Ingin Naikkan Albumin, Berburu Banyak Ikan Kutuk
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (22)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SETELAH hati mantap melakukan transplantasi, barulah saya menentukan
langkah. Ada tiga yang harus dipertimbangkan. Kehebatan dokter,
kesediaan donor, dan ketepatan rumah sakitnya. Dari situ baru kami
tentukan tempatnya. Tiga faktor itu saya sebut sebagai “persyaratan
mutlak”. Lalu masih ada sejumlah “persyaratan keinginan”. Misalnya,
kedekatan dengan Indonesia, kedekatan budaya, dan kedekatan bahasa.
Saya sudah terbiasa, dalam setiap akan mengambil keputusan,
menjalankan satu proses yang disebut problem solving. Satu proses untuk
melakukan pembobotan dan penilaian atas semua pilihan. Lalu mengalikan
bobot dan nilai. Hasil perkalian tertinggi, itulah pilihan terbaik. Saya
pernah disekolahkan untuk itu di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan
Manajemen (LPPM) ketika saya masih jadi wartawan majalah berita mingguan
TEMPO.
Proses manajemen itu kemudian saya bawa juga ke dalam jurnalistik.
Saya ajarkan sebagai doktrin di Jawa Pos. Itulah yang membedakan
wartawan Jawa Pos dengan wartawan lain. Wartawan Jawa Pos harus
menjalankan ’10 rukun iman’ atau ’Ten Commandments” yang saya tentukan.
Itulah salah satu sumbangan ilmu manajemen ke dalam praktik jurnalistik
di Jawa Pos. Tentu hal ini tidak diajarkan di fakultas publisistik atau
di akademi wartawan. Mungkin tidak akan diakui sebagai salah satu teori
jurnalistik, tapi saya tidak peduli.
Proses yang sama saya terapkan dalam melakukan analisis
problem-solving atas tekad saya yang sudah mantap melakukan
transplantasi liver. Maka, tim menyeleksi dokter-dokter ahli
transplantasi di dunia: Australia, Amerika, Jepang, Singapura, Belanda,
dan Tiongkok. Dari masing-masing negara kita pilih satu nama. Kita
pelajari track record-nya. Juga, terutama, umurnya. Saya ingin dokter
yang berpengalaman, tapi masih muda. Tangan anak muda, menurut logika
saya, akan lebih firm ketika memegang pisau bedah. Saya memang sangat
pro anak muda. Saya percaya hanya yang muda yang bisa diajak balapan di
segala bidang.
Dari proses itulah lantas kami pilih dokter ini. Umurnya masih 52
tahun dan badannya tinggi tegap. Penampilannya meyakinkan. Urat-uratnya
kukuh, mengindikasikan akan kuat dalam menghadapi tekanan mental maupun
fisik. Pengalamannya juga luar biasa. Sudah melakukan tranplantasi liver
lebih dari 500 kali. Bahkan, sudah membukukan beberapa rekor: Rekor
terbanyak, rekor transplantasi tanpa transfusi darah, rekor
transplantasi untuk pasien usia dini (3 tahun), transplantasi untuk
pasien tertua (76 tahun). Dia memperoleh pendidikan khusus untuk ini di
Jepang. Boleh dikata, dialah dokter Tiongkok yang paling jago di bidang
transplantasi liver.
Tapi, masih ada satu yang meragukan. Padahal, yang saya ragukan ini
masuk dalam ’persyaratan mutlak’. Artinya, mau tidak mau harus dipenuhi.
Kalau hanya masuk ’persyaratan keinginan’, barangkali bisa diabaikan.
Apa itu? Tempat! Apakah di Tiongkok ada rumah sakit yang bagus sekali?
Bukankah rumah sakit di sana terkenal joroknya?
Untuk ini Robert Lai memeriksa rumah sakit tempat dokter itu berada.
Yakni, di satu kota di belahan utara Tiongkok. Untuk Indonesia kota ini
tidak populer, tapi saya sudah mengenalnya dengan sangat baik.
Berkali-kali saya ke kota itu. Kunjungan pertama saya ke sana sekitar 10
tahun lalu.
Hasil kunjungan Robert Lai sangat memberi harapan. Khususnya tower
yang baru. Sangat bersih dan terawat. Alat-alatnya juga amat modern.
Dan, reputasinya yang tinggi sebagai pusat transplantasi liver sudah
sangat terkenal. Saya sendiri pun lantas mengunjunginya. Saya langsung
jatuh cinta pada kunjungan pertama. Hati saya mantap sekali.
Masih juga ada satu pertanyaan: maukah dia menangani saya? Ada
waktukah dia? Inilah tugas Robert berikutnya. Dan, dia selalu berhasil
menjalankan misinya. Maka sudah tidak tengok sana-sini lagi: Di sinilah
saya akan melakukan transplantasi liver. Saya mengenal baik kotanya,
mengenal baik budayanya, dan sedikit banyak sudah bisa berkomunikasi
dengan bahasanya.
Sungguh tak terbayangkan bahwa tekad saya untuk belajar bahasa
Mandarin lima tahun lalu ternyata saya sendiri yang akan memetik manfaat
terbesarnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau saya tidak
bisa sedikit-sedikit berbahasa Mandarin.
Memang, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Jepang dan orang dari
negara-negara Arab, bisa saja mempekerjakan juru bahasa. Namun, tidak
akan semulus kalau diri sendiri yang tahu bahasa itu. Bahkan, karena
hampir selalu berbahasa Mandarin, saya sering tidak dianggap orang
asing. Apalagi sosok saya yang sosok Asia. Bahwa kulit saya agak hitam,
banyak juga orang dari wilayah selatan atau dari Hainan yang juga
berkulit seperti saya.
Robert juga langsung memesan kamar terbaik, yang ada ruang tamunya,
dapurnya, saluran internet-nya. Dia tahu saya tidak akan bisa hidup
tanpa jaringan internet. Robert juga langsung menyewa apartemen untuk
setahun, membeli mobil, mencari sopir, pembantu rumah tangga, dan juru
masak. Dia tahu belum tentu transplantasi bisa dilakukan segera. Problem
transplantasi adalah di kesediaan donor. Masa menunggu tidak bisa
ditentukan.
Keluarga saya, dan juga Robert, tinggal di apartemen. Saya tinggal di
rumah sakit. Istri saya tidur di ruang tamu. Untuk membunuh waktu saya
memutuskan meneruskan belajar bahasa Mandarin. Dua kali sehari. Pagi 2
jam, sore 2 jam. Guo Qiang mencarikan gurunya: tiga gadis yang masih
kuliah di tahun terakhir IKIP setempat.
Istri saya sering melihat bagaimana saya belajar. Lalu dia sumpek
sendiri membayangkan sulitnya. Dia memilih mendengarkan lagu-lagu
kasidah dari CD yang dia bawa. Atau mendengarkan ayat-ayat Alquran yang
kasetnya dia beli di Makkah. Yakni, ayat-ayat mulai Al Fatihah sampai
terakhir surat An Nas dari imam salat tarawih di Masjidilharam. Sudah
beberapa tahun saya dan istri selalu di Makkah saat akhir Ramadan.
Kalau akhir pekan, saya pamit ke kota lain. Saya tahu tidak ada
operasi pada Sabtu dan Minggu. Pada hari-hari seperti itu saya terbang
ke provinsi lain. Saya boleh terbang-terbang asal masih dalam radius
empat jam penerbangan. Maksudnya, kalau ada sesuatu yang mendadak
(misalnya, tiba-tiba ada donor), saya bisa kembali segera.
Badan saya memang sangat sehat secara fisik lahiriah. Karena itu,
saya sering lupa kalau di lengan saya sudah dipasangi selang kecil yang
ujungnya ada di dekat jantung. Selang infus itu diperlukan kalau
tiba-tiba harus transplan, sudah lebih siap.
Suatu saat saya ke Kota Dalian, satu jam penerbangan dari kota ini.
Di salah satu plaza di sana, ada penjual raket squash dengan bola yang
diikat tali karet. Kita bisa mencoba main squash tanpa harus lari-lari
mengejar bola. Saya lupa akan selang infus di lengan saya. Saya main
squash cukup lama. Keesokan harinya lengan saya sakit sekali. Sepanjang
selang itu (mulai dari lengan sampai dada) kemeng sekali.
Suatu malam saya tidak bisa tidur. Pasien dari negara Arab di sebelah
kamar saya berteriak-teriak sepanjang malam. Apakah dia sudah terkena
kanker? Apakah kankernya sudah sampai ke kepala sehingga mengganggu
otaknya?
Paginya dia berteriak-teriak lagi. Saya mencoba menengoknya. Tahulah
saya bahwa dia masih diikat di ranjang. Ini penting untuk kesehatannya
sendiri. Ternyata dia berontak karena ada janji, pagi-pagi ikatan sudah
akan dilepas. Tapi, ternyata tidak. Rupanya rumah sakit masih khawatir
dia akan berontak sehingga terus diikat. Siangnya, saya tahu lebih jelas
mengapa dia berontak. Ini saya ketahui setelah saya bicara kepadanya
dalam bahasa Arab. Dia memang tidak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Arab
saya sudah banyak yang hilang sehingga perlu waktu lama untuk mengingat
banyak kata yang jarang dipakai.
Ternyata pasien itu ingin menelepon keluarganya, tapi tidak
diizinkan. Yang tidak mengizinkan adalah kerabat yang menunggunya.
Mungkin untuk menghemat pulsa, mungkin juga karena sering telepon memang
tidak baik bagi pasien seberat dia.
Ketika penunggunya lagi pergi, dan melihat saya bisa bicara Arab, dia
minta tolong saya untuk memberi tahu perawat agar membantunya menelepon
keluarga. Dia lantas menyodorkan hand phone yang rupanya tidak dibawa
pergi oleh penunggunya. Ternyata dia juga sudah mengantongi secuil
kertas lusuh berisi nomor telepon.
Tapi, angka-angka itu angka Arab. Dia mendiktekannya ke suster dengan
bahasa Inggris yang amat tidak jelas. Tapi, setiap kali nomor itu
dihubungi selalu gagal nyambung. Dia mulai kesal dan uring-uringan.
Akhirnya saya rayu dia untuk memberikan cuilan kertas itu. Tahulah saya
bahwa angka yang dipijit kurang satu digit. Mengapa? Ini karena ada satu
titik di belakang angka-angka itu. Suster tidak tahu dan pasien juga
tidak jelas melihatnya. Saya menyarankan agar menambah “nol” di pijitan
terakhir. Titik, dalam huruf Arab, berarti nol. Ternyata nyambung. Luar
biasa senangnya.
Sambil menunggu dan menunggu, saya terus menjaga kondisi. Badan saya
harus sehat. Saya melakukan senam dan tidak mengenakan baju pasien. Para
suster bilang bahwa saya ini bukan seperti orang sakit. “Saya memang
tidak sakit. Saya hanya perlu transplantasi liver,” gurau saya kepada
mereka.
Dalam masa penantian itu saya tidak boleh terkena flu. Karena flu
saja bisa mengurangi potensi kesuksesan transplantasi. Saya juga harus
menjaga agar protein di darah saya, terutama albumin, tidak terus
merosot. Untuk menambah protein banyak sumbernya. Mulai daging, putih
telur sampai ikan. Tapi, meningkatkan albumin luar biasa sulitnya.
Berminggu-minggu kami mendalami internet untuk mengetahui makanan apa
saja yang bisa menaikkan albumin. Tidak ketemu. Di Tiongkok, yang biasa
menyediakan menu ribuan macam di internet mereka dalam bahasa Mandarin,
juga tidak ditemukan satu pun jenis makanan yang dimaksud. Satu-satunya
sumber albumin adalah sahabat kecil saya dulu di desa: ikan kutuk. Di
Kalimantan disebut ikan gabus. Dalam bahasa Inggris dikatakan “ikan
kepala ular”, karena bentuknya seperti ular yang amat pendek.
Saya menghubungi guru besar Unibraw, Malang, Prof Eddy Suprayitno.
Satu-satunya orang yang melakukan penelitian terhadap ikan kutuk.
Setelah penjelasannya meyakinkan, mulailah saya minta istri saya berburu
kutuk setiap hari. Penjual ikan di Pasar Rungkut hafal betul dengan
istri saya. Entah sudah berapa ton saya mengonsumsi sop kutuk.
Saya lupa bertanya apakah Prof Suprayitno sudah mematenkan
penelitiannya dan memikirkannya untuk sebuah industri. Yang saya tahu
kehidupan Prof Suprayitno amat sederhana, sebagaimana umumnya guru besar
di Indonesia.
Di Tiongkok, peneliti seperti itu jadi kaya raya. Satu orang yang
meneliti satu jenis tanaman liar yang disebut ’tear drop’ (di desa saya
dulu disebut manikan, sering untuk tasbih) kini menjadi orang terkaya
nomor 200 di Tiongkok. Sebab, buah manikan ternyata mengandung khasiat
antikanker. Seorang peneliti padi yang dulu hidup di desa selama 20
tahun, kini menjadi pemegang saham perusahaan pembibitan dengan aset
triliunan rupiah.
Ikan kutuk ternyata tidak ada di tempat lain. Jadi amat berharga.
Tapi, karena saya akan tinggal lama di Tiongkok, tentu saya akan
kesulitan membawa kutuk ke sana. Lalu muncul di pikiran, masak tidak ada
kutuk di Tiongkok. Maka saya mencari kutuk di sana. Di setiap kota yang
saya singgahi saya perlukan untuk mengunjungi pasar ikannya: di
Nanchang, di Nanjing, di Wuhan, di Harbin, di Dalian, di Qingdao, dan
seterusnya. Tapi, saya tidak menemukannya.
Di Nanchang, teman saya di pelosok desa mengabarkan di desanya banyak
ikan kutuk. Saya pernah ke desa itu sebelum tahu bahwa saya punya
sirosis. Ketika saya ke Nanchang, dia datang dengan bapaknya sambil
membawa satu ember ikan. Dia naik kendaraan umum selama satu jam untuk
bisa sampai ke kota. Bapak teman saya, dengan bahasa daerah yang tidak
saya mengerti, menjelaskan panjang lebar bagaimana satu hari tadi dia
berusaha mencari ikan satu ember itu.
Saya berterima kasih padanya. Saya mengatakan “benar”, itulah ikan
yang saya cari. Tapi, sebenarnya bukan. Bentuknya memang persis kutuk,
tapi bukan kutuk. “Kutuk Tiongkok” ini lebih hitam. Karena itu, di sana
disebut “hei yu” -”hei” artinya hitam, “yu” artinya, Anda bisa menduga
sendiri. Kandungan daging “hei yu” tidak sama dengan kutuk di Jawa.
Di Kalimantan lebih lengkap. Kutuk, yang di sana disebut ikan gabus,
sangat banyak. “Hei yu” juga banyak. “Hei yu”, yang kalau di Kalimantan
disebut ikan tomang, juga bisa tumbuh besar sampai kuat merusak perahu
kayu kecil-kecil. Tapi, dagingnya hambar. “Hei yu” di Kalimantan lebih
banyak dimanfaatkan untuk ikan asin. Sedangkan ikan gabus yang manis,
enak sekali dimasak bumbu bali, dimakan dengan nasi kuning.
Selama di Tiongkok saya kesulitan sumber albumin ini. Padahal,
mempertahankan albumin menjadi amat penting. Dalam keadaan normal, liver
bisa memproduksi albumin. Tapi, karena liver saya rusak, sungguh sulit
mengatasinya. Akhirnya, agar badan tetap sehat, saya memutuskan untuk
selalu makan banyak. Enak tidak enak sudah tidak penting lagi. Badan
saya harus sehat menghadapi operasi besar. Ibaratnya saya harus seperti
kerbau yang akan dijual untuk disembelih: Harus sehat dan gemuk.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment