. “Perhatikan saja lubang hidung Anda. Atau telinga. Atau kalau sedang sikat gigi,” tambahnya.

Meski setuju platelet saya harus dinaikkan, dokter Singapura ternyata tidak setuju kalau itu dilakukan dengan cara memotong limpa. “Dibuang saja sekalian,” ujarnya. Uh! Dalam istilah medis, pembuangan limpa itu disebut dengan splenectomy.

Mendengar kata “limpa dipotong” saja, saya sudah tidak senang. Ini malah disuruh membuang. “Tidak apa-apa. Orang bisa hidup tanpa limpa,” tambah dokter di Singapura itu. Memang, orang bisa hidup tanpa limpa. Tetapi, kan lantas tidak terlalu tahan terhadap infeksi. Makanya saya tanya ke dokter di Singapura itu. Fungsi limpanya bagaimana? “Diganti obat,” jawabnya.

Pemotongan limpa, menurut dokter Singapura itu, sangat berbahaya. Bisa timbul infeksi di tiga tempat yang akan mengakibatkan kematian. Yakni, infeksi di selaput dada, infeksi di tempat limpa dipotong. “Singapura sudah lama tidak mau lagi memotong limpa. Sudah lebih 15 tahun,” katanya. “Membuang limpa sama sekali malah lebih safe,” tambahnya.

Penjelasannya, meski singkat, sangat masuk akal. Saya bisa menerima sepenuhnya. Tapi, saya juga berpikir: Masak Prof Shao tidak tahu itu. Tidak mungkin, rasanya. Maka saya tidak begitu saja mengambil keputusan membuang limpa. Nanti, dalam kesempatan saya ke Tiongkok lagi, saya akan menemui Prof Shao untuk ’menguji’-nya. Itu, tentu, kalau masih sempat.

***

Saya memang harus ke Tiongkok lagi. Ada beberapa urusan. Urusan Jawa Pos sendiri, urusan pabrik steel conveyor belt-nya perusahaan daerah Jatim, urusan perusahaan daerah Kaltim, dan urusan menepati janji. Saya sudah berjanji kepada Dirjen minyak dan gas yang baru untuk mengajaknya ke Tiongkok. Untuk melihat bagaimana negara itu bekerja keras mencukupi kebutuhan minyak.

Sudah lama saya gemas, mengapa Indonesia sebagai negara penghasil minyak justru menderita ketika harga minyak dunia membubung? Sampai harus menaikkan harga BBM yang menghebohkan itu? Mengapa tidak justru menikmatinya? Ini semua karena produksi minyak Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Terakhir, pada 2005, sudah berada di bawah satu juta barel per hari. Sudah sangat tidak layak menjadi anggota OPEC.

Kebetulan Dirjen Migas yang baru juga berambisi mengatasi hal itu. Saya ingin membantunya meski saya hanyalah rakyat biasa. Saya sering ke ladang minyak di Tiongkok. Saya melihat betapa semangatnya orang di Daqing (Provinsi Heilongjiang) dan di Panjin (Provinsi Liaoning) menggali minyak. Padahal, sumur-sumur minyak di sana lebih dalam dan iklimnya juga lebih beku. Minyak yang didapat pun lebih jelek dibanding minyak mentah Indonesia. Tapi, semangat untuk menggalinya luar biasa. Dengan alat-alat yang lebih sederhana mereka bisa menghasilkan minyak lebih banyak.

Hari itu kebetulan Dirjen Migas punya acara di Shanghai. Maka, saya ingin mengajaknya mampir ke Liaoning dan Heilongjiang. Saya janjian bertemu di Kota Dalian. Di bandara kota itu pukul 24.00, yakni saat pesawatnya mendarat dari Shanghai.

Paginya saya masih di kota Tianjin, untuk bertemu Prof Shao. Kepada ahli penyakit liver ini langsung saja saya semprotkan pertanyaan berdasar pendapat dokter di Singapura. “Di Singapura dokter tidak mau lagi memotong limpa. Di sana cara itu sudah dianggap kuno,” kata saya. “Siapa bilang itu kuno?” sergahnya. Suaranya meninggi. “Justru membuang limpa itu yang kuno sekali. Itu cara 60 tahun yang lalu,” katanya.

Ketika saya tanya soal risiko infeksi di tiga tempat yang sangat membahayakan, dia tidak mengelak. “Tentu saya tahu. Tapi, juga tahu cara menghindarinya,”’ katanya. Jawabannya tegas, mantap, dan percaya diri. Tinggal saya yang harus memilih lebih percaya kepada yang mana. Dua-duanya masuk akal. Dua-duanya bisa diterima secara medis. Ini soal pilihan. Giliran saya sendiri yang harus memutuskan.

Segera saya gunakan ilmu mantiq saya: sudah berapa kali Prof Shao melakukan pemotongan limpa? “Sudah banyak kali,” katanya. “Banyak itu berapa? Berapa puluh?” tanya saya lagi. “Sudah lebih dari 500,” jawabnya mantap. Ya, sudah. Saya pilih dipotong saja. Biar berkurang, tapi masih ada sisanya. Saya ingat usul-fikh ahli sunnah wal jamaah: Sesuatu yang tidak bisa dipakai semua, jangan dibuang semua.

Maka saya pun memutuskan akan titip nasib ke Prof Shao. Tapi, sore itu saya harus ke Dalian, karena tengah malam nanti harus menjemput Dirjen Migas di bandara kota itu. Penerbangan dari Tianjin ke Dalian memakan waktu satu jam. “Saya minta izin ke Dalian dulu. Rumah besar saya, Indonesia, akan terbakar,” gurau saya kepada Prof Shao. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menarik panjang napasnya.

Tiba di Dalian sudah agak malam. Sudah waktunya makan malam. Saat makan malam itulah saya kaget. Ketika saya menggigit pisang, sisa pisang itu berlumur darah! “This is the time! Wo de shi jian dao le. Tibalah sudah waktu saya,” kata saya dalam hati. Saya menundukkan kepala sesaat. Memikirkan apa yang harus saya perbuat.

Saya lari ke toilet. Berkumur. Merah airnya. Berkumur lagi dan berkumur lagi. Ah, hilang merahnya. Satu jam kemudian saya berkumur lagi, tidak ada darahnya.

Saya pun bertekad tetap memenuhi komitmen saya. Saat menyalami kedatangan Dirjen Migas, saya tidak menceritakan apa yang terjadi atas diri saya. Saya terus tersenyum dan memberinya semangat untuk terus membangun dunia minyak. Saya tahu tekadnya kuat sekali untuk memperbaiki perminyakan Indonesia, dan karena itu saya antusias membantunya.

Pagi-pagi kami bermobil sejauh 400 km ke Panjin. Sorenya bermobil lagi ke kota Shenyang. Malamnya terbang ke kota Harbin. Pagi-pagi bermobil 500 kilometer ke kota Daqing. Dirjen serius sekali melihat semua itu. “Mereka ini benar-benar seperti koret-koret (mengais sisa-sisa) minyak,” katanya. Malam hari balik lagi ke Harbin. Pagi-pagi Dirjen kembali ke Beijing untuk balik ke Indonesia. Saya terbang ke Tianjin untuk pemotongan limpa saya.

“Lakukan sekarang!” kata saya begitu bertemu Prof Shao.
“Apa?” tanyanya.
“Potong saja limpa saya,” kata saya.
“Mengapa?” tanyanya lagi, kali ini seperti tidak percaya. Juga gondoknya kepada saya meningkat. Dia sudah sering mengancam untuk tidak mau lagi mengurus saya. “Wo bu guan ni,” katanya.
Tapi, saya tahu dia baik. Ujung-ujungnya luluh juga hatinya.
“Tidak bisa sekarang. Harus ada persetujuan istri Anda,” katanya.
“Saya bisa usahakan sekarang,” tegas saya.

Saya lantas menelepon istri saya. “Kalau nanti ada teman Jawa Pos membawa formulir ke rumah, tanda tangani saja. Formulirnya dalam bahasa Mandarin, kita nggak tahu maksudnya,” kata saya. Istri saya tidak bertanya banyak. “Saya akan operasi kecil,” kata saya tidak ingin menggundahkan hatinya.

Saya memang sudah beberapa kali operasi kecil. Yakni, untuk mengeluarkan benjolan yang ada di bawah kulit di beberapa bagian di tubuh saya. Saya langsung minta formulir persetujuan operasi dan memfaksimilikan ke Surabaya. Setelah ditandatangani istri saya, dikirim balik ke Tianjin.
“Ini persetujuan istri saya,” kata saya.

“Ini apa?” tanyanya melihat tanda tangan istri saya yang tidak lazim untuk mata orang Tiongkok.
“Itu tanda tangan istri saya. Bentuknya tidak penting. Tapi, doa di balik tekenan itu yang penting,” kata saya ingin setengah memuji istri saya, setengah melucu.
Ternyata Prof Shao tidak tersenyum. Saya lupa kalau dia komunis, yang tidak tahu apa itu doa.

Dengan datangnya persetujuan istri saya, saya mengira operasi pemotongan limpa bisa dilakukan hari itu, atau besoknya. Ternyata harus tiga hari kemudian. Mengapa? Karena ruang operasinya baru saja dirombak. Hari itu baru selesai. Dan, saya tidak boleh menjadi pasien pertama yang menggunakannya. Jadi, tidak bisa tanggal 6 Oktober 2006. Harus 8 Oktober.

Padahal, saya ingin operasi itu dilakukan pada 6 Oktober. Lalu, sebagaimana dijelaskan Prof Shao, sebulan kemudian saya sudah akan bisa keluar dari rumah sakit. Setelah operasi, 8 jam saya tidak boleh bergerak. Lalu seminggu tidak boleh turun dari tempat tidur. Tiga minggu berikutnya harus tetap di rumah sakit.

Saya ingin operasi itu dilakukan tanggal 6 karena pada tanggal 7 bulan berikutnya ada acara penting di Indonesia: menandatangani persetujuan proyek PLTU Kaltim dan peresmian gedung Expo Jatim. Maksud saya, tanggal 5 sebulan kemudian saya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Langsung ke bandara untuk pulang ke Surabaya. Tanggal 7 sudah menandatangani perjanjian PLTU Kaltim dengan konsorsium bank dan meresmikan gedung Expo Jatim. Saya tidak pernah membayangkan operasi pemotongan limpa ini akan gagal.

Namun, dengan mundurnya tanggal operasi, waktu recovery saya tidak cukup. Itulah sebabnya, saat upacara tersebut saya terlihat pucat. Keringat dingin memang memenuhi badan saya. Hari itu, ketika saya di panggung, seharusnya masih di atas tempat tidur di rumah sakit di Tianjin. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment