Kini Ada Simbol Mercy di Perut Saya (Sebuah Penutup)
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (32-Habis)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
ADA kesan yang mendalam bahwa sakit saya yang parah kemarin-kemarin
itu karena saya kerja terlalu keras. Seorang ibu sampai menasihati
anaknya begini: Jangan kerja terus seperti itu. Nanti seperti Pak Dahlan
Iskan!
Setelah menerima SMS dari Saudara Socrates, teman di Batam yang lahir
di Padang itu, saya jadi merasa bersalah. Ternyata, saya kurang pandai
menjelaskan bahwa sakit saya ini bukan karena kerja keras, tapi karena
saya terkena virus hepatitis B. Memang, setelah virus itu berkembang
menjadi sirosis dan kemudian kanker, sebaiknya tidak kerja keras lagi.
Tapi, itu bukan berarti akan menyembuhkan sakitnya, melainkan
memperlambat saja perkembangannya.
Tentu memperlambat juga amat baik. Hanya, saya tidak memilih itu
karena saya punya filsafat sendiri dalam menyikapi umur manusia. Saya
memilih berumur pendek tapi bermanfaat, daripada umur panjang tapi tidak
bisa berbuat banyak. Jalan pikiran saya itu biasanya saya ungkapkan ke
teman-teman dengan istilah: intensifikasi umur.
Tentu kalau masih ada pilihan lain, saya akan memilih yang terbaik. Misalnya, ya berumur panjang, ya bermanfaat.
Tentu, saya akan merasa sangat berdosa kalau gara-gara tulisan saya
ini banyak orang takut bekerja keras. Bangsa ini memerlukan puluhan juta
orang yang gigih.
Kalau saya akan dijadikan contoh jelek, jangan dikaitkan dengan kerja
keras, melainkan kaitkan saja dengan kecerobohan. Misalnya, jangan
sampai terkena virus hepatitis seperti Pak Dahlan Iskan!
***
Kesan yang lain dari serial tulisan saya ini adalah bahwa rumah
sakit-rumah sakit di Tiongkok hebat. Sampai-sampai beberapa dokter
menghubungi saya bagaimana kalau mereka studi banding ke Tiongkok untuk
belajar manajemennya.
Kepada para dokter itu, saya bilang bahwa ide tersebut kurang tepat.
Belajar manajemen dan pelayanan rumah sakit jangan ke Tiongkok.
Manajemen dan pelayanan rumah sakit-rumah sakit kita, secara umum, lebih
baik. Terutama yang swasta. Memang, belakangan ini semakin banyak rumah
sakit di Tiongkok yang lebih modern, tapi masih belum mencapai tingkat
kecanggihan seperti di Singapura, bahkan di Malaysia sekalipun. Masih
perlu satu kurun lagi untuk mencapai tahap itu. Ini karena, meski secara
fisik dan peralatan sudah amat modern, carry over problems masih
terbawa. Kebiasaan lama orang-orangnya tidak bisa begitu saja berubah.
Saya sendiri sering berdebat dengan petugas kebersihan toilet di
Graha Pena Jawa Pos Surabaya mengenai pertanyaan ini: sudah bersihkah
toilet ini? Saya menilai belum. Tapi, petugas menilai “sudah amat
bersih”. Saya bisa memahami itu karena toilet ini mungkin sudah lebih
bersih daripada kamar tidur di rumahnya sekalipun.
Saya tidak bisa marah karena tahu berapa gajinya dan bagaimana latar
belakang ekonominya. Biasanya, saya hanya memberikan contoh dengan cara
mengelap sendiri bagian-bagian yang kurang bersih itu di depan dia.
Lama-lama standar kebersihannya berubah. Tapi, memang perlu waktu dan
kesabaran.
Kalau toh mau belajar ke Tiongkok adalah mengenai keseriusan riset
dan semangat untuk majunya. Karena mereka sangat unggul di situ, saya
yakin tidak lama lagi rumah sakit di Tiongkok akan mencapai tahap
seperti Singapura, lebih cepat daripada waktu yang kita perlukan.
Kecepatan itu akan fantastis kalau saja Tiongkok mengizinkan
berdirinya rumah sakit swasta. Sampai sekarang, semua rumah sakit masih
milik pemerintah. Rumah sakit juga menjadi sentral semua urusan
kesehatan karena tidak boleh ada dokter praktik di sana. Semua dokter
fokus bekerja di rumah sakit.
***
Berapakah biaya yang saya keluarkan untuk mereparasi organ-organ saya
itu? Kalau di penutup tulisan ini saya memberikan isyarat jumlahnya,
itu sudah meliputi semua pengeluaran. Biaya operasinya sendiri tidak
besar untuk ukuran saya. Mungkin seharga rumah tipe 100 di lokasi yang
sedang.
Seandainya saya hanya punya rumah seperti itu pun, saya akan jual
kalau harus melakukan transplantasi ini. Itu juga yang dilakukan bapak
saya ketika ibu sakit: Menjual apa pun, termasuk alat-alat tukang
kayunya, dan satu-satunya. Kalau waktu itu tidak menjual rumah, itu
karena tidak akan ada orang yang mau membeli rumah lantai tanah di
pelosok desa.
Dari seluruh pengeluaran, yang terbanyak adalah untuk pendukungnya.
Misalnya, transportasi lokal, akomodasi, dan konsumsi saya sekeluarga,
wira-wiri saya sekeluarga dari Indonesia ke Tiongkok, dan sebagainya.
Biaya itu juga sudah termasuk pengobatan sejak terjadinya muntah darah
pada 2005.
Jadi, biaya terbesar sebenarnya bisa ditekan sesuai dengan kemampuan.
Misalnya, membatasi keluarga yang harus wira-wiri. Di Tiongkok juga
jangan tinggal di hotel, tapi cari apartemen murah saja. Itu pun sewa
saja. Misalnya, sewa enam bulan (tidak bisa sewa kurang dari enam
bulan).
Transportasi yang bagaimana juga memengaruhi besarnya biaya. Naik
kendaraan umum? Taksi? Beli mobil sendiri? (Kebetulan saya beli mobil
kelas Toyota Corolla dan itu berarti juga harus punya sopir). Makan
dengan masak sendiri atau setiap makan ke restoran? Dan banyak lagi.
Satu orang dan yang lain tidak akan sama. Kalau semua biaya itu ditotal,
untuk kasus saya ini, biaya operasinya sendiri tidak sampai 20
persennya.
***
Semua itu tidak ada artinya dibanding nilai kesehatan yang saya
peroleh. Tapi, juga sekaligus menyadarkan betapa mahalnya sehat itu.
Imunisasi yang sekali suntik Rp 70.000 memang mahal. Tapi, apa artinya
dibanding yang harus saya keluarkan ini?
Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium Prodia: Waktu muda
mati-matian bekerja sampai mengorbankan kesehatan untuk memperoleh
kekayaan. Waktu tua menghabiskan kekayaan itu untuk membeli kembali
kesehatannya -dan banyak yang gagal.
Kebetulan, saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak
semata-mata untuk mencari kekayaan. Di dunia ini banyak orang yang kerja
keras tanpa bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya ya
kerja keras itu. Seperti Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya.
Mainannya ya mengurus sepak bola itu.
Juga banyak sekali orang kerja keras yang karena didorong niat mulia -dan kekayaan hanya datang membuntutinya.
***
Kini saya tidak hanya hidup baru dengan liver baru, tapi juga dengan
tanda baru di kulit perut saya. Yakni, tanda mirip simbol mobil Mercy
(Mercedes Benz), bekas sayatan dari tiga arah yang menyatu di tengah.
Boleh juga dibilang sayatan dari satu titik di tengah ke tiga arah.
Tapi, simbol Mercy di kulit perut saya itu tidak sempurna. Seperti
simbol Mercy yang digambar oleh anak berumur tiga tahun. Jelek tapi
tetap terlihat Mercy-nya. Jelek wujudnya, tetap mahal citranya.
Kini saya punya dua Mercy. Yang satu, yang di rumah, adalah Mercy
seri 500 keluaran 2005 yang dibeli dengan harga sekitar Rp 3 miliar.
Satunya lagi “Mercy” di kulit perut saya. Jelek, tidak tahu seri berapa,
tapi kira-kira sama harganya. (TAMAT)
Tulisan bersambung Pengalaman Pribadi Dahlan Iskan Ganti Liver
berakhir hari ini pada seri ke-32. Mulai besok disambung dengan Hati
Baru Menjawab. Dahlan Iskan akan menjawab e-mail dan SMS dari pembaca.
No comments:
Post a Comment