Prihatin atas Keprihatinan terhadap Wajah Hitam Saya
Pengalaman Pribadi menjalani Transplantasi Liver (25)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
“SAYA nanti juga akan meninggal dengan wajah hitam,” kata saya kepada
istri saya. Saya ingin menyiapkan mental istri saya bagaimana harus
menahan rasa malu. Terutama di mata keluarga dan teman-teman
pengajiannya. Istri saya memang aktif di perkumpulan Pengajian Wanita
Surabaya (Pengawas), satu perkumpulan yang amat besar dan aktif. “Saya
nanti akan seperti Cak Nur,” tambah saya.
Itu saya lakukan karena istri saya juga mendengar omongan orang
tentang Cak Nur. Dia juga mendengar ada khatib di sembahyang Jumat yang
mengatakan Tuhan murka pada Cak Nur (Nurcholish Madjid, tokoh pembaruan
pemikiran Islam). Buktinya, ketika meninggal, wajahnya menghitam.
Istri saya memang sudah beberapa lama kelihatan prihatin melihat
perubahan di wajah saya. Saya prihatin atas keprihatinannya itu. Maka,
saya perlukan bicara soal mengapa wajah saya menghitam dan mengapa ada
orang menilai Cak Nur seperti itu.
Saya jelaskan sebisa-bisa saya bahwa “wajah hitam” Cak Nur sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan kemurkaan Tuhan. Tuhan itu tidak punya
hobi murka seperti khatib yang mengecam Cak Nur itu. Tuhan itu Maha
Pengasih dan Penyayang. Sampai di sini saya sadar bahwa istri saya sudah
sangat sering mendengar khotbah sehingga saya tidak perlu menambahinya.
Apalagi khotbah saya kurang meyakinkan. Saya memilih menjelaskannya
secara ilmiah saja.
Mengapa wajah Cak Nur, juga wajah saya, menghitam? Ya, begitulah
memang salah satu perubahan fisik yang dihasilkan oleh liver yang
terkena sirosis. Ini berlaku pada siapa saja. Yang Islam, yang Kristen,
yang Buddha, yang Hindu, yang Kejawen, yang komunis, dan yang tidak
punya aliran apa pun -free thinker.
Wajah hitam adalah tanda-tanda perubahan fisik dari sirosis yang
parah. Karena itu, kalau Anda sakit liver, minta saja meninggal sebelum
sirosis parah. Terutama kalau Anda ingin meninggal dengan wajah yang
tidak hitam. Terjadinya wajah hitam itu sama dengan akibat sirosis yang
lain: Kaki yang bengkak, payudara yang membesar, dan kemudian muntah
darah. Untung, tidak ada penilaian bahwa siapa yang meninggal dengan
payudara besar berarti dimurkai Tuhan.
Sebenarnya, masih banyak lagi tanda fisik lain. Yakni kulit
menguning, mata juga menjadi kekuning-kuningan, bibir pucat, dan telapak
tangan seperti tidak berdarah. Terutama kalau telapak tangan baru saja
digenggamkan. Begitu genggaman dibuka, darah seperti tidak segera
kembali memerahkan telapak tangan.
Bahwa ada khatib yang menilai wajah Cak Nur yang menghitam sebagai
tanda bahwa Tuhan tidak mau menerima rohnya, sebabnya mungkin si
pengkhotbah tidak sempat belajar ilmu yang lain -misalnya, karena
terlalu larisnya. Bahkan, sang khatib begitu sibuk berkhotbah, kadang
isi khotbahnya ya hanya yang diketahuinya itu saja. Diulang-ulang.
Seperti kaset lama yang diputar terus-menerus.
Pasti si pengkhotbah juga tidak pernah melihat wajah mayat Mao
Zedong. Setidaknya tidak pernah membaca tentang itu. Setidaknya lagi,
kalau toh pernah membaca, tidak sampai menjadikannya pertimbangan. Mao
adalah pendiri partai komunis Tiongkok yang tentu saja tidak mengakui
adanya Tuhan. Namun, bagaimana wujud wajah mayatnya? Saya pernah
melihatnya dua kali. Wajahnya putih, bersih, dan amat cerah. Bibirnya
menunjukkan senyum kecil seperti amat bahagia di akhir hayatnya. Mayat
itu sampai sekarang masih bisa dilihat di Beijing. Orang antre untuk
menyaksikannya.
Demikian juga di Kremlin, Moskow. Mayat Lenin, salah satu pendiri
komunisme sedunia, terlihat putih, bersih, dan manis sekali. Saya juga
pernah mengunjunginya. Apakah itu pertanda roh Lenin diterima dengan
senang oleh Tuhan? Lebih diterima daripada Nurcholish Madjid? Meski Cak
Nur tokoh Islam dan Lenin tidak mau mengakui adanya Tuhan? Bahkan
menjadi pelopornya? Wallahu a’lam.
Yang jelas, Lenin, dan juga Mao, tidak meninggal karena sirosis.
Saya sangat prihatin atas keprihatinan istri saya. Tapi, saya juga
prihatin memikirkan bagaimana umat di masa depan. Dengan pola berpikir
seperti itu, apakah umat akan bisa maju? Apakah tidak semakin
ketinggalan dan kemudian terpojok? Lalu, introvert dan mencari
kompensasi dalam bentuk ekstremitas?
Saya prihatin karena dengan pola pikir yang seperti itu, keseimbangan
antara dunia dan akhirat tidak memadai. Banyak memang orang yang
terlalu berat ke duniawi, tapi juga bukan berarti harus dibalas dengan
bersikap lebih berat ke ukhrowi. Semua harus seimbang: beribadah
sungguh-sungguh seperti besok akan mati saja, bekerja sungguh-sungguh
seperti akan hidup seribu tahun.
Kalau ukuran diterima Tuhan atau tidaknya seseorang dilihat dari
wajah mayatnya, betapa suramnya kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan.
Bagaimana kita bisa mengharapkan kemajuan dan kemodernan sebuah negeri
kalau penduduknya -terutama para pemimpin penduduk itu- berpikiran
demikian.
Dan lagi, ada satu kenyataan yang lebih pahit. Bukankah kini sudah
ditemukan cara membuat wajah orang yang meninggal kelihatan tersenyum?
Cerah dan bahagia? Lantas, apakah itu berarti ukuran diterima atau
tidaknya sebuah roh oleh Tuhan ditentukan oleh para ahli perias mayat?
Saya punya teman yang bisnisnya event organizer (EO). Tapi, EO khusus
untuk orang meninggal. Mulai penyediaan pakaiannya, membentuk tubuh dan
wajahnya, menyediakan peti matinya, angkutan ke kuburannya, sampai
mencarikan siapa yang akan jadi pengkhotbahnya. Dia begitu menghayati
bisnisnya itu sehingga akan terus mendalami ilmu di bidang itu.
Satu-satunya anaknya (perempuan) dia sekolahkan khusus bagaimana
memelihara mayat. Bagaimana membuat wajah orang meninggal menjadi lebih
ganteng dan cantik daripada ketika masih dalam hidupnya. Bahkan, ilmu
itu juga berkembang ke arah sebelum kliennya meninggal. Yakni bagaimana
menyiapkan agar bisa meninggal dengan wajah tersenyum.
Tapi, saya juga sadar bahwa istri saya mungkin tidak gampang menerima
penjelasan saya itu. Sebab, penjelasan seperti itu amat jarang
dilakukan orang. Tapi, setidaknya, dia bisa menutup sedikit rasa malu
karena suaminya meninggal dengan wajah menghitam. Bisa punya alasan
-yang meskipun mungkin juga dia ragukan kebenarannya. Ragu karena bukan
penjelasan seperti yang saya ucapkan tersebut tidak pernah didengarnya.
Yang sering diperdengarkan kepadanya adalah kaset lama yang diputar
tidak henti-hentinya itu. Dalam teori komunikasi, kebohongan pun kalau
terus-menerus dijejalkan akan jadi seperti kebenaran.
Padahal, kaset lama itu bukan juga kebohongan. Tapi, penafsiran.
Sebuah penafsiran yang sangat bisa memuaskan orang dari sisi emosinya.
Kebohongan saja bisa menang, apalagi bukan kebohongan. Berdasar teori
itu, satu penjelasan yang benar tidak akan bisa menang atas kebohongan
yang terus-menerus dikampanyekan.
Agama memang akan menghadapi tantangan yang hebat. Kini bukan hanya
Islam, tapi juga Kristen. Setelah abad informasi sekarang ini, akan ada
abad baru lagi. Dulu kita masih meraba-raba “abad apa gerangan yang akan
menggantikan abad informasi?”. Kita pernah mengalami berturut-turut,
“zaman batu”, “zaman besi”, “zaman cocok tanam”, “zaman industri”,
“zaman teknologi”, dan “zaman informasi”. Kini semakin jelas dunia akan
mengalir ke zaman apa. Saya kira, zaman baru yang akan kita masuki
adalah “zaman biologi”.
Di zaman itu kehidupan akan bisa direkayasa, diperbaiki, bahkan
diciptakan. Kehidupan tanaman, binatang, dan juga manusia. Tidak perlu
lagi transplantasi seperti saya, tapi liver (dan organ apa pun) bisa
direparasi dengan penemuan lebih lanjut dari pendalaman terhadap DNA
manusia. Dan, itu bukan lagi akan ditemukan, tapi sudah ditemukan.
Penemunya kini lagi merahasiakannya sampai pada akhirnya dia akan bisa
memproduksi sesuatu yang bisa dijual secara masal dan terjangkau. Agar
bisnis di bidang ini menjadi amat besar.
Operasi tidak perlu lagi. Transplantasi tidak dibutuhkan. Bahkan,
orang tidak perlu sakit. Sehat terus-menerus. Cukup membeli produk baru
itu nanti. Kini pun barang itu sudah bisa diproduksi sebenarnya. Tapi,
karena belum ditemukan kombinasi-kombinasinya, harganya bisa jadi masih
Rp 10 miliaran.
Dengan harga setinggi itu, meski saya pun akan membelinya, tapi hanya
berapa juta yang mampu beli? Bandingkan, kalau kelak, harganya tinggal
Rp 1 jutaan. Betapa besar bisnis itu. Ia akan mengalahkan bisnis obat
yang sudah amat raksasa itu. Bahkan akan mengalahkan bisnis minyak dan
gas. Mengapa? Penemuan lebih lanjut dari itu adalah lahirnya sumber
energi baru yang sama sekali tidak kita bayangkan.
Kalau kehidupan sudah bisa dibikin, bagaimana kita akan menafsirkan
ajaran agama? Orang boleh tidak percaya seperti juga zaman dulu tidak
percaya akan bentuk dunia yang bulat. Tapi, ini akan menjadi kenyataan.
“Akan” di situ tidak lama lagi. Kata “akan” mungkin kurang tepat. Yang
tepat “segera”.
Maka, apa yang ditulis Agus Mustofa di buku-bukunya, terutama
mengenai Kitab Kejadian, sungguh menarik dan akan cocok dengan zaman
baru itu nanti. Yakni jangan lagi kita membayangkan bahwa manusia
pertama dulu dibuat dari lempung, lalu lempung itu di-emek-emek,
dibentuk seperti boneka, kemudian Tuhan meniupkan roh ke ubun-ubunnya.
Penggambaran seperti itu, meski ternyata memang tidak ada di kitab
suci, amat melekat di setiap manusia. Juga melekat di pikiran saya. Saya
tidak pernah mempersoalkannya secara kritis. Bahkan tidak pernah
mengecek ulang apa bunyi ayat yang sebenarnya dari penggambaran seperti
itu.
Cerita itu sama melekatnya dengan istilah “memanjatkan doa” yang
sering kita lakukan sampai sekarang. Kita, terutama saya, tidak pernah
mempersoalkan apakah teknik menyampaikan doa seperti itu masih cocok
dengan abad informasi seperti sekarang. Mengapa di zaman komputer,
e-mail, dan SMS ini kita masih mengirim doa dengan menggunakan teknik
“memanjat”. Alangkah lambatnya doa itu akan sampai.
Tentu kata “memanjat” hanya simboliasi atau penyastraan. Dan lagi,
Tuhan toh tidak akan membedakan doa yang dikirim dengan cara
dipanjatkan, yang di-e-mail-kan, atau yang di-compress-kan seperti yang
dilakukan golongan tasawuf Shatariyah. Tapi, penggunaan term “panjat”
juga mencerminkan ketertinggalan kita dalam menggunakan teknologi yang
tersedia. Pak Nuh, mantan rektor ITS yang kini menteri informasi, bisa
malu. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment